JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat terus menyoroti masalah utang pemerintah yang dinilai terus membengkak. Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, saat ini kondisi utang pemerintah semakin mengkhawatirkan. Di satu sisi, penerimaan negara dari ekspor menunjukkan tren menurun. Namun di sisi lain, pemerintah malah menumpuk utang.

Dalam kondisi seperti ini, kata Heri, seharusnya ada penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah. "Tak masuk akal, memang. Ketika penerimaan negara dari ekspor terus menurun, pemerintah malah menumpuk utang. Akal sehat di mana pun tidak bisa menerima tindakan itu. Mestinya yang dilakukan adalah penghematan dan bukan justru menambah utang yang akan menjadi beban bertahun-tahun," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta (11/2).

Karena itu, Heri Gunawan meminta pemerintah serius memperhatikan posisi utang negara dan swasta. Dia mencatat, saat ini posisi utang pemerintah telah mencapai Rp3.000 triliun. Utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp752 triliun dan surat utang negara atau SBN Rp2.347 triliun.

"Ini sudah lampu merah, karena bisa membawa Indonesia pada jurang kebangkrutan," kata Heri.

Pasalnya, menurut politisi Gerindra itu, utang tersebut memiliki tenor jangka panjang dengan bunga komersil. Belum lagi utang swasta yang saat ini mencapai US$167 miliar. "Angka ini jauh lebih tinggi dari utang pemerintah," ujarnya.

Posisi utang ini, kata Heri, akan menjebak nilai tukar rupiah ke posisi paling dalam. Ditambahkan Heri, pemerintah sudah begitu banyak menerbitkan SBN untuk membiayai APBN 2016. Itu, menurut dia, sama saja pemerintah secara sadar sedang menjerumuskan 250 juta rakyat Indonesia menuju kebangkrutan dan penguasaan asing.

"Saat ini, penerbitan SBN yang mencapai lebih dari Rp2.000 triliun menjadi pintu masuk kepemilikan asing terhadap kekayaan nasional," ujar Heri.

Lebih lanjut politisi dari dapil Jabar IV itu mengungkapkan, saat ini rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto dan debt service ratio masing-masing sebesar 32,9 persen dan 46,2 persen. Angka itu masih cukup tinggi dan terus menggerus penerimaan negara dari ekspor.

"Penerimaan ekspor hanya habis untuk bayar utang, belum termasuk bunga," ujarnya.

Sebelumnya, Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI juga telah menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pakar ekonomi. Dalam rapat yang digelar Kamis (4/2) itu Banggar membahas melonjaknya utang dan skema pembiayaan menuju perubahan APBN 2016.

Pakar ekonomi yang dihadirkan dalam RDPU ini adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Anggito Abimanyu dan ekonom dari IPB Noer Azam Achsani. Dalam rapat ini, Banggar menemukan fakta pendapatan negara tidak sebanding dengan pengeluarannya.

Ada ketimpangan dalam pengelolaan anggaran negara, sehingga untuk menutupi pengeluaran tersebut pemerintah sulit menghindar dari utang. Anggota Banggar DPR Hamka Baco Kady menyarankan jika pemerintah tidak bisa menghindar dari utang negara maka sebaiknya memperioritaskan utang untuk belanja modal, bukan justru utang dalam belanja barang.

Hamka pun mengeluhkan dalam kurun waktu 2015 pemerintah malah mengambil tindakan yang tidak strategis dalam hal ekonomi, pemerintah lebih banyak berutang untuk memenuhi belanja barang. "Tapi utang harus belanja modal bukan belanja barang. Namun dalam 2015 lebih banyak belanja barang," keluh anggota dewan dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I itu.

Hamka mengungkapkan, dalam postur APBN pengeluaran negara banyak yang bersifat mandatoris, dan sudah memiliki pijakan undang-undang yang cukup kuat sehingga sulit untuk digugat. Untuk menghadapi permasalahan ini, politisi dari Fraksi Partai Golongan Karya menganjurkan kepada pemerintah untuk berpikir kreatif agar pemasukan keuangan negara bisa proporsional dengan pengeluaran.

"Sementara pendapatan dan penerimaan negara tidak proporsional. Saya menyarankan, pemerintah harus berpikir untuk mendapatkan penerimaan selain pajak, karena kue akan dibagi ke pada banyak sektor," ujar Hamka.

SIAPKAN UTANG BARU - Dalam rapat itu, Banggar juga mendapatkan informasi bahwa pemerintah di tengah kondisi seperti ini malah menyiapkan utang baru senilai Rp63 triliun. Uang sebanyak ini akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur pada awal 2016.

Sumber dana berasal dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi berbentuk valuta asing senilai US$3,5 miliar atau setara Rp48 triliun dan matang uang domestik senilai Rp14 triliun.

Kebijakan pre-funding atau utang lebih awal ini menurut pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2016 yakni menerbitkan SUN pada akhir 2015. Tujuannya, untuk menjamin ketersediaan pendanaan pada awal tahun anggaran 2016.

Meski ada dasar hukumnya, DPR tetap menilai cara pemerintah menumpuk utang ini sangat ironis. Pasalnya, hal itu terjadi di tengah pencabutan subsidi BBM, yang disebut pemerintah bisa memberikan ruang fiskal yang besar.

Nyatanya, pemerintah masih terus mencetak utang luar negeri untuk membiayai APBN. "Ini membahayakan kelangsungan ekonomi nasional. Apalagi, ada utang swasta yang ternyata jauh lebih besar daripada utang pemerintah," kata Heri Gunawan.

Utang pemerintah selama Presiden Jokowi memerintah dalam setahun terakhir sudah mencapai Rp565 triliun. Bahkan, kata Heri, pemerintah masih berencana mencetak utang lagi pada 2016 ini sebesar Rp605 triliun.

Dia pun mempertanyakan kemana larinya dana penghapusan subsidi BBM. "Terus dana menghapus subsidi BBM ke mana? Dan apa kerja Menkeu kalau cuma cetak utang saja?" katanya.

Intervensi Bank Indonesia (BI) juga dipertanyakan Heri atas perannya menstabilkan nilai tukar rupiah. Devisa pun sempat ambruk hingga tersisa US$99 miliar dari sebelumnya US$115 miliar. "Ini berbahaya. Bisa saja ada maling di balik utang dan intervensi kurs dolar tersebut," tegas Heri.

Padahal, kata dia, salah satu penyebab rontoknya rupiah terhadap dolar AS adalah utang swasta yang besar yang mencapai 57% keseluruhan utang negara. "Utang swasta ini telah memberi tekanan berat pada nilai tukar rupiah ketika The Fed menaikkan suku bunganya," kata Heri.

HEMAT ANGGARAN - Sementara itu, Presiden Joko Widodo sendiri, dalam pidatonya pada pengantar Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (10/2) sore, meminta agar kementerian dan lembaga negara mengendalikan penggunaan anggaran. Presiden menegaskan, para menteri harus betul-betul mengendalikan arah penggunaan anggaran, dan tidak memberikan (kendali tersebut) kepada bawahan.

"Arah itu dipegang penuh oleh menteri, sehingga di dirjen, direktur, dan ke bawah itu hanya memberikan rincian. Kebijakan (policy) yang berkaitan itu dipegang menteri," tegas Jokowi, seperti dikutip setkab.go.id.

Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi juga mengingatkan agar penganggaran harus difokuskan pada program prioritas atau dengan kata lain money follows program. "Money follows program itu ya program kita apa, semuanya fokus ke situ. Kalau tidak seperti ini tidak akan kelihatan nanti, tidak akan kelihatan barang, tidak akan kelihatan kemanfaatan, tidak akan kelihatan rasa oleh masyarakat," terang Jokowi.

Presiden mencontohkan selama ini anggaran dibagi berdasarkan struktur organisasi, dari Menteri ke dirjen, dirjen ke direktur, direktur ke subdirektur, dan seterusnya ke bawah. "Ini yang menyebabkan anggaran kita hilang tidak berbekas karena duitnya mengikuti organisasi yang ada," kata Presiden.

Menurut Presiden Jokowi, meskipun organisasi tetap diperlukan, namun penganggaran harus berbasis prioritas dan fokus dari masing-masing kementerian. "Tidak perlu yang namanya setiap dirjen atau setiap direktur atau setiap subdit atau setiap seksi itu ada anggaran, tidak perlu seperti itu. Itu hanya bagi rata namanya," kata Presiden.

Sebagai bagian pengendalian anggaran, Jokowi juga mengingatkan kembali para menterinya untuk melakukan penyederhanaan nomenklatur di kementerian dan lembaga negara. Dia meminta nomenklatur tersebut langsung pada substansinya.

Jokowi meyakini, penyederhanaan tersebut akan mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran. "Kata-kata pemberdayaan, peningkatan, penguatan, pengembangan, pembangunan, sudah lupakan itu, lupakan itu, lupakan itu! Langsung to the point-nya saja, langsung saja beli jaring, beli benih, beli kapal untuk nelayan," kata Presiden Jokowi mencontohkan.

BACA JUGA: