JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memutuskan untuk menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pilkada. Tetapi perdebatan untuk melaksanakan pilkada langsung ataupun lewat DPRD secara serentak sudah mulai mengemuka.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menginginkan pelaksanaan pilkada dilakukan pada 15 Desember 2014. Sebaliknya, salah satu anggota DPR Komisi II Yandri Susanto mengusulkan agar pilkada diundur hingga 2016 agar semakin banyak daerah yang bisa melakukan pilkada serentak.

Menanggapi perdebatan ini, Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan pilkada akan lebih efisien jika diundur ke 2016. Karena daerah yang akan melaksanakan pilkada akan semakin banyak dan serentak.

Masykurudin mengatakan, pemilu telah dilakukan2014, sehingga dari segi pendidikan pemilih, akan ada jeda waktu untuk pemilih menimbang kinerja anggota partai terpilih di parlemen. Jika kinerjanya baik di parlemen maka akan jadi preferensi pemilih pada pilkada.

Sementara jika kinerjanya buruk maka bisa dibuat untuk menghukum partai agar tidak dipilih lagi. "Jadi antara satu pemilu ke pemilu berikutnya ada jeda 2,5 tahun,"  ujar Masykurudin kepada Gresnews.com, Minggu (21/12).

Ia menjelaskan, memang ada resiko jika pilkada diundur ke 2016. Misalnya akan semakin banyak pejabat sementara untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya. "Sehingga harus ada aturan yang jelas bagaimana mengganti kepala daerah tersebut," ujarnya.

Menurut Masykurudin, setidaknya ada dua cara yang mungkin dilakukan untuk mengganti kepala daerah. Pertama dengan memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang akan berakhir hingga pelaksanaan pilkada. Jika pelaksanaan pilkada diundur ke 2016 maka masa jabatan diperpanjang sekitar setahun.

Dalam hal ini, kata dia, jika dilihat kepala daerah yang masih menjabat didominasi oleh Golkar. "Sehingga Golkar bisa mendapatkan keuntungan jika aturannya seperti itu," ujarnya.

Kedua, pejabat sementara bisa ditunjuk pemerintah daerah. Jika dilakukan dengan cara ini maka ada potensi bagi pemerintah untuk menunjuk pejabat sementara sesuai keinginan pemerintah. Hal ini bisa jadi menguntungkan pemerintah daerah yang bersangkutan.

Lebih lanjut, kedua cara yang ditempuh di atas memiliki keuntungan politis tersendiri dan ada kekurangan kelembahannya. "Sehingga perlu ada mekanisme aturan yang jelas. Jangan sampai keuntungan politis tersebut menjadi pertimbangan pembuat kebijakan," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan memundurkan pilkada ke 2016 merupakan pertimbangan yang realistis. Sebabnya pertama, KPU membutuhkan waktu yang lebih untuk mempersiapkan pemilu lantaran DPR akan membutuhkan waktu yang lama untuk menolak atau menerima Perppu pilkada.

"KPU bisa mengoptimalisasi persiapan pilkada jika dilakukan 2016," ujar Titi kepada Gresnews.com, Minggu (21/12).

Kedua, semakin banyak provinsi yang bergabung, semakin bermakna pilkada serentak. Karena kalau hanya serentak untuk tingkat kabupaten/kota tidak akan berpengaruh bagi efisiensi biaya untuk petugas penyelenggara, logistik, dan kampanye. Sementara kalau pilkada gubernur, bupati, dan walikota dilaksanakan serentak tentu biaya politiknya akan lebih efisien.

Ketiga, faktor kejenuhan pemilih harus dipertimbangkan lantaran 2014 baru saja diadakan pemilu. Kalau pilkada dilaksanakan 2015 maka tiap tahun pemilih dihadapkan pada pemilu.

Akibatnya, tingkat partisipasi pemilih bisa tidak maksimal karena jenuh selalu menghadapi pemilu. Lagipula jika ada jeda sekitar dua tahun, pemilih bisa menimbang kinerja anggota parlemen yang sudah terpilih.

"Jika kinerjanya buruk, maka pemilih bisa menghukum partai yang bersangkutan untuk tidak dipilih lagi pada pilkada," kata Titi.

BACA JUGA: