JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendanai pilkada, terutama buat mendanai kampanye menuai kecaman. Beberapa pihak bahkan meminta klausul ini dibatalkan lantaran menilai langkah ini merugikan rakyat.

Nu’man Fauzi warga Pandeglang dan Achiyanur Firmansyah warga Depok geram mengetahui dana pemerintah secara legal digunakan buat mendanai kampanye. Mereka pun mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dengan didukung Aliansi Masyarakat Pengawas Pemilu, mereka menyatakan bahwa negara tak pantas mendanai kampanye calon kepala daerah.

Mereka menilai kampanye calon kepala daerah dianggap lebih condong untuk mendanai hal-hal yang bersifat berkepentingan pribadi. "APBN/APBD untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan calon kepala daerah," ujar Ketua Aliansi Masyarakat Pengawas Pemilu Hamidi, Kamis (8/10).

Apalagi, ditambah penyelenggaraan pilkada serentak sedang tak berada pada saat yang tepat. Yakni ketika Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang melemahkan nilai rupiah. Ia menyatakan lebih baik anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang membutuhkan.

Dijelaskan oleh Kuasa Hukum Nu´man dan Achiyanur, Vivi Ayunita ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada dirasa menguntungkan kampanye pasangan calon kepala daerah petahana yang difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai APBD tersebut. Calon petahana, lebih diuntungkkan karena dana ini akan lebih mempopulerkannya. Hal ini tentulah dirasa tak adil bagi calon kepala daerah non-petahana.

"Calon kepala daerah non-petahana harus bekerja keras secara swadana memperkenalkan dirinya kepada masyarakat," ujar Vivi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan atas uji materi Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada di Ruang Sidang Pleno MK, pada Kamis (8/10).

Kampanye yang seyogyanya merupakan sarana bagi para pasangan calon memperkenalkan dan mensosialisasikan diri seharusnya tidak perlu dibebankan pada APBD, tapi cukup dibebankan pada pasangan calon saja. "Apalagi ada temuan BPK terkait penyimpangan penggunaan dana pilkada," ungkapnya.

Praktek di lapangan pun menyebutkan banyak pasangan calon yang melakukan kampanye baik dalam bentuk alat peraga kampanye, bahan kampanye, iklan dan debat masih menggunakan biaya sendiri. Selain itu ditemukan pula banyak daerah yang belum menganggarkan dana pilkadanya dari APBD dan diambil dari pos-pos lain sehingga penggunaan dana kampanye ini dapat menghambat pembangunan di suatu daerah. Karenanya, klausul ini pun dianggap sia-sia lantaran penyelenggara pemilu belum memiliki instrumen hukum untuk menertibkan hal-hal tersebut.

"Apalagi pasal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 38 D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 yang meengedepankan persamaan hak warga negara. Ini patut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," katanya.

DANA BERSAMA - Sayangnya, menanggapi permohonan tersebut, pemimpin sidang perdana ini, Hakim MK Anwar Usman malah meminta pemohon mengelaborasi lebih dalam terkait kerugian konstitusional pemohon dengan pemberlakuan Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada ini. Sebab Anwar beranggapan dana kampanye tidak hanya dikhususkan untuk petahana tetapi juga untuk pasangan calon lain.

Tak hanya Anwar, salah satu hakim lain Wahiduddin Adams menganjurkan pemohon membaca teks akademik UU Pilkada sehingga bisa mengetahui landasan filosofis pengaturan dana kampanye menggunakan APBD.

Dana kegiatan kampanye memang sudah dianggarkan dan dibiayai oleh APBD, dan tak hanya untuk incumbent. "Mungkin lebih baik baca naskah akademiknya. Hal ini diatur demikian agar dana kampanye bisa dipantau dan dikendalikan,"ujarnya.

Ditambahkan hakim MK Manahan MP Sitompul, pemohon juga harus memperjelas permintaan akhir dalam uji materi pasal tersebut. Misalnya saja menambahkaan klausul pemohon menginginkan dana kampanye tidak berasal dari APBD, tetapi dibiaya sendiri oleh pasangan calon.

"Ini harus diperjelas agar tidak terjadi kekosongan hukum," katanya.

Pengaturan Dana Kampanye Dalam UU No 1/2015 Junto UU No X/2015 Pasal 65 ayat (2), menyebutkan jenis kempanye yang difasilitasi oleh KPU dan didanai APBN yakni debat publik/debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak dan media massa elektronik. Pasangan calon hanya membiayai kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog.

Ketentuan dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2015 tentang dana kampanye. Sumber dana kampanye pertemuan terbatas atau tatap muka bisa berasal dari pasangan calon, partai politik atau sumber lain yang sah.

Namun dalam pasal 7 peraturan KPU sudah ditetapkan besaran sumbangan pihak lain perseorangan nilainya paling banyak Rp50 juta. Sedang dana kampanye yang berasal dari kelompok atau badan hukum swasta nilainya paling banyak Rp500 juta.

Pada pasal 12 ayat 1, pembatasan pengeluaran dana kampanye dilakukan dengan cara menghitung total dari biaya jenis kegiatan. Dalam rapat umum cara menghitungnya yakni jumlah peserta dikali frekuensi kegiatan dikali standar biaya daerah. Untuk pertemuan terbatas, jumlah peserta dikali frekuensi kegiatan dikali standar biaya daerah.

Untuk pertemuan tatap muka jumlah peserta dikali frekuensi dikali standar biaya daerah. Sedang, pembuatan bahan kampanye persentase jumlah kegiatan (n%) dikali pemilih dikali Rp25 ribu.

DEMI KESETARAAN - Direktur Eksekutif Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan pendanaan pilkada serentak dengan uang negara ini tak bisa dinilai hanya dari satu sisi. Sebab, tujuan sebenarnya untuk memberikan ruang kompetisi yang setara bagi semua peserta pemilu, terutama terkait pendanaan kampanye.

"Jadi jika ada peserta yang tak punya dana bisa tetap memenuhi kebutuhan kampaye yang prinsipil," katanya kepada gresnews.com, Kamis malam (8/10).

Itulah mengapa dana kampanye hanya membiayai kegiatan-kegiatan yang prinsipil seperti debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak dan media massa elektronik. Desain dari pendanaan ini ialah menuju ke ruang kompetisi yang adil dan setara.

"Dampaknya lebih positif, yang perlu dilakukan bukan menghilangkan tapi mengevaluasi pendanaanya," ujarnya.

Ia menjelaskan ketika iklan dan debat dibiayai negara maka tak akan ada ruang penyiaran publik yang dikuasai calon tertentu. Terlebih, cara ini diyakini akan mengurangi kemungkinan korupsi pada calon kepala daerah saat terpilih nanti. Sebab biasanya para kepala daerah melakukan korupsi saat mejabat lantaran harus mengembalikan dana kampanye yang pernah dikeluarkan.

"Memang dari sisi beban negara naik tapi efek yang diharapkan ada komposisi adil dan menutup kran pencarian dana ilegal pasca terpilih," katanya.

Terkait adanya temuan DPD RI yang menyatakan dana kampanye dikebiri anggota incumbent, ia menyatakan struktur penyelenggara harus merespon secara cepat dengan berkoordinasi dengan perangkat strultural yang mempunyai kewenangan untuk menindak. Sebab dalam Pasal 71 UU No 8/2015 disebutkan para calon incumbent bisa dipidana atau digugurkan pencalonannya saat membuat kebijakan yang merugikan calon lain.

Petahana pun dilarang membuat kebijakan yang merugikan pasangan calon selama enam bulan terakhir menjelang pilkada serentak. "Jika kajiannya terbukti ada kesengajaan maka KPU, Bawaslu, dan Kemendagri harus menindak pemda yang menghalangi atau menghambat pilkada," katanya.

BACA JUGA: