JAKARTA, GRESNEWS.COM - Suhu politik menjelang Pilkada DKI Jakarta pada Februari 2017  terus memanas. Selain munculnya perang program serta isu yang dilemparkan antar calon ppada kampanye saat ini, lembaga survei juga turut memanaskan situasi politik seputaran Pilkada DKI Jakarta.

Lembaga survei sendiri saling menggiring opini publik kepada salah satu calon, sehingga calon tertentu terlihat lebih unggul dari calon lainnya. Kendati demikian, diyakini hasil survei tidak dapat menjadi patokan baku akan kemenangan salah satu calon.

Dalam diskusi yang digelar perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSAPI) dan Center for Strategic and International Studies (CSIS) terungkap bahwa hasil sebuah survei tidak dapat menjadi tolak ukur kemenangan calon. Hal itu terlihat dari kemenangan Donald Trump terhadap Hillary Clinton pada pemilu Presiden Amerika Serikat beberapa waktu lalu.

Menurut survei yang dilansir CNN, Hillary unggul meyakinkan sembilan poin, 52 persen berbanding 43 persen terhadap Trump. Survei-survei lain juga menunjukkan keunggulan mantan Menteri Luar Negeri AS ini. Survei yang dilakukan NBC bekerjasama dengan Survey Monkey menunjukan Hillary unggul dengan 50 persen melawan 42 persen.

Kesalahan lembaga survei dalam memprediksi kemenangan bukan berarti lembaga survei tersebut bohong atau memanipulasi hasil survei. Menurut Hasan Nasbi dari Cyrus Network, ada banyak faktor yang memungkinkan lembaga survei salah memprediksi kemenangan pemilihan. Salah satunya adalah penciptaan tensi politik yang sengaja dibuat menjadi tinggi akan menyebabkan para pemilih cenderung menyembunyikan pilihannya.

Dalam kasus Trump, banyak pemilih Trump yang akhirnya memilih bungkam terhadap dukungannya akibat takut dituduh sebagai pendukung calon presiden yang rasis dan beberapa tuduhan miring lainnya. Diketahui, Trump memang dikenal sebagai figur kontroversial karena beberapa ucapannya membuat citranya menjadi buruk.

"Nah, ini juga menjadi pelajaran untuk Pilkada DKI mendatang," ujar Hasan di Tanah Abang, Jakarta, Selasa, (6/12).

Menurutnya, dalam kasus penggunaan surat Al Maidah yang menjerat petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah membuat elektabilitasnya menurun. Tetapi jika berkaca pada kasus Trump, kasus penistaan agama tersebut membuat para pemilih Ahok menjadi pemilih bungkam yang enggan mengungkapkan dukungannya. Hal ini disebabkan para pemilih tersebut takut akan dicap sebagai pendukung orang yang menjadi tersangka atau pun orang yang dianggap telah menistakan agama.

Akibat kasus penistaan agama tersebut, warga Jakarta yang belum menentukan pilihan meningkat menjadi 30 persen. Fenomena tersebut langsung dibantah oleh Hasan. Menurutnya, tidak mungkin Pilkada DKI yang gaungnya sudah terdengar semenjak 2 tahun lalu sementara warganya sebanyak 30 persen belum menentukan pilihan. Ia meyakini  pasti setiap warga Jakarta sudah menentukan pilihan, dan angka 30 persen tersebut adalah pemilih yang memilih bungkam.

"Menciptakan tensi politik yang tinggi sama saja menciptakan ketidakpastian hasil survei," tegasnya.

Selain itu pula, kegagalan memprediksi juga terjadi akibat banyaknya lembaga survei yang terlalu malas untuk memeriksa validitas data di hulu. Seharusnya, jika terjadi perubahan yang mendadak terhadap hasil survei, maka harus dikroscek lebih lanjut kenapa perubahan itu terjadi. Banyak lembaga survei yang malas mengecek kembali validitas data mereka di hulu dan langsung memilih mengolah data yang mereka dapat untuk segera dipublikasikan.

Sementara itu, Herzaky Mahendra selaku Managing Director Manelka Reserch menyampaikan hal berbeda. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan hasil survei pilkada yang telah dilakukan. Meningkatnya tensi politik akibat kasus penistaan agama tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap elektabilitas para kandidat calon gubernur DKI Jakarta.

Apalagi dengan adanya demo 4 November 2016 (411) dan 2 Desember 2016 (212) beberapa waktu yang lalu, tentunya membuat para pemilih DKI terpengaruh. Akan tetapi belum dapat diketahui secara pasti berapa banyak yang terpengaruh dan berapa besar pengaruh aksi tersebut terhadap elektabilitas para calon Gubernur DKI.

Zakky sendiri menilai bahwa kasus penistaan agama yang menimpa Ahok masih memiliki pengaruh yang cukup wajar. Elektabilitas para pasangan calon akibat kasus tersebut hanya terpengaruh kurang dari 5 persen, sehingga bisa dibilang kasus tersebut tidak memiliki dampak yang cukup besar terhadap para pasangan calon.

"Masih wajar-wajar saja, tidak mencapai 5 persen," ujar Herzaky Mahendra di tempat yang sama, Selasa, (6/12).

Akan tetapi ia  menegaskan bahwa sebuah hasil survei jangan sampai diamini secara mutlak. Sebab, lembaga survei memang berupaya untuk menampilkan realita yang ada. Tetapi akibat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang ditampilkan ke publik bukannya realita tetapi malah fenomena yang sedang terjadi di tengah masyarakat.

"Oleh karena itu penting bagi lembaga survei untuk menjelaskan bagaimana data survei diangkat," ujarnya.

MENIMBANG KEMBALI METODENYA - Sementara itu, Roby Muhamad, dosen Psikologi Universitas Indonesia, mengungkapkan metode survei yang dilakukan lembaga survei di Indonesia tidak masuk akal. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan saat melakukan survei sangat tidak logis dan bisa membuat hasil survei itu sendiri menjadi kacau.

Ia mencontohkan, biasanya para responden akan ditanya dengan pertanyaan, "Apabila Pilkada DKI Jakarta terjadi hari ini, manakah pasangan calon yang akan anda pilih untuk menjadi gubernur DKI Jakarta?" Menurut Roby, pertanyaan tersebut secara psikologis sama saja dengan menanyakan pertanyaan apakah anda siap untuk mati bunuh diri hari ini.

"Harus diciptakan metode survei yang baru, cara yang sekarang sudah usang dan hasilnya pun menjadi tidak terpercaya," ujar Roby di tempat yang sama, Selasa, (6/12).

Menurutnya, ada tiga reaksi orang saat mengetahui bahwa hasil survei tersebut ternyata salah. Reaksi pertama adalah dengan menjustifikasi bahwa lembaga survei tersebut tidak kredibel dan telah melakukan kebohongan publik. Reaksi kedua lebih rileks, ia menganggap bahwa dalam hidup banyak hal-hal yang tidak terduga. Sehingga, walaupun sebenarnya terjadi kesalahan oleh lembaga survei, ia akan menganggapnya bahwa semuanya hanyalah kebetulan belaka.

"Tipikal kedua akan berpikir bahwa namanya juga probabilitas, selalu ada kemungkinan," ujarnya.

Respons yang terakhir mengakui adanya probabilitas, tetapi juga tidak menyerahkan seutuhnya terhadap hasil akhir yang random. Ia akan mencoba menganalisis di mana salahnya hasil survei tersebut, apakah memang pengambilan sampling-nya yang salah, Margin of Error-nya yang terlalu besar, fenomena yang terjadi benar-benar mempengaruhi para pemilih atau malah memang lembaga survei tersebut yang memang ditunggangi kepentingan.

Diketahui, berdasarkan hasil survei yang dilakukan dari bulan Oktober sampai dengan November 2016, pasangan Ahok dan Djarot memang mengalami penurunan drastis. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis Ahok-Djarot hanya memiliki elektabilitas 10,6 persen pasca didera isu penistaan agama. Sementara Anies-Sandi yang saat ini memimpin dengan 31,90 persen. Disusul Agus-Sylvi 30,90 persen. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 26,60 persen masuk dalam kategori swing voters atau belum menentukan pilihan.

Lembaga survei Indikator Politik yang melakukan survei dari tanggal 15 November sampai 22 November 2016 menyatakan elektabilitas Agus-Sylvi berada di angka 30,4 persen. Menurut survei, Agus-Sylvi mengungguli pasangan nomor dua, Ahok-Djarot, yang berada di urutan kedua dengan elektabilitas 26,2 persen. Pasangan nomor tiga Anies-Sandi disebut berada pada urutan ketiga dengan elektabilitas 24,5 persen.

Sementara itu, Lembaga Survei Poltracking Indonesia yang melakukan survei dari tanggal 7 sampai dengan 17 November 2017 mengumumkan bahwa elektabilitas Agus-Sylvi 27,92 persen, Ahok-Djarot 22,00 persen, dan Anies-Sandi 20,42 persen, dengan 29,25 persen pemilik suara yang belum memutuskan pilihan.

BACA JUGA: