JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Khusus Pelindo II DPR menilai jika kontrak kerjasama pengelolaan pelabuhan  antara PT Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding (HPH) diperpanjang hingga tahun 2038 negara akan menderita kerugian hingga Rp 20-30 triliun. Kerugian itu timbul setelah Pansus menghitung-hitung cara perhitungan komposisi saham antara keduanya yang dinilai merugikan Pelindo.

"Perjanjian perpanjangan kontrak pengelolaan JICT antara Pelindo II dan HPH jelas melanggar UU. Kontrak itu diteken sepihak tanpa persetujuan Pemerintah padahal disyaratkan UU," kata  Sukur Nababan, anggota Pansus Pelindo II DPR.

Sukur menjelaskan, dalam kontrak pertama yang berlaku 1999-2019, HPH mengelola Jakarta International Container Terminal (JICT) mendapatkan saham 51 persen, "fee technical know how" dan dividen. Sementara Pelindo II mendapatkan jatah saham 48,9 persen, dan 0,1 persen bagian Koperasi Karyawan.

Pada perjanjian kedua, kepemilikan saham HPH adalah 49 persen, dan Pemerintah Indonesia melalui Pelindo II adalah 51 persen. "Sistem royalti diganti sewa senilai USD 85 juta pertahun, dan fee technical know how dihilangkan, dengan demikian Pelindo II mendapatkan USD 215 juta di depan," katanya.

Dalam hal ini HPH mengalami kerugian kepemilikan saham selama sisa kontrak 2014 hingga 2019 sebesar 2 persen yakni 51 persen dikurangi 49 persen. Kemudian dikali lima tahun, maka HPH akan kehilangan 10 persen namun dengan perpanjangan kontrak sampai 2038, HPH dapat 49 persen.

"Dari perpanjangan kontrak sampai 2038 itu, HPH dapat 882 persen. Dikurangi rugi 10 persen tadi, dia memperoleh 872 persen. Sementara yang didapat Pelindo II nilainya cuma USD 215 juta dan itu yang dibanggakan Lino," papar Sukur.

MENYANGKAL ADA KERUGIAN - Politisi dari PDI Perjuangan ini perlu memaparkan kerugian yang timbul dari perpanjangan kerjasama Pelindo II dengan HPH, sebab sebelumnya Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II, RJ Lino selalu menyangkal bahwa perpanjangan kerjasama itu merugikan negara.
 
Senada dengan Lino, Direktur Utama PT Jakarta International Container Terminal (JICT), Dani Rusli juga menilai tuduhan Pansus Pelindo II yang menyatakan direksinya telah melakukan kebohongan publik terkait penentuan nilai saham merupakan kekeliruan. Menurutnya selama ini pihaknya telah mematuhi peraturan pemerintah dalam hal administrasi perubahan komposisi saham, pasca perpanjangan kontrak kerjasama pengelolaan antara Hutchison Ports Jakarta Pte Ltd (HPJ) dan PT Pelabuhan Indonesia II atau IPC.

"Pernyataan Pansus Pelindo II cukup membingungkan karena kami justru patuh dengan aturan pemerintah. Kan ada aturan administrasi yang mesti diikuti," katanya dalam pesan kepada gresnews.com, Sabtu (28/11).

Ia mengaku memaklumi bila Pansus tak mengerti aturan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sistem elektronik pelayanan perizinan investasi tersebut terintegrasi antara BKPM dengan daerah untuk mempercepat dan memantau pelayanan perizinan investasi. Perubahan komposisi saham pada akta harus melewati sistem portal tersebut.

"Nah, untuk mengakses SPIPISE butuh hak akses, butuh waktu mengurusnya karena ada aturan yang harus diikuti sebelum bisa mengisi," katanya.

Diketahui, sebelum perpanjangan kontrak kerjasama JICT pada Juli 2015, komposisi saham HPJ selaku penanam modal asing sebesar 51%. Sedangkan IPC selaku Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 48,9%, dan Koperasi Pegawai Maritim (Kopegmar) 0,1%.

Pada perpanjangan kontrak di pertengahan tahun kemarin, komposisi kepemilikan saham di JICT telah berubah. IPC bertambah menjadi  50.9%, kepemilikan saham oleh Koperasi Pegawai Maritim (Kopegmar) tetap 0,1%, dan HPJ turun menjadi 49%.

"Ini diatur dalam Pasal 7 butir 5 Amandemen Perjanjian Pemegang Saham PT JICT tanggal 5 Agustus 2014. Prosesnya masih jalan di BKPM," ujarnya.

Setelah proses di BKPM selesai, perubahan kepemilikan saham akan diumumkan kepada karyawan dan publik sesuai dengan undang-undang yang berlaku selama 30 hari. Setelahnya akan digelar RUPS dan akta notarisnya kemudian diajukan ke Menkumham untuk mendapat persetujuannya.

Saat ini komposisi Direksi dan Dewan Komisaris JICT telah sah berdasarkan Akta No. 1 tanggal 3 Agustus 2015 dan telah diberitahukan kepada Menkumham sesuai dengan Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Meski ia mengakui tak bisa detail menjelaskan dalam pansus lantaran tak diberi kesempatan.

Dalam rapat Pansus Pelindo II, Dani juga mengungkapkan sempat ditekan pansus untuk menandatangani berita acara yang menyepakati pencabutan surat keputusan Direksi JICT tentang rotasi pegawai. Namun hal tersebut tidak dilaksanakan olehnya lantaran menurut undang-undang perseroan terbatas Nomor 40 tahun 2007 hal tersebut merupakan kewenangan manajemen.


MASIH DALAM PROSES - Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo menyatakan walaupun pelayanan PTSP telah diaktifkan namun, segala perizinan maupun akta yang diurus sebelum PTSP masih harus dijalankan secara manual. Artinya, akta perubahan komposisi saham ini juga masih mandeg di manual sistem perizinan sebelum PTSP.

Institusi PTSP yang merupakan representasi kementerian terkadang tak disertai kewenangan dan praktik. Sehingga beberapa tetap harus bolak balik ke institusi masing-masing. Perbedaannya, pengawasannya lebih ketat sehingga memperkecil rente dan menguntungkan konsumen. "Saat ini belum bisa diurus PTSP, mereka masih fokus ke depan sejak didirikan," ujarnya.

Mungkin inilah menjadikan kesalahpahaman pihak Pansus Pelindo II. Mereka melihat perpanjangan kontrak itu telah melalui sistem PTSP sehingga harusnya administrasi kontrak telah rampung. Padahal mereka mendaftarkan perubahan kontrak antara HPJ dan Pelindo II secara manual sehingga seluruh data tentang perubahan kontrak tersebut belum seluruhnya kelar didaftarkan.

BACA JUGA: