JAKARTA, GRESNNEWS.COM - Sepuluh warga negara Indonesia (WNI) yang ditawan oleh Abu Sayyaf telah dibebaskan pada Minggu (1/5) subuh dan dibawa ke rumah Gubernur Sulu, Toto Tan. Kepulangan mereka itu kini malah menyisakan polemik saling klaim ada tidaknya uang tebusan dan pihak yang berjasa membebaskan.

Menurut catatan gresnews.com, setidaknya ada tiga pihak yang disebut-sebut membebaskan sandera. Pertama, klaim dari Tim Kemanusiaan Surya Paloh. Dalam rilisnya, Deputi Chairman Media Group Rerie L. Moerdijat mengungkapkan, pembebasan sandera juga dilakukan atas kerja tim kemanusiaan Surya Paloh, yang merupakan sinergi jaringan pendidikan Yayasan Sukma (Sekolah Sukma Bangsa di Aceh) dibawah pimpinan Ahmad Baidowi dan Samsul Rizall Panggabean, kelompok Media Group, Partai Nasdem di bawah Ketua Fraksi DPR Victor B Laiskodat serta anggota DPR Fraksi Nasdem Mayjen (Purn) Supiadin.

Upaya dan proses pembebasan dilakukan oleh tim kemanusiaan Surya Paloh sejak 3 April 2016. "Mereka melakukan dialog langsung dengan sejumlah tokoh masyarakat, LSM, lembaga kemanusian di daerah Sulu yang memiliki akses langsung ke pihak Abu Sayyaf di bawah koordinasi langsung pemerintah Republik Indonesia," kata Rerie L. Moerdijat dalam keterangan pers yang diterima, Senin (2/5/).

Kedua, sejumlah media juga memberitakan bahwa Mayjen Purn Kivlan Zen dan koleganya disebut-sebut sebagai negosiator pembebasan 10 sandera. Pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf dipastikan tanpa adanya uang tebusan. "Perusahaan tidak mengeluarkan sepersen pun. Tak ada uang. Ini murni negosiasi," kata Kivlan Zen dalam tayangan TVOne, Minggu (1/5) malam.

Pihak ketiga, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa pembebasan sandera merupakan sinergi seluruh elemen pemerintah. Presiden saat menggelar konferensi pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (1/5) malam, mengatakan penyelamatan 10 ABK dari penyanderaan Abu Sayyaf tersebut tidak akan terwujud jika tidak ada kerjasama yang baik antarkedua negara.

Direktur Eksekutif Indonesia Public Policy Institute (IPPI) Agung Suprio menyatakan seharusnya pemerintah mem-blow up upaya pelepasan para sandera. Jika diperlukan bahkan ikut mengklaim agar tak ada pihak-pihak tak bertanggung jawab ikut ambil untung. "Ambil alih agar tak banyak pihak bilang itu karena kontribusi mereka. Karena tanpa adanya polisi kawal pasti tak ada pembebasan tersebut," katanya kepada gresnews.com, Selasa (3/5).

Aksi klaim tim kemanusiaan Surya Paloh ini menurutnya ditunjukkan untuk menaikkan popularitas pribadi Paloh dan juga partainya, NasDem. Partai NasDem tentu akan dianggap peduli kemanusiaan. "Ini manuver dalam konteks lebih dramatisir, strategi untuk meningkatkan citra partainya, jelas sekali motifnya," katanya.

Di samping itu, Menteri Politik Hukum dan Ham Luhut Binsar Panjaitan meminta kepada tim kemanusiaan Surya Paloh agar tidak mengklaim operasi pembebasan WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf. Hal ini dikarenakan yang terlibat operasi tersebut bukan hanya Surya Paloh saja.

Menurutnya, operasi pembebasan tersebut memang di bantu beberapa pihak. Ada sekitar empat orang yang membantu operasi tersebut. "Kita tidak bisa buka semua yang terlibat", ujar Luhut di Jakarta, Senin (2/5).

Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan pembebasan 10 anak buah kapal yang disandera kelompok Abu Sayyaf salah satunya karena negosiasi tokoh di Indonesia dan Filipina. Ada tim gabungan yang diterjunkan pemerintah untuk membebaskan sandera Abu Sayyaf didukung oleh tokoh yang memiliki kedekatan dengan Pemerintah Filipina karena pernah melakukan aktivitas di Filipina.

Boy mengatakan, salah satu yang berperan adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen. "Pak Kivlan Zen Purnawirawan TNI yang dulu ketika Front pembebasan Islam Moro (MILF) beberapa belas tahun lalu, termasuk tim yang dikirim pemerintah untuk ikut dalam proses perdamaian di sana (Filipina)," ujar Boy di Mabes Polri, Jakarta, Senin (2/5).

Setelah 10 WNI dibebaskan, masih ada empat WNI lagi yang masih disandera kelompok Abu Sayyaf. Boy mengatakan, upaya komunikasi tetap dilakukan dengan otoritas Filipina. Ia berharap, upaya diplomasi masih terjalin baik sehingga membuka akses ke kelompok tersebut. "Kerja sama ini belum selesai. Kita terus berupaya. Yang penting koordinasi kami dengan otoritas di sana berhasil," kata Boy.

UANG TEBUSAN - Polemik lainnya yang mencuat dalam kasus ini juga masalah klaim ada tidaknya uang tebusan. Muncul kabar soal uang tebusan yang dibayarkan ke pihak Abu Sayyaf untuk membebaskan 10 Warga Negara Indonesia (WNI). Tebusan itu sebesar 50 Juta Peso atau setara US$ 1 juta.

Selama ini, beberapa media Filipina, seperti philstar.com dan inquirer.net, menyebut Abu Sayyaf tidak pernah membebaskan sandera tanpa ada uang tebusan yang dibayarkan. Ditambah pembebasan ini terjadi selang seminggu setelah sandera asal Kanada, John Ridsdel, dipenggal Abu Sayyaf karena uang tebusan 300 juta peso tidak dibayarkan.

Mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri juga mengeluarkan pernyataan mengagetkan terkait pembebasan 10 sandera WNI Abu Sayyaf, Minggu (1/5) malam. Mega mengeluarkan celetukan yang menyiratkan sandera akhirnya dilepas karena dibayar dalam sebuah diskusi berjudul "Mencari Solusi Rekrutmen PNS yang Adil bagi Bidan PTT" di Hotel DoubleTree by Hilton, Jakarta, Senin (2/5). "Kok ngurusin sandera, wong sandera sudah ada yang ngurusi, mending ngurusi ibu-ibu bidan ini. Jelas saja sandera dilepas, wong dibayar, kok," celetuk Mega kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang juga hadir dalam acara yang sama.

Namun negosiator Mayjen Purn Kivlan Zen mengatakan bahwa pembebaskan 10 WNI adalah murni negosiasi. "Tidak ada pembayaran tebusan. Ini murni negosiasi," ujar Kivlan, Minggu (1/5) malam. Ia mengatakan saat dilakukan negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf, pihak perusahaan kapal Brahma 12 tempat 10 WNI bekerja telah mengutus seseorang bernama Budiman untuk menyerahkan uang tebusan.

"Uang itu dibawa oleh Budiman namun tidak diserahkan. Uang itu akhirnya dibawa pulang kembali," ucapnya.

Sementara itu, pihak PT Patria Maritim Lines sebagai operator kapal Brahma 12 yang dibajak itu, bersikap lebih irit bicara. Meski begitu, pihak ini menyatakan memang ada permintaan tebusan pada awalnya. "Awalnya dia minta 50 juta peso, tapi dengan diplomasi yang baik semua ini bisa terlaksana," jelas Komisaris PT Patria Maritim Lines Loudy Irwanto Ellias, Senin (2/5).

PT Patria ini adalah perusahaan operator kapal yang menaungi 10 awak kapal. Loudy tak merinci lagi apakah tebusan diberikan atau tidak. Dia memilih tak berkomentar soal itu. "Saya nggak bisa komen masalah itu ya, masih ada PR lanjutan kita," sambung dia. Beberapa kali pihak Abu Sayyaf berkomunikasi dengan PT Patria.

Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi juga menyatakan upaya pembebasan 10 WNI itu melalui proses yang dinamis dengan kompleksitas tinggi. Sambil menegaskan kesamaan penanganan pembebasan 4 WNI lainnya di waktu mendatang, Retno menegaskan tak pernah ada duit tebusan untuk Abu Sayyaf.

"Pemerintah tidak akan membayar tebusan kepada penyandera. Lokasi keempat sandera WNI terpantau dari waktu ke waktu," kata Retno dalam acara serah terima 10 WNI kepada keluarganya di gedung Pancasila Kemlu, Jalan Pejambon Raya, Jakarta Pusat, Senin (2/5).

Proses pembebasan diupayakan dengan tetap mengutamakan keselamatan ke-10 WNI tersebut. "Dari awal kita buka semua simpul koordinasi dengan sebanyak mungkin pihak. Karena satu simpul tidak memadai untuk suatu operasi yang sangat besar," kata Retno.

Menko Luhut Pangaribuan juga menepis kabar uang tebusan. Namun dia memilih tak berkomentar terlalu jauh bila ada uang tebusan yang dibayarkan dari pihak perusahaan swasta. "Sampai hari ini yang saya tahu tidak ada (penyerahan uang tebusan), tapi ndak tahu kalau saya ndak tahu," kata Luhut usai menghadap ke Presiden di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/5).

Sekretaris Kabinet Pramono Anung secara tegas menepis isu tebusan yang dibayarkan pemerintah ke kelompok Abu Sayyaf. Dia menjelaskan, pembebasan 10 WNI itu menggunakan cara diplomasi. "Kami sampaikan, tidak. Tidak ada tebusan!" tegas Pramono di komplek Istana Negara, Senin (2/5).

Proses pembebasan 10 sandera melibatkan banyak pihak. Pramono menggunakan istilah ´diplomasi total´, dengan memanfaatkan jejaring yang ada. "Tetapi yang paling penting yang bisa disampaikan bahwa ini upaya sepenuhnya dari pemerintah bahwa kemudian ada pihak-piihak yang terlibat di dalamnya, iya," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: