JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kabar tak sedap meruap dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat RI di Senayan. Pembahasan RUU KUHAP yang memuat pasal-pasal yang potensial melemahkan KPK kabarnya terus dilakukan. Rencana revisi KUHAP yang diluncurkan DPR-RI sejak beberapa waktu silam itu memang kontroversial. Setidaknya seperti yang pernah dikaji Indonesia Corruption Watch (ICW) ada sembilan pasal yang potensial melemahkan KPK dalam revisi RUU KUHP. Hanya saja ketika dikonfirmasi ke anggota DPR Komisi III Bambang Soesatyo kabar itu segera dibantah. "Enggak ada dong, enggak ada hubungannya, KPK kan ada undang-undangnya sudah ada sendiri," kata Bambang Soesatyo, Jumat (24/1).

Hanya saja upaya melemahkan KPK lewat KUHAP memang terlihat. Seperti yang pernah disinggung ICW, ada sembilan pasal RUU KUHAP yang dinilai akan mengebiri kewenangan KPK. Misalnya, Pasal 44 yang mengatur penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Dalam kasus korupsi yang ditangani KPK, pasal ini memungkinkan dihentikannya perkara oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Pasal lain yang dianggap mempreteli kewenangan KPK adalah pasal yang mengatur soal penyadapan. Dalam Pasal 83 RUU KUHAP diatur penyadapan pembicaraan harus mendapat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Pasal ini akan dinilai menyulitkan KPK membongkar kasus korupsi karena enyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim.

Selain itu kewenangan KPK juga potensial dipreteli dalam urusan penyitaan barang bukti. Pasal 75 di RUU tersebut mengatur penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Alhasil KPK tidak bisa kesulitan menyita barang bukti jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan menolak memberikan persetujuan, dan barang yang disita harus dikembalikan kepada pemilik.

Pembahasan RUU ini di DPR dipimpin Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin, kolega Bambang Soesatyo di Golkar. Kabarnya dalam pembahasan kali ini diulas pasal-pasal yang diantaranya meniadakan kewenangan penyelidikan KPK. Selain itu ada juga pasal yang menetapkan pemberantasan korupsi adalah tindak pidana biasa, sehingga mesti mengikuti KUHAP yang tengah diatur tim itu.

Hanya saja Bambang Soesatyo yang ditanyai soal itu kembali menepis. Menurut dia pembahasan masih pada daftar isian masalah. "Masih rapat, ya soal daftar isian masalah, masih brainstorming daftar isian masalah," jelas dia.

Terkait masalah itu sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) juga mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan Rancangan KUHAP. Salah satu alasannya masa kerja DPR periode 2009-2014 hanya tersisa sangat singkat. "Masa bakti yang tersisa singkat ini tidak memungkinkan adanya ketersediaan waktu yang cukup dan metode pembahasan yang efektif serta partisipatif," kata Erasmus A. T. Napitupulu dari KuHAP lewat pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Jumat (24/1).

Saat ini hanya tersisa sekitar 145 hari kerja bagi anggota DPR periode ini. Sementara, secara kuantitas jumlah pasal dan daftar isian masalah yang dibahas cukup banyak yaitu mencapai 1.169 daftar isian masalah. "Secara kualitas, materi yang dibahas juga cukup kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas pada struktur hukum serta jaminan perlindungan hak asasi manusia," kata Erasmus.
 
Selain masalah waktu, konstelasi pemilu 2014 dan transisi masa jabatan DPR juga dinilai akan menyita waktu dan perhatian para anggota dewan. Terlebih di sisi lain dalam pembahasan RUU KUHAP masih belum ada kesepakatan yang signifikan antara Pemerintah dengan DPR Dari pemantauan Komite terhadap 2 (dua) kali rapat kerja antara Pemerintah dengan DPR, tanggal 27 November dan 5 Desember 2013, pembahasan masih berkutat pada penghapusan penyelidikan dalam Rancangan KUHAP. "Terkait hal tersebut serta topik-topik lainnya, belum ada kesepakatan yang diambil. Padahal pembahasan dapat dilakukan secara efektif karena Rancangan KUHAP sudah diserahkan Pemerintah kepada DPR pada 28 November 2012, lebih dari satu tahun lalu," kata Erasmus menambahkan.

Waktu yang tersisa ini menurut KuHAP juga membuat partisipasi dan pelibatan masyarakat tidak optimal dalam pembahasan. "Salah satu contoh, ihwal kemudahan ini tidak ditemui Komite ketika meminta daftar isian masalah yang sudah disusun oleh DPR dengan alasan rahasia negara," ujar Erasmus. (dtc)

BACA JUGA: