JAKARTA, GRESNEWS.COM – Keterwakilan perempuan di parlemen pada pemilu 2014 turun dibandingkan pemilu 2009. Jika pada 2009 lalu persentase keterwakilan perempuan mencapai 18,39%, kini melorot ke angka 17,32%. Bagaimanakah dampak turunnya keterwakilan perempuan terhadap kebijakan yang ramah terhadap perempuan?

Apakah jumlah perempuan di parlemen dapat mewakili lolosnya kebijakan pro perempuan? Apakah kuantitas dapat menentukan kualitas keterwakilan perempuan?

Berdasarkan pantauan Gresnews.com, terdapat perbedaan jumlah dan kualitas produk yang dihasilkan DPR RI periode 2004-2009 dengan DPR RI 2009-2014. Pada periode 2004-2009, keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 11%. Sementara itu, pada tahun 2009-2014 keterwakilan perempuan meningkat ke angka 18%.

Hanya saja, kenyataannya, kenaikan keterwakilan perempuan pada 2009-2014 di parlemen ternyata tidak menjamin DPR dapat menghasilkan produk legislasi pro perempuan yang lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Justru pada periode 2004-2009, DPR mampu menghasilkan produk legislasi hasil implementasi konvensi penghapusan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Pada periode 2004-2009, DPR RI mampu menghasilkan setidaknya 7 produk legislasi yang pro terhadap kepentingan perempuan. Diantaranya Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, UU tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, UU usaha mikro, kecil, dan menengah, UU kesehatan, UU perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga dan UU pemilu dan penyelenggara pemilu.

Di sisi lain, jumlah produk legislasi yang dihasilkan DPR RI periode 2009-2014 lebih sedikit yang pro terhadap kepentingan perempuan dibandingkan periode sebelumnya. Padahal jumlah keterwakilan perempuan lebih banyak. Produk legislasi DPR RI periode 2009-2014 diantaranya UU tentang penyelenggara Negara, UU pemilu, dan UU penanganan konflik sosial.

Menanggapi data di atas, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan, keterwakilan perempuan sampai kuota 30% tetap diperlukan agar DPR mampu menghasilkan produk legislasi pro perempuan. Titi mengatakan, berdasarkan studi Perserikatan Bangsa-bangsa angka 30% adalah angka minimal untuk mempengaruhi terbentuknya sebuah kebijakan.

"Jadi ketika ada voting, 30% adalah angka yang punya pengaruh, kalau hanya 18% dari sisi jumlah sulit. Belum lagi peran dari fraksi dan partai sangat kuat," ujarnya pada Gresnews.com, Rabu (30/7).

Titi mencontohkan Nurul Arifin sebagai salah satu anggota parlemen perempuan sangat vokal soal kepentingan perempuan. Suara perempuan yang vokal ini, kata dia, penting ketika pengambilan keputusan tetap tidak boleh menyimpang dari keputusan yang diambil fraksi. "Sejarah mengatakan sangat sulit bagi anggota parlemen perempuan mengintervensi kebijakan apalagi harus berhadapan dengan mekanisme voting," lanjutnya.

Senada dengan Titi, pengamat politik dari Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani mengatakan keterwakilan perempuan di parlemen bukan hanya sekadar jumlah, tapi juga perspektif dari partai politik terhadap isu kesetaraan gender. Menurutnya, partai politik masih lemah terkait isu tersebut.

"Ini yang lebih mengkhawatirkan karena perspektif lemah, jumlah terbatas, yang masuk (lolos ke parlemen) juga tidak punya sensitifitas gender," ujarnya pada Gresnews.com.  

Sri melanjutkan keterwakilan perempuan terhadap kebijakan yang pro kepentingan perempuan memiliki tantangan yang berlapis-lapis. Menurutnya, bukan berarti karena dia perempuan lalu juga punya perspektif gender yang kuat.

"Pesimisnya akan lebih sulit lahir kebijakan yang pro kepentingan perempuan karena relasi kuasa masih tidak imbang. Justru kita mendorong presiden yang baru punya kepedulian soal itu, kalau pemerintahan punya isu gender yang kuat, itu akan mempengaruhi proses pembahasan di DPR," tuturnya.

BACA JUGA: