JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemilihan Kepala Daerah kali ini banyak diwarnai kejutan. Salah satunya dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015. KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Beleid tersebut rentan menimbulkan problematika baru calon kepala daerah terutama dari partai-partai yang tengah berkonflik yakni partai Golkar dan PPP. KPU membuat keputusan yang mengakomodasi dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP dalam proses pencalonan kepala daerah dengan cara setiap calon kepala daerah wajib mendapatkan rekomendasi dari dua Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai yang tengah berkonflik.  Tentu saja ini pada praktiknya meminta rekomendasi pada seteru sangat menyulitkan.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan kerumitan dari proses pencalonan kepala daerah di pilkada serentak kali ini merupakan imbas dari aturan yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah yaitu tiap pasangan calon harus mendapatkan rekomendasi dari DPP Partai.

"Padahal pada pilkada sebelum ini hanya merujuk kepada SK Menkumham dan mereka tidak perlu rekomendasi DPP," ujarnya kepada gresnews.com, Selasa (28/7).

Menurut Titi, peraturan itu tidak masuk akal, karena tidak mudah bagi calon kepala daerah untuk mendapatkan rekomendasi dari dua DPP yang tengah bertikai. Karena itu sama saja dengan melegitimasi partai untuk terbelah, dan tidak adil bagi pasangan calon tersebut karena mereka harus melewati proses yang lebih sulit daripada yang harus dilalui dari partai-partai yang tidak berkonflik. Lagi pula tentu kedua-duanya juga mengeluarkan calonnya masing-masing sehingga sangat sulit menerapkan aturan ini.

"Jadi itu seperti diverifikasi oleh dua partai padahal hanya satu partai. Ini harus  diselesaikan secara hukum," ujarnya.

MAJU TERUS, ACUHKAN PKPU - Namun keadaan ini tidak menyurutkan niat partai yang kini tengah dibelit konflik. Misalnya DPP Partai Persatuan Pembangunan (DPP) Hasil Munas Surabaya mantap terus melaju ke pilkada. Merasa di atas angin mereka mendaftarkan sendiri calon kepala daerahnya tanpa melibatkan kubu sebelah dan siap mengugat aturan dari KPU.

Ketua Bidang Organisasi Keangotaan dan Kaderisasi DPP PPP hasil Munas Jakarta Muhammad Isa Muchsin menegaskan sudah menyiapkan calon-calon kepala daerahnya sendiri tanpa berkoordinasi atau melibatkan kubu Djan Farid. Baginya melibatkan kubu lawan sama saja dengan melegalkan dan mengakui keberadaan mereka. Apalagi kedudukan mereka secara hukum sudah sangat kuat.

"Karena kami mengangap mereka itu tidak ada, maka kami tidak ada komunikasi. Kami jalan sendiri tidak melibatkan mereka," ujar pendukung PPP kubu Muchamad Romahurmuziy alias Romy ini kepada gresnews.com.

Kubu Romy sendiri telah menyiapkan 268 calon kepala daerah, yang terdiri dari 260 di kabupaten/kota, dan 8 provinsi. Calon-calon kepala daerah tersebut telah lebih dulu menjalani uji kelayakan yang dilakukan para pengurus di tingkat daerah.

Isa sadar bila sikap partainya tersebut bertentangan dengan PKPU Nomor 12 tahun 2015 Pasal 36 yang mensyaratkan bagi calon kepala daerah dari partai yang tengah berkonflik harus mendapatkan dua rekomendasi dari DPP yang tengah berkonflik. Namun ini tidak menyurutkan niatan mereka untuk mendaftarakan sendiri calonnya, karena kubu Romy merasa kedudukan mereka secara hukum sudah kuat.

"Status hukum partai kami sangat kuat secara kepengurusan. Kami memiliki SK Menkumham dan memanangkan perkara di PTUN. Jadi kita yakin dengan sikap kita. Tapi kalau  KPU punya pendapat berbeda, ya tidak apa-apa, kita mendaftar saja. Tapi kita pasti akan melakukan langkah-langkah hukum bila kami di tolak," ujarnya.

Hakim PTTUN  Jakarta memang telah memenangkan permohonan banding yang diajukan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya. Keputusan PTTUN itu akhirnya membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di PTUN, yang memenangkan gugatan kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta. Dengan demikian SK Menkumham tetap berlaku dan itu artinya kepengurusan kubu Romy yang sah.

Isa berharap KPU akan tetap menerima pendaftaran calon kepada daerah tersebut, bila masih ada persyratan rekomendasi yang kurang dari DPP seberang, Isa memberikan jalan keluar agar pasangan calon tersebut berkomunikasi sendiri secara langsung dengan kubu Djan Farid untuk mendapatkan rekomendasi yang mereka butuhkan.

"Masalah pendaftaran sebenarnya kan itu pasangan calon kepala daerah yang mendaftar, bukan partai politiknya. Rekomendasi itu kan hanya masalah administrasi, kami partai hanya mengusung dan mengantarkan saja," katanya.

SULITNYA MENDAPAT DUA REKOMENDASI - Namun masalah tidak sesederhana itu bagi Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP PPP hasil Munas Jakarta Soleh Amin. Baginya, persoalan mendapatkan rekomendasi tidak sekadar urusan bernegoisasi dengan kubu DPP Djan Farid semata, melainkan juga ada mekanisme organisasi yang harus dilalui. Dan itu sangat menyulitkan bagi calon kepada daerah yang bersangkutan.

Menurut Amin, ada temuan kasus di lapangan yang membuat kepala daerah kesulitan untuk memperoleh rekomendasi dari DPP Hasil Munas Jakarta. Bahkan Amin sampai menyambangi KPU untuk mengklarifikasi temuan mereka itu kepada KPU bagaimana jalan keluarnya.

"Persoalannya kami yang mengajukan pendaftaran kepala daerah di tolak dengan alasan mereka belum mendapatkan persetujuan dari DPP kubu sebelah. Padahal di pihak lain, struktur kubu Djan Farid  dibawah tidak ada. dengan demikian mereka tidak mengusulkan calon kepala daerah.  Atas kejadian seperti bagaimana solusisnya?" ujarnya kepada gresnews.com

Menurutt Amin selama ini mekanisme organisasi dalam mencalonkan kepala daerah untuk mendapatkan rekomendasi itu sifatnya bottom up dari bawah. Dari pengurus daerah atau pengurus wilayah diusulkan kepada DPP. Permasalahannya bila tidak ada strukturnya dari mereka, siapa yang mengajukan usulan tersebut kepada DPP Djan Farid.  

"Siapa yang meminta persetujuan ke atas dari mereka siapa, kan tidak ada. tidak mungkin pengurus kami yang mengajukan," ujarnya.

Menurut Amin, sudah ada daerah yang melaporkan mendapatkan penolakan dari KPUD setempat saat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah karena kasus seperti itu. "Sudah ada penolakan di daerah ada 3 daerah salah satunya NTB," ujarnya.

Namun Amin mengakui bila calon tidak semua calon kepala daerah yang berasal dari partainya bermasalah, karena dalam beberapa hal tetap ada komunikasi yang terjalin dengan pengurus di daerah yang di sana ada pengurus yang berada di bawah DPP kubu Djan Farid. Sehingga kepada daerah yang bersangkutan bisa mendapatkan dua rekomendasi dari dua DPP yang tengah berkonflik.

"Dalam banyak hal ada komunikasi. Calon yang kita ajukan juga disetujui oleh mereka seperti skema yang dinginkan KPU. Yang tidak dapat diselesaikan itu adalah bila di strukur bawah mereka tidak ada sehingga mereka tidak mencalonkan," ujarnya.

Sementara kubu Djan Farid juga tak menganggap PKPU soal rekomendasi tersebut. Wakil Ketua Umum DPP PPP hasil Munas Jakarta Fernita Darwis mengakui tidak mau ambil pusing dengan langkah-langkah hukum yang diambil oleh kubu sebrangnya.

Menurut Fernita kubu Djan Farid memang sama sekali tidak melakukan komunikasi dengan kubu Romy terkait dengan pencalonan kepala daerah ini. "Kami tidak ada komunikasi dan koordinasi dengan kubu Romy, kami tidak terganggu dan kami jalan terus sendiri. Sampai saat ini kami sudah mengeluarkan 140 rekomendasi kepada calon kepala daerah," ujarnya kepada gresnews.com.

SIAP AJUKAN GUGATAN - Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP PPP hasil Munas Jakarta Soleh Amin menyayangkan sikap KPU yang tetap berpegang teguh dengan pendirianya meskipun di daerah ada kasus kesulitan mendapatkan dua rekomendasi. Menurut Amin, dalam pertemuanya dengan KPU menganggap kasus tersebut adalah urusan internal dari PPP dan tidak mau tahu dengan kesulitan yang dialami oleh kepada daerah tersebut. KPU pun hanya mau menerima pencalonan dari kepengurusan partai yang sudah mendapatkan putusan pengadilan yang inkracht.

"Terkait penolakan itu kita akan melakukan legal action. Gugatan itu akan ditujukan kepada KPUD yang dengan persetuJuan KPU melakukan penolakan terhadap pengajuan caloN kepala daerah yang diajukan kepengurusan PPP hasil Munas Surabaya yang telah mempunyai SK Menkumham. Dengan kemenangan kami di PT TUN berarti SK Mennkumham itu tetap syah dan berlaku," ujarnya.

Selain itu menurut Amin, DPD PPP se Indonesia yang diwakili oleh DPD Solo juga telah mengjukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait dengan PKPU Nomor 12 Tahun 2015 yang menjadi biang kerok kerumitan pencalonan Pilkada serentak kali ini. Dasar dari uji materil ini adalah PKPU Nomor 12 Tahun 2015, atas perubahan PKPU Nomor 9 Tahun 2015, selain bertentangan dengan UU Parpol juga berlawanan dengan Undang-Undang PTUN dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Komisioner KPU Sigit Pamungkas menegaskan sikap penyelenggara pilkada itu tidak akan berubah meskipun ada tuntutan dari PPP Munas Jakarta agar KPU menerima pencalonan kepada daerah tanpa rekomendasi dari kubu Djan Farid. Terkait dengan pencalonan tersebut, Sigit balik menghimbau kepada semua partai peserta pilkada serentak agar mengikuti apa yang sudah digariskan KPU dalam peraturannya.

Sigit juga mengungkapkan bila KPU siap menghadapi tuntutan hukum terkait dengan keputusan tersebut. "Hak partai untuk melakukan langkah-langkah yang dianggap memang dibutuhkan untuk memenuhi kepentingan partai. Dalam hal hal ini sikap dan posisi KPU tidak mendorong atau melarang partai untuk melakukannya. KPU juga tengah menghadapi PPP kubu Romy terkait dengan PKPU Nomor 12 Tahun 2015 di Mahkamah Agung," ujarnya kepada gresnews.com.

PENGARUHI TAHAPAN PILKADA - Namun Titi mengingatkan bila uji material atau gugatan kepada KPU bisa saja berpengaruh terhadap proses tahapan Pilkada yang sudah berjalan saat ini. "Kalau judicial review itu diputusan dalam tahap pencalonan atau masa-masa verifikasi itu bisa saja mengubah peta dalam Pilkada, karena penetapan calon baru nanti tanggal 24 Agustus. Tapi apabila baru diputuskan setelah calon ditetapkan maka aturan itu bisa berlaku surut atau juga bisa tidak berlaku surut. Itu otoritas pengadilan bentuk putusan seperti apa. Misalnya saja kalau MK membatalakan peraturan tidak akan ada perlakuan surut," ujarnya.

Bagi Titi pangkal dari persoalan ini adalah KPU yang telah membuat masalah baru dengan membolehkan dua kepengurusan yang berkonflik mengajukan calon sepanjang calon yang diajukan sama dan koalisinya sama seperti yang tercantum pada Pasal 36 PKPU Nomor 12 tahun 2015. Peraturan semacam Itu tidak pernah ada di Indonesia sebelumnya.

Menurut Titi, DPP yang dimaksudkan dalam UU Parpol itu adalah kepengurusan yang bersifat nasional. Itu merujuk pada entitas yang sama dan satu. Dengan peraturan baru dari KPU  tersebut malah melahirkan ketidak pastian hukum. KPU tidak perlu sebagai problemsolver bagi partai yang tengah berkonflik.

"KPU seharusnya menggunakan kacamata kuda sebagai penyelenggara dan tidak terlibat pada penyelesaian konflik partai politik.  KPU menciptakan masalah baru dan KPU tidak mendukung penguatan institusi partai politik," ujarnya.

Peraturan PKPU Nomor 12 Tahun 12 ini memang kontroversial, karena dikeluarkan setelah bertemu dengan Wakil Presiden dan Pimpinan DPR. KPU membuat keputusan yang mengakomodasi dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP dalam proses pencalonan kepala daerah. Keputusan ini diniatkan untuk memberikan ruang partisipasi bagi setiap partai politik sebagai pengusung calon kepala daerah.

"Keputusan ini justru mendegradasi kemandirian KPU, menabrak Undang-undang, mengundang keributan baru dalam proses pencalonan kepala daerah nanti, memicu sengketa pilkada, dan melanggengkan konflik internal partai politik," ujar Titi.

Titi mengingatkan kepada KPU harus bersikap sebagai layaknya penyelenggara dalam menghadapi tuntutan humuk dan uji materil. KPU harus merespons upaya hukum dengan argumentasi yang mereka sudah putuskan dalam membuat kebijakan. Itu yang harus dihadapi sebagai konsekuensi kebijakan yang kontroverisal.

"KPU jangan mencoba berkompromi dengan partai yang terbelah. Karena KPU sudah membuktikan kemandiriannya dalam pileg dan pilpres lalu dan jangan dicederai dengan kompromi dalam pilkada kali ini," pungkasnya. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: