JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengelolaan Blok Mahakam masih mengundang banyak tanya, hingga saat ini pemerintah masih menimbang-nimbang apakah setelah masa kontrak PT Total E&P Indonesia habis dapat dikelola oleh PT Pertamina atau kembali dikelola oleh Total. Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan pemerintah harus menunjuk Pertamina selaku perusahaan minyak negara untuk mengelola Blok Mahakam. Alasannya, Pertamina sanggup mengelola Blok Mahakam. Dia menilai pascakontrak habis, Blok Mahakam harus 100 persen milik Indonesia.

Kurtubi menjelaskan pekerja Total berasal dari orang lokal Indonesia sebanyak 95 persen dan ditambah lagi Total sudah menjadi operator selama 50 tahun. Jika kontrak Total diputus maka karyawan yang sudah bekerja tidak akan diputus juga karena demi kelancaran produksi. "Jadi hanya ganti pemilik saja, itu sudah biasa di dalam perusahaan. Jadi 95 persen karyawan orang Indonesia tetap bekerja," kata Kurtubi, di Jakarta, Selasa (25/2)

Dia mengungkapkan jika Pertamina mendapatkan kontrak untuk mengelola Blok Mahakam tentunya negara akan diuntungkan dalam jumlah yang sangat besar karena alokasi migas bisa diatur sendiri oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bisa jadi nantinya hasil produksi, pemerintah dapat mengkonversi BBM ke BBG dan juga bisa digunakan untuk pembangkit listrik.

Namun jika Blok Mahakam dikelola asing maka Total sendiri yang mengatur sehingga proporsi keuntungan bisa lebih besar ke perusahaan asing. Menurutnya, keuntungan lebih besar ke asing karena kontrak masih berjalan dan pemerintah pun menghormati kontraknya dengan Total. "Ini kan kontraknya sudah mau selesai, kalau sudah selesai ya harus jadi milik Indonesia," kata Kurtubi.

Berbeda dengan Kurtubi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan pengelolaan Blok Mahakam jangan dikaitkan dengan antiasing karena dampaknya nanti akan meluas seperti keengganan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dahlan enggan menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam ke Pertamina dengan alasan Pertamina tidak mampu mengelola Blok Mahakam.

Kedua, Pertamina akan hancur jika perusahaan mengelola Blok Mahakam. "Saya kira isu itu kalau dikembangkan boleh juga karena bagi pengontrak tidak lama pasti ingin mengontrak lagi," kata Dahlan, di Jakarta, Selasa (25/2).

Dahlan menilai baik dari segi keuangan Indonesia pun sangatlah mampu untuk mengelola Blok Mahakam. Namun jika mengacu masukan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pengelolaan Blok Mahakam diputuskan tidak terburu-buru, hal itu dilakukan agar ke depan pemerintah tidak terbebani. "Untuk itu kita perlu memikirkan jauh ke depan bagaimana pengelolaan Blok Mahakam," kata Dahlan.

Seperti diketahui, Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total (Perancis, 50 persen) dan Inpex (Jepang, 50 persen) pertama kali pada 31 Maret 1967, untuk jangka waktu 30 tahun. Kontrak itu sebenarnya telah berakhir pada 31 Maret 1997. Pada awal 2007, KKS kembali diperpanjang selama 20 tahun, sampai 31 Maret 2017.

Sesuai Pasal 28 Ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2004, 10 tahun sebelum kontrak berakhir, kontraktor dapat kembali mengajukan permohonan perpanjangan kontrak untuk masa waktu 20 tahun berikutnya. Namun di sisi lain, sesuai Pasal 28 PP No. 35/2004 pemerintah dapat pula menolak atau menyetujui permohonan tersebut.

BACA JUGA: