JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendapat tekanan setelah mengambil sikap menolak menjadi eksekutor suntik kebiri kimia. Pihak pemerintah yang diwakili oleh Jaksa Agung maupun anggota parlemen semuanya menyayangkan sikap IDI dan meminta mereka patuh pada peraturan perundang-undangan.

Seperti diketahui, IDI telah mengeluarkan surat tertanggal 9 Juni 2016 yang meminta agar dokter tidak menjadi eksekutor dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Hukuman Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak. Penolakan tersebut didasarkan atas fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia dan Sumpah Dokter serta Kode Etik Kodokteran Indonesia (Kodeki).

Dalam pernyataan persnya di kantor pengurus IDI, Jl Gsy Ratulangi, Jakpus, Kamis (9/6/2016), Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis membacakan sejumlah poin pernyataan sikap.

Poin pertama, IDI mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah untuk menerbitkan Perppu tersebut termasuk adanya hukuman tambahan di dalamnya. IDI setuju pelaku kekerasan seksual harus dihukum berat.

Namun pada poin kedua, IDI meminta agar dokter tidak dilibatkan sebagai eksekutor. Dalam Perppu disebutkan, eksekutor proses kebiri kimia adalah tim dokter.

Mantan Ketua Pengurus Besar IDI Zaenal Abidin menegaskan IDI adalah organisasi profesi yang independen. Demikian pula dokter yang menjadi anggotanya.

"Saya harap semua pihak agar tetap mendorong agar dokter Indonesia patuhi Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia," kata Zainal kepada gresnews.com, Sabtu (11/6).

Namun saat ditanyakan soal sikap IDI yang menolak patuh dengan enggan menjadi eksekutor kebiri kimia ia menjawab diplomatis. Dia menjelaskan bagi dokter mematuhi sumpah dan kode etik juga berarti mematuhi UU.

Zaenal mengungkapkan alasan utama mengapa mereka menolak menjadi eksekutor seperti yang diamanatkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat tindakan kebiri.

Ia menjelaskan dokter secara filosofi dan historis tidak disiapkan untuk menjadi algojo dari suatu putusan pengadilan. Dalam sumpah dokter disebutkan bahwa dokter harus menjaga kehidupan manusia kemudian mendahulukan kepentingan pasien.

Nah, karena saat ini mereka diperintah negara sebagai eksekutor kebiri, para dokter minta landasan untuk eksekusinya. Sebab, berdasarkan kode etik, dokter tidak diperbolehkan melakukan tindakan kebiri karena dokter memberikan perbaikan pada pasien, bukan memperburuk pasien atau menjadikan pasien menderita.

Lagi pula dokter bukan penegak hukum. KUHAP sudah mengatur institusi mana yang harus menjadi eksekutor, yakni jaksa. "Kalau kami perhatikan pasal kode etik, kalau dokter sudah bersikap dan menolak mempergunakan keilmuan pada suatu hal maka ia tetap tidak mau sekali pun ia diancam," tegasnya.

Dia menegaskan bahwa hukuman kebiri kimia itu tidak efektif memberi efek jera bagi pelaku maupun masyarakat luas. Lebih baik DPR minta IDI paparkan sisi ilmiah kebiri itu dan mengapa IDI menolak menjadi algojo. "Siapa tahu IDI lebih paham soal medis dibanding para penganjur kebiri tersebut," ungkapnya.

 

DAMPAK SAMPINGAN KEBIRI KIMIA - Secara medis, ada dua cara melakukan kebiri, yaitu lewat pembedahan atau operasi dan kebiri dengan suntikan kimia. Pembedahan bersifat permanen dengan mengangkat buah zakar pelaku. Sedangkan lewat suntikan bersifat periodik. Kedua cara tersebut memiliki tujuan yang sama yakni menekan hormon testosteron.

Menurut Zaenal, secara efek, kebiri hampir sama dengan suntik kontrasepsi alias suntik KB. Namun kebiri dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan, di antaranya osteoporosis atau pengeroposan tulang, obesitas, dan penyakit jantung koroner.

Efek samping itu muncul akibat testosteron ditekan sehingga bisa mereduksi metabolisme kalsium. Akibatnya, kadar kalsium di dalam tulang menurun. Kemudian metabolismenya melemah dan korban cenderung mengalami peningkatan lemak, sehingga kecenderungannya nanti adalah obesitas.

Akibatnya, otot, terutama otot jantung, akan mengalami penurunan kemampuan. Hal ini akan menimbulkan risiko penyakit jantung, serangan jantung, atau penyakit jantung koroner dan sebagainya. Selain membahayakan kesehatan, suntik kebiri bisa menurunkan gairah seks, menyebabkan sulit ereksi, juga kemandulan.

Efek yang lebih parah, sifat feminisme akan muncul pada pria yang dikebiri. Bahkan efek lainnya, payudara bisa membesar.

Perkiraan dampak kebiri yang dikhawatirkan IDI didasarkan pada beberapa penelitian di New South Wales dan jurnal Medical Ethics. Dalam jurnal disebutkan, pelaku kejahatan seksual yang disuntik kebiri akan kambuh dua tahun kemudian. Dengan kata lain, kebiri yang dilakukan di negara lain gagal, sedangkan keberhasilannya masih menuai kontroversi.

 

PERTIMBANGAN HAPUS KEBIRI - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justtice Reform ( ICJR) Supriyadi W Eddyono mendukung sikap IDI yang menolak sebagai pelaku eksekutor kebiri kimia, karena dokter harus mengikuti sumpah dan etika mereka sebagai dokter. Menurutnya tak ada yang dapat memaksa dokter melanggar sumpah mereka.

"Walaupun itu UU. Pemerintah lah yang justru tidak mendengar dari awal masukan mereka. Justru UU yang harus menghormati sumpah dan etika mereka," kata Supriyadi kepada gresnews.com, Sabtu (11/6) malam.

Komisi IX DPR yang menbidangi kesehatan juga menyarankan pemerintah mencari solusi lain. Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf sudah menanyakan hal ini kepada Menkes Nila Moeloek saat rapat kerja. Dari situ, Komisi IX bisa memahami alasan etik kesehatan dari para dokter yang menolak mengeksekusi kebiri kimia.

"Saat saya desak, bu menteri katakan bahwa belum tentu kebiri itu akan dijatuhkan oleh hakim. Ketika kebiri ini jadi polemik, pemerintah harus bisa beri penjelasan siapa yang akan melakukan. Apakah dokter atau lapas atau jaksa," kata Dede, Jumat (10/6).

"Kalau pemerintah belum bisa menjelaskan, maka kebiri ini harus dipikir ulang," sambungnya.

Di Perppu Perlindungan Anak, pemberatan hukuman yang diatur hingga hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, juga hukuman seumur hidup, serta hukuman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Hukuman tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip.

Dari situ, Dede mengatakan bahwa pemberatan hukuman bisa selain kebiri. Pemerintah diminta juga mempertimbangkan kode etik yang dipegang oleh para dokter. Pemerintah harus bisa menjawab. Yang lakukan hukuman itu dari tenaga medis atau non tenaga medis.

Dede setuju dengan substansi Perppu Perlindungan Anak bahwa perlu ada pemberatan hukuman ke predator anak. Tetapi, dia meminta alasan para dokter juga dipahami karena mereka berpegangan pada kode etik.

Sementara sebelumnya, Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan aturan UU harus dipatuhi. "Kalau perintah UU, Perppu pengganti UU harusnya dipatuhi ," kata Ade di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (10/6).

Dia menjelaskan, hukuman tambahan berupa kebiri kimia terdapat di dalam Perppu Pelindungan Anak yang diteken Presiden Jokowi, tetapi Perppu tersebut harus mendapatkan dukungan dari DPR. Namun, DPR akan mempertanyakan kenapa IDI menolak.

Selain itu, DPR sampai saat ini belum membahas Perppu Perlindungan Anak tersebut, pemerintah juga belum mengirimkan surat presiden ke DPR. "Belum ada surat dari presiden ke DPR terkait soal Perppu tersebut," ucapnya.

Menteri Kesehatan Prof Nila Moeloek menyebut hukuman tambahan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak memang bertentangan dengan etika kedokteran. Meski begitu, hukuman ini bisa dilakukan untuk memberi efek jera kepada pelaku.

"Memang benar (berlawanan dengan etika kedokteran -red). Tapi kalau ini keputusan pengadilan ya harus kita patuhi dalam arti harus dilaksanakan, Di samping itu hukuman tambahan ini untuk membuat efek jera kepada pelaku," tutur Menkes, Senin (30/5).

Menkes meminta pro-kontra hukuman kebiri ini dilihat secara holistik. Ia menyebut harus dilihat apa penyebab kasus kejahatan seksual pada anak ini terjadi. "Pertanyaannya adalah ada apa sih dengan masyarakat kita? Kok jadi beringas gitu? Dan mungkin keterkaitannya dengan kemiskinan, pengangguran dan pendidikannya," terangnya. (dtc)

 

BACA JUGA: