JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengaruh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai seorang capres ternyata cukup kuat dalam memancing reaksi dari para capres lainnya. Sebuah riset yang dirilis Reading Indonesia Project (Ripro) yang terdiri dari Paramadina Graduate School dan Awesometrics menunjukkan, isu pencapresan Jokowi telah memancing tiga capres dari partai lain jadi rajin mengkritik kinerja Jokowi sebagai gubernur.

"Permasalahan Jakarta yang dihadapi Jokowi juga menjadi salah satu isu yang dilekatkan publik kepada para capres. Banyak pula capres yang sengaja atau tidak sengaja riding the wave isu-isu Jokowi," kata peneliti Ripro Koesworo Setiawan, Minggu (16/3).

Koesworo menyampaikan hasil riset itu dalam jumpa pers bertajuk ´Pemilu Presiden, Karnaval Simbol Demokrasi? Rekaman Celoteh Publik Terkait Capres 2014´, yang digelar di Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta, hari ini. Penelitian ini dilakukan dengan memantau aktivitas Twitter publik terhadap para kandidat capres pada 1 Januari 2014 hingga 15 Februari 2014.

Selama 75 hari pemantauan itu, Ripro mendapatkan 2,6 juta kicauan yang kemudian dipilah sehingga menyisakan 1,42 juta kicauan aktif seputar para capres. Jumlah terakhir itu yang digunakan Ripro untuk mengetahui isu-isu yang berkembang di publik terkait pilpres 2014.

Hasilnya, Marzuki Alie tercatat paling banyak mengkritisi dan dikaitkan dengan Jokowi sebesar 46,90 persen. Sedangkan tokoh lainnya yang juga dikaitkan dan berbicara mengenai Jokowi adalah Anis Matta 19,53 persen dan Aburizal Bakrie 18,93 persen. Selain itu kicauan akun-akun anonim masih mendominasi dalam membicarakan capres-capres tertentu. Lalu muncul juga akun-akun pendukung para capres.

Kicauan akun-akun ini memberikan dampak yang tinggi terhadap arah perkembangan isu pencapresan. "Kalau feeding-nya hanya seputar pergantian kekuasaan, elektabilitas, dan sebagainya, maka diskursus publik juga tidak menyentuk esensi demokrasi seperti kesejahteraan dan keadilan," ujar peneliti Paramadina Abdul Malik Gismar.

Pengumpulan data riset ini dilakukan oleh lembaga pemantau sosial media Awesometrics, menunjukkan percakapan mengenai pencapresan dan percaturan politik untuk RI 1 sebesar 62,5 persen, kapabilitas capres 12,5 persen, berkaitan dengan lembaga negara seperti KPK atau DPR sebesar 11,3 persen, dan wacana khusus seperti wajib militer menempati 6,8 persen.

Sementara, kicauan publik terhadap para capres terkait isu-isu kebangsaan dan konstitusi hanya 0,4 persen. Isu kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan lebih kecil lagi, yaitu 0,2 persen dari 1,4 juta kicauan yang dipantau.

Hanya saja riset ini tidak menjelaskan kenapa nama Prabowo Subianto tidak masuk dalam jajaran politisi yang paling sering menyerang Jokowi. Padahal sejak lama Gerindra termasuk yang paling gerah dengan wacana pencapresan Jokowi dan terlihat paling panik ketika Jokowi benar-benar dicapreskan. Pencapresan Jokowi langsung ditanggapi dengan beredarnya naskah perjanjian Mega-Prabowo pada Pilpres 2009, Sabtu (15/3) kemarin.

Naskah perjanjian yang ditandatangani dua tokoh penting dan pendiri partai PDIP Megawati Soekarno dan Partai Gerindra Prabowo Subianto belakangan beredar di kalangan wartawan. Jika mengintip dari jenis materai yang menempel pada tandatangan Megawati, kuat dugaan naskah tersebut milik pihak Prabowo.

Naskah yang dirumuskan di Batu Tulis, Bogor, itu berisi kesepakatan antara Megawati dan Prabowo saat pemilihan umum tahun 2009. Dalam kesepakatan itu kedua partai sepakat berbagi kekuasaan. Megawati akan menduduki posisi  sebagai presiden sedangkan Prabowo duduk sebagai wakil presiden.

Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan Prabowo selaku Wakil Presiden diberi otoritas penuh mengelola perekonomian Indonesia dengan kesempatan boleh menunjuk 10 menteri di bidang ekonomi. Dalam poin terakhir perjanjian itu juga menyebutkan bahwa  Megawati siap mendukung Prabowo menjadi calon presiden di 2014.

Hanya saja memang pada pemilihan presiden 2009 lalu koalisi mereka tak memperoleh hasil, suara partai mereka tak mampu mendudukkan Megawati sebagai presiden. Sehingga hal inilah yang dianggap pihak PDIP, perjanjian tersebut telah hangus dan berakhir dengan sendirinya. Selain itu secara personal Prabowo juga menyindir Jokowi sebagai sosok yang mencla-mencle.

Jokowi sendiri cukup santai menanggapi serangan itu. "Saya tidak mau mengomentari yang malah nanti menjadi panas. Sudahlah. Kita ini kan, biarkan masyarakat yang nanti memberikan penilaian. Ini kan demokrasi. Yang mau mendukung, silakan mendukung, yang tidak mau, silakan," kata Jokowi kepada wartawan di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Minggu (16/3).

Jokowi lantas berpesan, agar setiap capres tidak saling menjelekkan. Namun mengedepankan etika sopan santun. "Saya kira tidak mendukung juga tidak apa-apa. Saya kira tidak perlu saling menjelekan, saling menyerang, saling mencemooh, kita tunjukkan sopan santun kita," kata Jokowi dengan mimik serius.

PDIP sendiri menegaskan siap menjadi tameng dalam melindungi Jokowi dari berbagai serangan. "Kami siap dan Jokowi akan siap," tegas politisi senior PDIP Sabam Sirait, Minggu (16/3).

Pasalnya, calon presiden manapun pasti bakal banyak menerima serangan politik, termasuk Jokowi. Yang pasti, PDIP sudah siap untuk menghadapi serangan ke jagoannya itu. Salah satu serangan yang memang tidak langsung ditujukan ke Jokowi adalah perjanjian batu tulis.

Khusus mengenai perjanjian ini, Sabam mengaku heran karena justru baru dikeluarkan setelah partainya resmi mendeklarasikan Jokowi. "Begini, dia (Prabowo) baru keluarkan itu (perjanjian) setelah Jokowi kami tentukan calon presiden. Ngerti gak? Lihat dong waktunya. Kalau dia capres didukung banyak orang?" kata Sabam. (dtc)

BACA JUGA: