JAKARTA, GRESNEWS.COM – Meski secara kuantitas angka partisipasi publik dalam pemilihan presiden 2014 dinilai turun dibanding pemilihan presiden 2009 lalu, namun angka kualitas partisipasi publik justru meningkat dari pemilu sebelum-sebelumnya. Hal itu ditandai dengan munculnya banyak relawan calon presiden (Capres) yang ikut mengawal pilpres.

Menurut pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Bakir Ihsan salah satu indikator kualitas partisipasi adalah adanya kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk memilih karena adanya pemahaman terhadap calon yang akan dipilih. Hal ini kata dia, sangat dimungkinkan karena dalam pilpres 2014 hanya ada 2 capres. Sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan informasi yang mendorongnya untuk memilih.

“Berbeda dengan Pileg dengan calon yang sangat banyak sehingga masyarakat tak punya banyak informasi, sehingga partisipasinya lebih pada keharusan untuk memilih atau bisa lebih pada mobilisasi,” ujarnya pada Gresnews.com, Kamis (24/7).

Bakir menambahkan dukungan media baik cetak maupun elektronik dan media sosial terhadap Capres yang hanya 2 pasangan memberi ruang preferensi yang luas bagi masyakarat. Menurutnya, ada banyak bentuk partisipasi, selain ikut memilih, juga ikut jadi relawan, menyumbang calon yang didukung, ikut kampanye, ikut menempel poster2 calon, termasuk mengawasi kemungkinan adanya kecurangan.

“Kualitas partisipasi tidak bisa dilepaskan dari fatsun (etika) politik. Partisipasi tidak menghalalkan segala cara. Black campaign adalah cara yang mengabaikan fatsun politik,” katanya saat ditanya apakah kampanye hitam masuk ke dalam kategori partisipasi politik masyarakat dalam pilpres.

Senada dengan Bakir, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Muhammad Afifudin mengatakan dari sisi kemeriahan partisipasi mungkin bisa dikatakan partisipasi masyarakat lebih meriah. Ia mencontohkan misalnya diskusi di media sosial dan partisipasi masyarakat mengawasi C1.

“Ramainya diskursus di media sosial bisa kita bilang sebagai partisipasi masyarakat dalam pilpres kemarin. Belum lagi kreativitas banyak pihak dalam melakukan sosialisasi,” ujarnya pada Gresnews.com, Kamis (24/7).

Disisi lain menurutnya juga terdapat kemeriahan kampanye negatif oleh masing-masing pendukung. Saat ditanya korelasi meningkatnya kualitas partisipasi masyarakat dengan menurunnya kuantitas pemilih, ia berpendapat bisa jadi kampanye hitam yang meriah ini membuat sebagian warga malas memilih. Selain itu, menurutnya kampanye konvensional yang biasanya menyentuh lapisan bawah tak semasif dulu.

“Mestinya dua-duanya (kuantitas dan kualitas partisipasi masyarakat) bisa beriringan. Malahan kita sedang bertanya kenapa daftar pemilih tambahan besar tapi partisipasi turun. Ini semacam anomali,” lanjutnya.

Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sigit Pamungkas mengatakan partisipasi masyarakat dalam pemilu presiden (Pilpres) 2014 mencapai 70%. Angka tersebut menurun dibandingkan dengan partisipasi politik masyarakat dalam pilpres 2009 sebesar 72% dan pileg 2014.

Sigit melanjutkan gairah mengikuti pilpres meningkat di masyarakat perkotaan. Sementara itu gairah di pedesaan justru tidak sekuat di perkotaan dalam menghadapi pilpres. Hal itu menurutnya dikarenakan jangkauan tim sukses dan media untuk menjangkau masyarakat di pedesaan relatif terbatas. “Padahal pemilih kita sebagian berasal dari pedesaan dan kemampuan menjangkau terbatas, itulah yang menyebabkan partisipasi relatif menurun,” katanya.

Lebih lanjut, Sigit menambahkan walaupun secara kuantitas partisipasi menurun, ia mengklaim secara kualitas partisipasi masyarakat dalam pemilu justru mengalami peningkatan. “Proses yang dulu di luar aktivitas pemilih sangat terbatas, pada pemilu ini semua tahapan pilpres partisipasi publik sangat tinggi. Kesukarelaan warganegara juga mengalami peningkatan baik yang terafiliasi maupun yang tidak terafiliasi dengan partai,” katanya di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Rabu (23/7).

Sigit menuturkan secara kualitas masyarakat mengawal semua tahapan mulai dari Daftar Pemilih Tetap (DPT), rekapitulasi, dan proses kampanye. Ia menuturkan pada pemilu sebelumnya publik hampir tidak memiliki perhatian di luar aktivitas memilih. Lanjutnya, kini publik berpartisipasi dalam melaporkan pelanggaran kampanye. “Mengawal hasil pemilu mengalami penebalan, kesukarelaan muncul. Fenomena itu yang tidak ada pada pemilu sebelumnya,” ujarnya.

Naiknya kualitas partisipasi masyarakat dalam pemilu menurut Sigit bukan karena KPU tapi karena mesin partai dan kandidat calon presiden. Menurutnya, kandidat merupakan magnet utama dalam pemilu. “Kandidat menarik, tanpa didukung tim mobilisator yang kuat tidak akan mampu menarik partisipasi pemilih,” lanjutnya.

Ketua Komisioner KPU, Husni Kamil Manik juga mengatakan kuantitas partisipasi menurun dalam pilpres karena pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) banyak yang tidak menggunakan hak suaranya. Pihaknya mengaku telah mensosialisasikan bahwa C6 atau undangan memilih tidak menjadi syarat untuk bisa memilih. Prakteknya pemilih yang membawa KTP dan tidak membawa C6 diklasifikasikan sebagai pemilih dalam DPKtb. Padahal menurutnya harusnya pemilih tersebut masuk ke dalam DPT dan bukan DPKtb.

"Itu yang perlu diteliti seberapa banyak, ketika kita mengevaluasi pileg dengan memasukkan DPKtb yang ada dalam sistem KPU, ternyata sejumlah nama ditolak. Kami merancang bila ada kesamaan nama dan nomor induk kependudukan, nama itu tidak akan masuk. Artinya nama itu sudah ada di dalam. Indikasinya pemilih itu sudah terdaftar dalam DPt, tapi ketika pemungutan suara tidak dimasukkan dalam DPT," katanya di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Rabu (23/7).

BACA JUGA: