JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gerakan buruh dalam konstalasi politik nasional tak bisa disepelekan. Dengan jumlah sekitar 118,1 juta pada dua tahun lalu kekuatan para buruh ini tentu mendapat perhatian khusus dari partai politik. Sayangnya kendati jumlah buruh di Indonesia mencapai 5 besar dunia, mereka masih belum bisa bersatu dalam   menghadapi pemilihan umum (Pemilu) 2014. Kepentingan para buruh tersebar di berbagai partai politik yang belum tentu memperjuangkan nasib para buruh.

Masih tercerai berainya gerakan buruh dalam Pemilu 2014 terlihat dari pandangan beberapa organisasi pekerja dan buruh di Indonesia. Misalnya Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sjukur Sarto mengatakan kelompoknya mendukung partai atau calon presiden (capres) yang punya komitmen menghapus sistem alih daya atau outsourcing. Salah satu yang harus dilakukan adalah merevisi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sjukur menyebutkan saat ini ada lima capres yang populer. Namun dari kelima tersebut Sjukur ragu bisa mengakomodir kepentingan pekerja. Misalnya capres terpopuler Joko Widodo alias Jokowi belum tentu berani melakukan revisi beleid Ketenagakerjaan.

Sjukur ragu. Sebab lahirnya UU ini saat Megawati berkuasa dengan Menteri Tenaga Kerjanya adalah Jacob Nowawea dari PDIP. "Berani nggak Jokowi akan revisi, sebab nanti Megawati yang pegang remote," kata Sjukur dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Selasa (25/3).

Sjukur memastikan buruh akan memilih capres yang siap mengakomodir kepentingan buruh. Sjukur yang mewakili KSPSI ini merupakan organisasi yang selama ini menjadi organisasi underbouw partai Golkar.

Berbeda dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), KSPSI lebih banyak memperjuangkan kepentingan buruh dengan melakukan kontrak dengan partai politik. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan akan menawarkan konsep soal isu perburuhan yang diimplemantiasikan dengan kontrak kerja. Kemudian menempatkan kader buruh di beberapa parpol yang dinilai bisa memenuhi kepentingan buruh.

"Kita berangan-angan akan mendirikan partai politik yang berbasis kepentingan buruh," kata Said.

Dalam dua pemilu sebelumnya, setidaknya ada empat partai buruh yang ikut pemilu pada 1999. Mereka adalah Partai Buruh Nasional, Partai Pekerja Indonesia, Partai Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan Partai Solidaritas Pekerja. Lalu pada 2004 ada dua yakni Partai Buruh Sosial Demokrat dan Partai Kongres Pekerja Indonesia lalu pada 2009 ada Partai Buruh serta Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia. Namun semua partai tersebut tak masuk parlemen. Kekuatan buruh tak mampu mendokrak elektabilitasnya.

Menurut Said Iqbal, kegagalan partai berbasis buruh tersebut karena tidak mengokomodir kepentingan buruh. Kelahiran partai tersebut lebih karena kepentingan pengusaha.

Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) punya pandangan berbeda terkait pemilu 2014. KPRI dengan tegas akan memberikan dukungan kepada Jokowi sebagai Capres. Tapi KPRI tetap menyodorkan beberapa konsep yang harus dilakukan Jokowi jika terpilih. "Kita jelas memberikan dukungan kepada Jokowi, tapi tetap akan dikawal," kata Anwar Ma´ruf, Presiden KPRI.

Sementara menurut akademisi politik buruh Cosmas Batubara, saat ini lebih baik kelompok buruh untuk menjadi kelompok penekan bagi kepentingan buruh. Menempatkan tokoh buruh di berbagai partai dinilai lebih realistis dibanding mendirikan partai sendiri. "Dengan sistem terbuka, dengan dukungan terbanyak, tokoh buruh bisa terpilih untuk duduk di parlemen," kata Cosmas.

BACA JUGA: