JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Pemantau Legislatif (Koppel) Indonesia menegaskan tidak ada istilah parlemen apalagi pimpinan tandingan dalam institusi atau lembaga tinggi negara. Karena itu, munculnya DPR dan pimpinan DPR tandingan yang dimotori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadi catatan peristiwa perjalanan demokrasi yang sangat memalukan.

Biasanya istilah itu ada dalam parlemen jalanan. Yakni sebuah aksi ektraparlemen yang dilakukan oleh masayarakat sebagai bentuk perlawanan rakyat atas kinerja DPR yang buruk. "Sungguh sangat memalukan, anggota DPR sekarang ini secara langsung berkontribsi pada pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat," kata Direktur Komite Pemantau Legislatif Indonesia Syamsudin Ali Musa kepada Gresnews.com, Jumat (31/10).

Para wakil rakyat, lanjut Syamsudin gagal melakukan dan mengelola penyelesaian konflik yang sehat. Sebaliknya malah memperlihatkan penyelesaian konflik dengan cara primitif dan premanisme. "Senang memelihara konflik kekerasan, ricuh dalam sidang paripurna. Bahkan cara ini dilembagakan dengan membentuk parlemen tandingan," kata Syamsudin menambahkan.

Akibat kondisi itu, menurut Syamsuddin, setidaknya akan berdampak pada dua hal. Pertama, akan mengganggu pemerintahan. Agenda parlemen yang seharusnya dengan fungsi yang dimiliki bisa segera bekerja memastikan pemerintahan on the track, tapi dengan konflik ini maka DPR tidak bisa bekerja dengan baik.

Dan konflik ini juga akan berimplikasi pada pemerintahan. "Sistem kita mengakomodasi beberapa agenda yang harus ada persetujuan DPR dan akan menjdi terganggu dengan peristiwa ini," ujarnya.

Dampak kedua adalah jangka panjang, yakni merusak tatanan perpolitikan di tanah air yang sedang dibangun. Karena itu, ia menyarankan agar KIH legowo tidak mendapat jatah pimpinan DPR, MPR, komisi dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Sebaliknya KIH harus memperkuat lobi ke dalam.

Kata Syamsudin, posisi pimpinan bisa menjadi tidak penting karena yang harus dilobi adalah kebijakan termasuk misi untuk memuluskan agenda program presiden. "Bila berhadap-hadapan terus dengan Koalisi Merah Putih maka tidak akan menguntungkan bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sendiri," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Kebijakan Publik Partai Bulan Bintang (PBB) Teddy Gusnaidi menyatakan sikap KIH yang tidak menerima cara pemilihan pimpinan DPR dan AKD dengan mengeluarkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR, dan kemudian membentuk pimpinan tandingan sangat tidak tepat.

Alasannya, pemilihan pimpinan di DPR memiliki aturan main, yakni Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dan dalam memutuskan sebuah undang-undang pasti ada yang setuju dan tidak. Akan tetapi ketika suara sudah diambil maka semua pihak harus patuhi itu.

"UU MD3 pun sudah pernah digugat PDIP ke Mahkamah Konstitusi dan oleh MK gugatan tersebut di tolak. Mau tidak mau harus tunduk kepada keputusan itu, suka tidak suka UU MD3 itu sah secara hukum yang harus dihormati dan di ikuti," kata Teddy kepada Gresnews.com, Jumat (31/10).

Menurutnya, kondisi tersebut bisa terjadi bukan karena ada pelanggaran undangiundang, tapi dilatarbelakangi perasaan takut program pemerintahan ´dihambat´. Padahal, kata Teddy, hal itu tidak perlu terjadi. Sebab aturan sudah dibuat, proses sudah dilalui sesuai aturan.

"DPR kelompok KIH tidak perlu gusar program Jokowi-JK dihambat. Kedudukan Presiden dan DPR sama dan aturan mainnya juga ada," tuturnya.

Dia mencontohkan, ketika pengajuan APBN ke DPR tidak disetujui, pemerintah bisa mengunakan hitungan APBN tahun lalu seperti tertuang dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945.  Presiden tinggal gunakan APBN dengan besaran tahun lalu saja. Penambahan dana yang ditolak untuk pos program-program baru, tidak perlu dijalankan oleh pemerintah.

"Jika program-program baru itu tidak berjalan dan dikritisi rakyat, maka pemerintah jelas tidak bisa dipersalahkan karena pos pembiayaan untuk program baru itu ditolak oleh DPR," terang Teddy.


Kalau sudah begitu, lanjutnya, secara politik kelompok KMP akan sangat berhati-hati dan tidak sembarangan menolak anggaran yang diusulan pemerintah. Kerugian jelas ada di partai-partai yang anggota DPR-nya menolak pos keuangan untuk program-program pemerintah.

Begitu juga ketika  pemerintah mengajukan rancangan undang-undang ke DPR. Misalnya, diubah oleh mayoritas kelompok KMP dengan pasal yang akan merugikan presiden dan program presiden atau ditolak oleh kelompok KMP, maka presiden juga tidak bisa dipersalahkan. "Tinggal katakan pada rakyat bahwa program saya A dan B tidak bisa jalan karena draft pasal-pasalnya yang pemerintah dihapus oleh DPR," papar Teddy.

Ketika rakyat marah, maka rakyat bisa mendesak Presiden untuk meneluarkan Perppu berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 45, maka UU buatan DPR yang isinya melemahkan presiden otomatis gugur dan Perppu berlaku.

Ia membenarkan, Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan Perppu itu harus mendapatkan persetujuan DPR, tapi Perppu sudah berlaku saat dikeluarkan dan sah aturan mainnya dijalankan oleh pemerintah detik itu juga. Dengan demikian, pemerintah bisa langsung membuat kebijakan sesuai dengan pasal-pasal di Perppu. Jadi kalau DPR mau main akal-akalan, menurutnya, presiden bisa dengan mudah menepis permainan.

"Jadi ini sebenarnya ketakutan yang berlebih-lebihan anggota DPR yang pro Presiden atau bisa jadi karena ketidakmampuan mereka untuk mencari solusi dari masalah ini," terangnya.

Toh, "ancaman" KIH membentuk DPR tandingan sendiri memang sepertinya tak lebih hanya sebagai ancaman kosong. Pasalnya leglitas DPR tandingan ini juga sudah jelas tak diakui di internal DPR sendiri. Pasalnya, Mahkamah Agung juga dipastikan tidak akan melantik para pimpinan DPR tandingan ini.

´´Jika MA melantik DPR tandingan berarti MA sudah terseret arus politik juga,´´ ucap Pakar Hukum Tata Negara, Budidarmono kepada Aditya Widyaputri dari Gresnews.com, Jumat (31/10).
M
enurutnya MA harus netral dan hanya fokus melihat kasus hanya dari bagian hukumnya saja, bukan politik. Oleh karena itu, bisa dipastikan MA tidak akan melantik struktur DPR versi KIH. Jika nekat melantik, maka MA akan dinilai sebagai lembaga tinggi negara tidak profesional karena telah melantik dua DPR dan sudah menjadi alat politik salah satu kubu.

´´Persoalan internal DPR tidak bisa diaelesaikan MA, tidak berwenang mereka. Karena masalah DPR diselesaikan dengan penentuan mayoritas. Beda misalnyanjika yang bermasalah itu presiden dengan DPR, baru bisa,´´ jelasnya.

Pelantikan oleh MA pun dipastikan tidak akan ada oleh Wakil Ketua DPR, Fadli Zon. Alasannya, DPR tandingan tidak pernah dimuat dalam tatib maupun UU MD3 sehingga pelegalan atas struktur tandingan itu dipastikan melanggar hukum dan bisa digolongkan makar.

Namun, di sisi lain Wakil Ketua FPDIP DPR Ahmad Basarah yakin pihaknya akan tetap eksis dan tetap menggelar Paripurna hari ini. ´´Tentu saja para pimpinan telah memparaf surat secara resmi. Kami akan memanfaatkan fasilitas negara yang diberikan kepada dewan untuk menyelenggarakan rapat. Saya garisbawahi Sekjen tak sepatutnya ikut dalam perpolitikan DPR. Sekjen itu abdi negara, bukan abdi kelompok tertentu,´´ ujar Basarah dalam jumpa pers di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (30/10).

Agenda dalam sidang paripurna DPR versi KIH pertama adalah pembacaan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR yang berlaku tidak benar. Atas dasar pembacaan mosi itu agenda selanjutnya membentuk pimpinan DPR dan menetapkan alat dan badan versi KIH sendiri.

BACA JUGA: