JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dinasti politik dinilai memiliki korelasi terhadap meluasnya praktik korupsi di daerah, jika tidak diawasi dengan baik. Di satu sisi undang-undang yang membatasi praktik dinasti politik justru telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal korupsi justru meningkat ketika pimpinan kepala daerah berasal dari dinasti politik.

Untuk itu, diperlukan kampanye etik untuk membatasi menguatnya dinasti politik melalui pemilihan kepala daerah dalam kontestasi demokrasi yang akan berlangsung pertengahan bulan depan. Urgensi kampanye itu lantaran instrumen hukum masih berpihak pada politik dinasti.

Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said menganggap penanggulangan di hulu lebih efektif, dibanding penindakan kasus korupsi di bagian hilir yang dianggap lebih seksi. Padahal yang perlu diterobos adalah sisi pencegahan dengan membangun kesadaran masyarakat soal korupsi.

"Kalau mengejar hulunya saja tidak akan selesai-selesai," kata Sudirman Said saat diskusi bertopik, "Korupsi dan Politik Dinasti" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/1).

Soal keberadaan dinasti politik, menurut Sudirman, tak bermasalah sepanjang proses politik mendapatkan kekuasaan dan orangnya dilakukan dengan cara yang baik. Namun, Sudirman mengakui peluang terjadinya praktik korupsi memang lebih terbuka ketika adanya dinasti politik. "Tapi memang hubungan keluarga melonggarkan kontrol yang menyebabkan praktik korupsi," ungkapnya.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo juga mengungkapkan hal yang sama. Adnan menilai dinasti politik cenderung melahirkan praktik koruptif karena kekuasaan yang dihasilkan tidak lagi proses yang transparan tetapi karena kekuasaan yang terpusat yang mengharuskan mereka maju ke pusat kekuasaan.

"Saya kira fakta membuktikan bahwa dinasti politik membuat demokrasi tersandera karena pusat kekuasaan terpusat pada dinasti," ungkapnya.

PENDANAAN PARTAI POLITIK - Sudirman Said menambahkan, sejauh ini uang yang dikorupsi oleh kepala daerah itu juga dari APBN dengan berbagai modus operandi. Bantuan pendanaan politik memang masih sangat minim sekitar 0,0010 persen dari APBN. Jika  bantuan politik ditingkatkan, maka ada hak pemerintah untuk mengaudit keuangan partai politik.

"Jadi tidak harus mencari dengan caranya sendiri, tapi difasilitasi oleh negara," ungkap mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu. Uang yang diambil dengan korupsi menurutnya tidak terkendali, tetapi kalau difasilitasi pendanaan akan terkendali.

Lebih jauh dia menjelaskan, jika pembiayaan partai politik oleh negara akan memberi ruang bagi kader terbaik yang tidak memiliki modal finansial memadai dapat terakomodir. "Orang kemudian diukur melalui visi bukan seberapa kemampuan membayar," tukasnya.

Adnan Topan Husodo juga mengaku tidak banyak berharap dengan peran civil society terutama dunia kampus (aktivis mahasiswa). Dia melihat kekuatan civil society pun telah semakin melemah untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah. Selain itu untuk menghasilkan pemimpin pun kampus sulit diharapkan lantaran telah terkontaminasi oleh kepentingan politik.

Adnan mencontohkan, beberapa kampus yang dengan mudah memberikan gelar akademik -doktor honoris causa- tanpa alasan akademik yang jelas. Pertimbangan politiknya lebih dominan dibanding faktor akademik. "Civil society sekarang sudah terpolitisasi. Jadi susah mengharapkan kampus melahirkan pemimpin baru," keluh Adnan.

Dia menyadari, untuk membatasi korupsi maka yang pertama dibenahi adalah partai politik. Menurutnya partai politik yang berperan menghasilkan pemimpin baru di daerah. Dinasti politik menurutnya sering berakhir dengan praktik korupsi. Sebenarnya praktik korupsi dapat ditekan dengan membantu pendanaan dari negara. Dengan pendanaan yang maksimal, imbuh Adnan, negara  juga bisa lebih maksimal mengontrol.

"Parpol juga dituntut akuntable. Kalau diberi dana yang cukup negara juga punya daya tekan yang lebih," kata Adnan.

Robert Endi Jaweng Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah juga menekankan pentingnya peran masyarakat membatasi ruang dinasti politik berkembang melalui kontestasi pilkada. Memang pada awalnya diharapkan partai politik untuk menanggulangi itu, namun partai politik tidak berperan membendung politik dinasti. Dengan demikian peran tersebut bergeser kepada masyarakat.

"Tugas masyarakat membangun kesadaran ini," kata pria yang akrab disapa Endi.

BACA JUGA: