JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kecaman mengalir pada pemerintah yang selalu terlambat dalam menangani warga negaranya seperti Satinah yang terancam hukuman ncung karena membunuh majikannya di Arab Saudi. Pemerintah selalu mempermasalahkan pembayaran uang diyat atau ganti rugi pembunuhan yang diminta sebagai alasan tidak mampu menyelamatkan warganya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelamatkan Satinah dari hukuman pancung. Menurutnya pemerintah harus menghentikan perdebatan atas uang tebusan yang diminta oleh pemerintah Arab Saudi dan segera menyelamatkan Satinah.

Dia meminta kepada SBY sebelum mengakhiri jabatannya untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang pembantu rumah tangga (RUU PRT) dan revisi undang-undang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UU PPTKI No 39/2004). Menurutnya dengan mengesahkan kedua rancangan undang-undang tersebut kasus-kasus seperti Satinah tidak akan terulang kembali di masa yang datang.

"Sekitar ratusan TKI di Timur Tengah khususnya Arab Saudi sudah masuk dalam daftar antrian tunggu hukuman pancung. SBY harus melakukan langakah-langkah Government to Government," kata Said, Jakarta, Kamis (27/3).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah mengatakan dalam menangani TKI yang terancam mati pemerintah haruslah bergerak lebih cepat. Faktanya hingga sekarang ternyata pemerintah hanya melakukan upaya komunikasi dengan pemerintahan Arab Sabudi menjelang batas akhir vonis eksekusi pada 3 April mendatang.

Meski demikian pemerintah haruslah menanggapi positif gerakan masyarakat yang ingin memberikan sumbangan kepada Satinah mengingat diyat yang disepakati sebesar 7 juta riyal atau sebesar Rp21 miliar. Namun hingga sekarang dana yang terkumpul baru mencapai Rp12 miliar.

"Waktunya tinggal sebentar lagi. Pemerintah harus tanggap cepat," kata Anis.

Satinah binti Jumadi Ahmad Rabin, 40 tahun, TKI asal Dusun Mruten Wetan RT 02 RW 03, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,  diancam hukuman mati oleh Pengadilan Buraidah Arab Saudi. Ia dituduh telah menghabisi nyawa majikannya, Nura binti Muhammad Al Gharib, 70 tahun dan mengambil uangnya senilai 37.970 riyal atau sekitar Rp119 juta pada Juni 2007.

Tragedi Satinah dimulai pada tahun 2006 ketika dia mengadu nasib sebagai TKW di Arab Saudi. Dia berangkat melalui penyalur TKI PT Djasmin Harapan Abadi. Dia ditempatkan di Provinsi Al Qassim, bekerja di keluarga Nura Al Gharib. Namun malang bagi Satinah, dia mengaku sering disiksa majikannya.

Tidak tahan dengan perlakuan kasar yang berkali-kali diterima, akhirnya pada 2007 Satinah melawan. Saat itu Satinah dan majikan perempuannya, Nura Al Gharib, sedang berada di dapur. Entah karena apa, Nura membenturkan kepala Satinah ke tembok. Satinah balas memukulkan adonan roti ke tengkuk Nura hingga korban pingsan. Nura meninggal setelah sempat koma beberapa lama di rumah sakit.

Satinah langsung menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Satinah juga dikenai pasal perampokan karena dianggap melarikan uang majikan sebesar 37.970 riyal. Satinah diadili pada 2009-2010. Dia divonis hukuman mati mutlak (had ghillah) oleh Pengadilan Negeri Buraidah pada Agustus 2011 dengan dakwaan tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.

Namun karena upaya pemerintah Indonesia, ancaman hukuman mati mutlak terhadap Satinah bisa diturunkan  menjadi hukuman mati qishas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran diyat. Pemerintah juga mengupayakan tenggat waktu vonis pada Agustus 2011 menjadi diperpanjang hingga lima kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012, Juni 2013, Februari 2014, dan 5 April 2014 nanti.

Pemerintah Indonesia mengintervensi dengan melakukan lobi-lobi. Pemerintah meminta Arab Saudi sebagai mediator dengan pihak keluarga Nura agar keluarga memberi pemaafan dengan cara membayar uang darah (diyat) atau kompensasi/tebusan.

Satinah dijadwalkan dihukum pancung pada Agustus 2011. Namun, dia mendapat perpanjangan waktu hingga tiga kali yakni Desember 2011, Desember 2012, dan Juni 2013 lantaran masih ditempuh upaya pemaafan dan perundingan diyat yang melibatkan Gubernur Qassim.Proses pemaafan atas kasus itu pun tercapai dan pemancungan diganti dengan pembayaran diyat kepada keluarga korban. Mengenai besarnya uang diyat itu, semula diminta 15 juta riyal (Rp 45 miliar), kemudian diturunkan menjadi 10 juta riyal (Rp 30 miliar), dan terakhir keluarga korban mematok sebesar 7 juta riyal (Rp 21 miliar). Tanggal 3 April 2014 ditetapkan sebagai batas pembayaran diyat.

Saat ini sejumlah kalangan tengah menggalang dana untuk membantu membayar diyat Satinah. Mulai dari anggota DPR, aliansi pembantu rumah tangga Yogya, Pemprov Jawa Tengah hingga Gubernur DKI Joko Widodo. Pemerintah menganggarkan Rp 12 miliar untuk Satinah. Jumlah itu kurang 9 miliar.

Upaya terbaru yang dirilis pada Rabu (26/3) adalah Presiden SBY kembali berkirim surat ke Raja Saudi guna membebaskan Satinah dari hukuman mati. Selain itu juga, tim pelobi dari pemerintah akan menemui keluarga korban pembunuhan yang dilakukan Satinah.

"Bapak Presiden akan mengirim surat yang ke sekian kalinya ke Raja Saudi, untuk memohon, meminta Raja untuk ikut bersama-sama dengan tim ini nanti melobi berkoordinasi dengan keluarga korban agar sedianya 3 April eksekusi pembayaran diyat itu bisa diperpanjang," jelas Menko Polhukam Djoko Suyanto di Kantor Presiden, usai menghadiri rapat terbatas kabinet membahas Satinah.

BACA JUGA: