JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah sepertinya telah benar-benar kelimpungan memenuhi target pungutan pajak yang hingga akhir tahun ini diperkirakan hanya akan terpenuhi sekitar 85 persen dari target Rp1.295 triliun. Karena itu, demi menggenjot target pajak yang naik ke angka Rp1300-an triliun, pemerintah berupaya mengejar kepatuhan pajak para wajib pajak.

Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Lewat upaya ini pemerintah berharap mampu menari pajak tambahan hingga beberapa ratus triliun.

Politisi PPP Arsul Sani berharap jika direalisasikan, RUU ini bisa menghasilkan dari target penerimaan sebesar Rp220 triliun atau setidaknya menghasilkan penerimaan antara Rp150-200 triliun. "Kalau cuma bisa ambil Rp5 triliun buat apa kita berdebat panjang lebar mengusahakan ini?" ujarnya.

Karena itulah, DPR mengebut upaya pengesahan RUU Pengampunan Pajak alias tax amnesty dengan cara mengambil alih inisiatif RUU itu dari tangan pemerintah. Dalam rapat yang dilangsungkan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jumat (27/11), DPR setuju pembahasan RU Pengampunan Pajak masuk ke dalam Perubahan Prolegnas 2015.

RUU yang sempat panas dibahas karena memuat klausul pengampunan koruptor ini akan dikejar selesai dalam tiga minggu mendatang. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menyatakan perubahan RUU Pengampunan Pajak yang masuk dalam prioritas 2015 bisa menjadi klaim atas produktifitas Baleg.

"DPR akan berkirim surat setelah rapat paripurna hari Selasa depan, memberitahukan ini sudah masuk ke prolegnas 2015. Lalu ke Badan Musyawarah (Bamus) baru paripurna lagi," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Jumat (27/11).

Jika saat rapat paripurna sudah diketok, maka tinggal menunggu persetujuan presiden dengan waktu maksimal 60 hari. Namun, dalam hal ini, pemerintah lewat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yassona Laoly pun sudah menyatakan tingkat urgensi yang tinggi.

Maka persetujuan presiden pun diduga akan lebih cepat dari waktu tersebut. "Dalam mekanisme di UU No 12/2011, Tatib DPR, dan UU MD3 ini dimungkinkan kok dikebut ketika memang urgent," ujarnya.

Ketika sudah disetujui di Baleg, Firman menyatakan mau tak mau Baleg harus membahas. Bahkan bisa dikatakan kesalahan fatal apabila tak merespons.

"Sisa waktu 3 minggu ke depan logis saja karena yang dibahas cuma beberapa pasal. Coba UU MD3 kemarin, hanya beberapa hari kan?" katanya.

Menkumham Yasonna Laoly yang turut datang dalam rapat perubahan prolegnas 2015 ini juga menyatakan kesepakatannya. Ia menilai RUU ini akan lebih baik ketika disellesaikan secepatnya. "Ini demi kepentingan bangsa dan negara, semoga tak ada kritik dan persepsi yang berbeda di masyarakat," katanya.

Untuk itulah ia pun menyetujui usulan DPR ketika RUU ini masuk sebagai inisiasi pemerintah agar tak menimbulkan persepsi buruk di masyarakat terhadap DPR. RI. Sebab, pemerintah pun mengakui kebutuhannya atas RUU ini untuk mengejar ketertinggalan penerimaan pajak.

"Tax ratio hanya di kisaran 11-13 persen. Jika dibandingkan negara lain ini 16 persen. Tax effort 0,47 persen, disebabkan tindakan yang belum melaporkan harta di luar negeri, demi mencegah lari keluar negeri," ujar Yasonna Laoly.

Usulan pembahasan ini ditegaskannya sudah sejalan dengan peraturan perundangan. Untuk itu, diharapkan tak terdapat kritik dan presepsi negatif dari publik ketika RUU ini sudah masuk prolegnas 2015.

TERANCAM SIA-SIA - Pemerintah memang beralasan disegerakannya pembahasan dan pengesahan RUU Pengampunan Pajak ini adalah demi mengejar ketertinggalan setoran pajak. Hanya saja, langkah pemerintah yang terkesan terburu-buru ingin mengesahkan RUU ini dinilai malah bisa menjadi langkah sia-sia.

Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan langkah pemerintah terancam sia-sia karena jika disahkan pada tahun ini pun, penerapannya baru bisa dilakukan pada tahun depan, sehingga tak bisa mendongkrak penerimaan pajak pada tahun 2015.

"Ini ada asimetri info dari pemerintah baru yang tak cukup memahami persoalan besarnya, jadi lebih mudah diarahkan untuk kepentingan tertentu," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (29/11).

Menurut Yustinus, jikapun RUU ini diterapkan tahun depan, ia menilai Indonesia belum siap dari sisi administrasi dan sistem. Ungkapan adanya tambahan pada penerimaan pajak dan penarikan dana luar menurutnya masih bersifat ekspektasi belaka.

Yustinus menganalogikan Indonesia seperti ember yang digunakan menampung air. "Kita mau tampung air yang banyak tapi embernya tak digedein, ya cuma dapat sedikit sama aja," katanya.

Apalagi, pada tahun 2018 terdapat sistem Automatic Exchange of Information (AEOI) dimana antar negara dapat pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Pada tahun inilah Indonesia dianggap mempunyai senjata untuk mengejar aset-aset pengemplang pajak di luar negeri dengan pertimbangan informasi tersebut.

Keikutsertaan Indonesia dalam AEOI sebagai anggota G-20 bertujuan untuk menghindari terjadinya base erosion and profit shifting (BEPS) atau penghindaran pajak oleh wajib pajak. "Kita bisa mengindentifikasi siapa pengemplang pajak dari misalnya meminta data rekening ke Singapura, nanti mereka akan jawab dan kita tinggal eksekusi," katanya.

Namun, sayangnya, sebelum langkah ini bisa diterapkan, pemerintah malah mengambil langkah terburu-buru dengan penerapan pengampunan pajak yang belum sempurna. Karena itu, langkah ini terancam sia-sia.

"Ibaratnya sebelum ini bisa digunakan, hutannya dibakar dulu, jadi saat mau jaring tak ada binatang yang bisa diambil," ujarnya.

Yustinus menjelaskan, negara-negara yang sukses menerapkan pengampunan pajak juga sebagian besar merupakan negara maju yang memiliki sistem yang kuat, seperti misalnya Amerika, Jerman, dan Irlandia. Walaupun sudah bagus sistemnya, pun penerimaan pajak pada negara-negara ini tak bisa diklaim sudah optimal.

Sedangkan pada negara-negara berkembang, sebagian besar cenderung gagal karena ketidaksiapan sistem yang ada. Jikapun berhasil seperti Afrika Selatan dan India itupun lantaran faktor X yang terdapat di negara tersebut.

Misal pada Afrika selatan, pengaruh politik Nelson Mandela yang saat itu dinilai memiliki kredibilitas tinggi, dan memiliki janji perbaikan negara pada jangka panjang. Mandela juga memiliki kekuatan mendorong massa yang membuat sistem perpolitikan menjadi mulus dan para pengemplang pajak pun akhirnya membayarkan pajaknya.

Sedang di India terdapat faktor kultur dimana ada sistem kasta sehingga ada memudahkan mobilisasi kepatuhan kepada kasta-kasta yang lebih tinggi. Menurutnya dalam hal ini, Indonesia tak punya pemimpin yang mampu menggerakkan banyak orang, ditambah kultur masyarakatnya yang cenderung tak patuh.

"Saya mengkhawatirkan ini merupakan proses politik, DPR kan begitu selesai UU leepas tanggung jawab. Yang tanggung jawab itu pemerintah mereka harus hati-hati karenya kenyataannya belum ssiap menerapkan ini," ujarnya.

DEFISIT ANGGARAN LAMPAUI TARGET - Pemerintah sendiri terkait penerimaan pajak tahun ini memang sudah mengakui sudah tak bakal bisa dikejar lagi. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan penerimaan pajak diproyeksikan hanya akan mencapai 85 persen.

Dengan penerimaan pajak yang meleset dari target, diperkirakan defisit anggaran diproyeksi melewati target yang ditertapkan yaitu 2,23% dari Pendapat Domestik Bruto (PDB). "(Defisit anggaran) 2,7% kalau proyeksi terburuknya," kata Bambang Brodjonegoro di Gedung Djuanda, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (27/11).

Sedangkan belanja negara, realisasinya diperkirakan mencapai 92% dari target Rp1.984,1 triliun. "Asumsinya pengeluaran 100%, emang mungkin ya sekitar 92%-93%," imbuhnya.

Sementara untuk tambahan pembiayaan, Bambang mengaku telah mempersiapkan sejak beberapa bulan sebelumnya. ‎Pembiayaan ditarik melalui pinjaman multilateral, seperti dari Bank Dunia dan Asia Development Bank (ADB).

"Nilainya disesuaikan dengan defisit, itu saja. Belum semua ditarik," tegas Bambang.

Bambang memastikan tidak akan ada pemotongan belanja dari Kementerian Lembaga (KL). Namun untuk penyertaan modal negara (PMN) yang ditujukan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak akan direalisasikan keseluruhan. ‎

"Pokoknya sampai akhir tahun sebagian besar akan dibayarkan," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: