JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sampai saat ini, RUU Penyelengara Pemilu belum dimulai pembahasannya oleh Komisi II DPR RI. Tetapi kritik tajam terus mengalir terhadap draf RUU Pemilu yang telah diajukan pemerintah. Para pemerhati pemilu menganggap, draf yang telah diserahkan pemerintah memiliki banyak kelemahan dan potensi pelanggaran. Selain itu, minimnya waktu yang dimiliki DPR untuk membahas RUU ini bersama pemerintah ditakutkan akan membuat RUU Penyelenggaraan Pemilu tidak maksimal.

Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, waktu yang tersisa bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan RUU Pemilu sangatlah singkat. Waktu yang singkat tersebut juga dihadapkan dengan realitas banyaknya isu krusial yang mesti dibahas sehingga penyelenggaraan Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan secara serentak akan berjalan dengan sukses.

Dari sekian banyak isu, ia melihat ada beberapa bagian penting yang harus mendapat perhatian lebih oleh Pemerintah dan DPR saat melakukan pembahasan. Beberapa isu yang harus diperhatikan serius antara lain terkait besaran daerah pemilihan, tata ulang alokasi kursi, formula penghitungan suara, dan juga masalah desain penegakan hukum saat pemilu dilaksanakan.

"Jika membaca RUU yang sudah diserahkan oleh pemerintah, terdapat beberapa hal yang mesti diperbaiki," ujar Titi Anggraini, kepada gresnews.com, Senin, (8/11).

Ia meminta agar pembentukan daerah pemilihan haruslah memikirkan kesetaraan penduduk sebab seluruh warga negara memiliki kedudukan setara untuk mendapatkan kursi perwakilan. Selain itu, dalam menentukan daerah pemilihan, pemerintah dan DPR perlu memperhatikan integralitas wilayah yang berarti, daerah pemilihan haruslah merupakan satu kesatuan wilayah geografis agar penduduk ada didalamnya tidak terpecah.

"Prinsip ini penting agar adanya kesinambungan antar wilayah daerah pemilihan dan tidak terpisah satu sama lain dalam rangka membangun linkage politics antara pemilih dan wakilnya,"

Selain itu, kohesivitas penduduk atau penentuan daerah pemilihan tidak hanya berdasarkan letak geografis semata, tetapi harus juga memperhatikan unsur sosial budaya penduduk dan kearifan lokal yang ada masyarakat. Hal-hal tersebut menurutnya belum tergambar di dalam ketentuan pembentukan daerah pemilihan atau dapil di dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu yang disususn pemerintah.

Seharusnya, kata Titi, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam penataan dapil dan alokasi kursi di dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu. Pertama ialah dalam membentuk daerah pemilihan DPR harus diserahkan kepada KPU dan tidak lagi menjadi lampiran dalam UU.

Kedua perlunya dimasukkan tujuh ketentuan pembentukan dapil dalam Pasal 3 PKPU No. 5 Tahun 2013 kedalam UU Pemilu. Ketiga, bentuk daerah pemilihan yang ada di luar negeri dengan alokasi kursi tiga dan diposisikan sebagai daerah pemekaran baru.

Selain itu menurut Titi, ada beberapa persoalan dalam formula penghitungan suara RUU Penyelenggaraan pemilu. Dalam Pasal 394 Ayat (2) dan (3) disebutkan, metode konversi suara menjadi kursi dilakukan dengan metode Sainte Lague Modifikasi dimana suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1,4; 3; 5; 7; 9 dan seterusnya. Metode ini lebih umum digunakan ketimbang Sainte Lague murni.

Titi mengakui pemilihan metode sainte lague modifikasi mengurangi terjadinya sengketa perebutan suara sisa seperti dalam metode bilangan pembagi pemilih (BPP). Hanya saja menurut Titi, metode sainte lague modifikasi cenderung menguntungkan partai besar. "Dalam membuat draf tersebut semestinya pemerintah juga memikirkan proporsionalitas suara partai kecil dan besar," katanya.

Misalnya menerapkan sistem Sainte Lague murni Dengan metode ini, suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Menurut Titi, dengan menggunakan Sainte Lague murni, partai dengan suara sedang, masih memiliki kans lolos meski hanya dengan satu kursi dalam suatu dapil.

PENEGAKAN HUKUM PEMILU - Masalah penting lainnya yang harus segera diselesaikan secara serius adalah persoalan penegakan hukum pemilu. Beberapa pasal dalam ketentuan penegakan hukum pemilu yang termaktub di dalam draf versi pemerintah menurut Titi memiliki banyak kejanggalan.

Seperti dalam Pasal 442 Ayat (1) yang mengatur sanksi administrasi dari pelanggaran administrasi pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Seharusnya pemerintah merumuskan dengan jelas makna dari TSM ini agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak kesulitan untuk merumuskan.

Sebab, hal tersebut berkaitan dengan sanksi berat, yakni diskualifikasinya pasangan calon. Apabila mengacu pada putusan MK terkait dengan pelanggaran yang bersifat TSM, maka sifat pelanggaran TSM cukup dijelaskan dengan kualitatif, dan tidak dengan kuantitatif.

"Hal ini bertujuan agar norma dan sanksi bisa dilaksanakan serta memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran politik uang," tegasnya.

Pasal lain yang masih janggal adalah Pasal 454 terkait pengaturan penanganan pelanggaran pidana yang terpisah jauh dari penanganan pelanggaran administrasi dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang bahkan ada di buku yang berbeda.

Dalam Pasal 471 terkait sanksi bagi setiap orang yang tidak jujur dalam melaporkan dana kampanye juga memiliki kejanggalan. Di situ hanya disebutkan orang, akan tetapi tidak disebutkan partai politik.

Padahal, melaporkan dana kampanye juga menjadi kewajiban partai politik sebagai peserta pemilu. "Kalau diberikan sanksi, bagaimana memenjarakan partai politik, karena partai politik adalah sebuah badan hukum," ungkap Titi.

MASIH BISA BERUBAH - Sementara itu, anggota Komisi II DPR Ali Umri mengatakan, setiap fraksi saat ini sedang menyiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) terkait draf RUU Pemilu. Saat ini, kata Ali, fraksinya yaitu Fraksi Nasdem telah melakukan diskusi dengan beberapa ahli dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.

Mereka tengah berupaya mengidentifikasi dengan detail masalah-masalah apa saja yang ada serta poin poin yang perlu diperjuangkan dalam pembahasan RUU Pemilu. "Pembahasannya nanti setelah reses," ujar Ali Umri kepada gresnews.com, Senin, (8/11).

Akan tetapi, kata dia, belum seluruh permasalahan yang ada di dalam RUU penyelenggaraan Pemilu telah selesai diinventarisir. Masih banyak hal lain yang belum dibicarakan, sehingga Daftar Inventaris Masalah belum dapat ia ungkapkan secara gamblang.

Ali berjanji saat seluruh daftar Inventarisir masalah selesai dibuat maka akan segera mengabarkannya kepada khalayak. "Yang pasti fraksi Nasdem akan menolak sistem terbuka terbatas, kalau terbuka ya terbuka saja," tegasnya.

Menanggapi banyaknya kritikan dari pegiat pemilu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, draf yang telah disusunpemerintah masih berbentuk rancangan sehingga masih bisa diubah atau diselaraskan dengan DPR. Jika ada hal di dalam RUU Pemilu yang sudah disampaikan ke DPR dianggap kurang mengakomodasikan sejumlah hal lain maka hal tersebut akan diselaraskan kembali. "Namanya juga rancangan, masih bisa diselaraskan," ungkap Tjahjo, Senin, (8/11).

Ia juga menyampaikan, RUU Pemilu yang nantinya akan dibahas oleh DPR, pemerintah akan mengambil pandangan terbaik dari hasil pembahasan tersebut nantinya. "Pemerintah juga akan memposisikan diri sebagai penyerap aspirasi masyarakat melalui para pemerhati demokrasi," kata Tjahjo.

BACA JUGA: