JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus korupsi pengadaan sapi di Kementerian Pertanian yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuka mata banyak pihak. Bahwa selama ini di Kementerian Pertanian telah terjadi kasus korupsi yang mungkin bukan saja soal pengadaan sapi tapi kasus lainnya.

Apalagi di Kementerian Pertanian ini pemerintah banyak menggelontorkan dana bantuan sosial dan hibah yang diperuntukkan untuk masyarakat. Tak heran jika banyak anggota DPR yang mengincar komisi IV yang menjadi mitra Kementerian Pertanian.

Dengan menjadi mitra Kementeian Pertanian para anggota DPR dengan leluasa mengatur alokasi dana bantuan untuk kepentingan daerahnya masing-masing. Di sinilah pengaturan dan kongkalikong dana bantuan sosial dan hibah serta program lainnya terjadi.

Anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengungkapkan itu. Salah satu komisi yang jadi rebutan anggota DPR adalah Komisi IV. Bahkan ada anggota yang tidak mau digeser ke komisi lain.

Eva tak heran jika kemudian korupsi banyak terjadi. Sebab indikasi korupsi kebijakannya sangat kuat. Mereka dengan leluasa mengatur dan membagikan bantuan apapun termasuk bantuan benih sesuai daerah pemilihannya masing-masing. Bahkan Eva mengaku  pernah melobi anggota DPR dari komisi ini untuk bisa mendapatkan jatah bantuan tersebut.

Ia juga menduga korupsi yang terjadi di Kementan sistemik. Yang terlibat dari atas hingga bawah. Apalagi dalam banyak program kementerian ini, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terlibat korupsi menangani lebih dari satu kegiatan kementerian. Sehingga terkesan desain aksi melakukan korupsinya sudah diatur dengan baik.

Misalnya dalam kasus BLBU paket I tahun 2012 yang ditangani Kejaksaan Agung dan pengadaan perangkap hama yang ditangani Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dalam dua kasus tersebut dua PNS Kementan sama-sama menjadi tersangka. Mereka adalah Ketua Pokja Hidayat Abdul Rahman dan Staf Direktorat Aneka Kacang dan Umbi Alimin Sola.

Tak heran jika Eva mendesak kasus ini diselisiki hingga tuntas. "Ada masalah mulai dari kebijakan di Kementan yang dimanfaatkan sebagian pihak untuk meraup keuntungan, karena tersangkanya itu-itu saja," kata Eva di Jakarta, Jumat (26/4).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi mengakui dua tersangka sama dalam kasus berbeda. Karenanya dalam kasus BLBU dengan tersangka Umbi Alimin Sola dan Hidayat Abdul Rahman tidak ditahan karena telah menjadi tahanan Kejati DKI dalam kasus korupsi perangkap hama.

Keduanya telah ditahan dalam perkara tindak pidana korupsi lainnya yang disidik oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yakni dugaan tindak pidana korupsi pengadaan 7 ribu unit light trap atau lampu perangkap hama tenaga surya di Kementan.

Dalam kasus BLBU sendiri Kejagung telah menahan Zaenal selaku pejabat pembuat komitmen, anggota Tim Verifikasi Teknis Lapangan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk Daerah Jember (Jatim) Sugiyanto, Dirut PT Hidayah Nur Wahana (HNW) Sutrisno dan Pimpinan Produksi PT HNW Mahfud Husodo.

Kasus BLBU ini berawal dari rencana Kementan untuk menyalurkan padi lahan kering, padi hibrida, padi non hibrida, dan kedelai tidak sesuai varietasnya, dan beberapa pelaksanaannya tidak sesuai dengan peruntukkannya atau fiktif. Proyek BLBU Paket I meliputi wilayah Propinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Utara.

Sementara dalam kasus korupsi pengadaan 7.000 unit light trap (lampu perangkap hama serangga) Kejati DKI sendiri telah menahan enam tersangka. Mereka adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Agung Wradsongko, Ketua Panitia Pengadaan, Hidayat Abdurrahman, Ketua Pokja Pengadaan, Alimin Sola Direktur Utama (Dirut) Formitra Multi Prakasa, Agus Irwanto, Direktur CV Prima Sejahtera, Azi Nurjaman dan Dirut PT Andalan Persada, Yanuar.

Light trap merupakan lampu perangkap hama dengan menggunakan tenaga surya. Rencananya alat tersebut akan dipasang di sejumlah lahan pertanian di beberapa wilayah di Indonesia di antaranya di Sumatera, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

BACA JUGA: