JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pilkada serentak pertama yang akan dilakukan pada Desember 2015 nanti ternyata masih menyimpan beberapa permasalahan. Fokus untuk menghemat anggaran misalnya, ternyata tak begitu berpengaruh secara signifikan. Di sisi lain masyarakat akan bingung lantaran akses informasi yang tumpang tindih antara daerah satu dengan lainnya.

Tercatat sekitar 271 lebih daerah yang akan mengikuti pemilu serentak ini. Berkaca pada pemilu lalu, sebanyak 65 persen anggaran pemilu lari untuk honor panitia per event pemilu. Jika pemilihan gubernur dan kabupaten kota digabungkan, maka akan ada penghematan luar biasa mencapai Rp20 triliun dalam kurun waktu 5 tahun.

"Tapi untuk tahun 2015 ini target penghematan belum bisa tercapai karena hanya 9 provinsi yang mengikuti," kata Didik Supriyanto dari Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) saat diskusi Pilkada Serentak di Gado Gado Boplo, Menteng, Sabtu (28/3).

Dengan pilkada sebelumnya, pilkada kali ini tak memiliki banyak perubahan. Pencalonan dilakukan tetap oleh partai politik atau gabungan partai politik atau calon non partai. Perbedaannya hanyalah penentuan pemenang satu putaran, berapapun persentasenya, akan maju sebagai pemenang.

Kampanye juga sebagian besar akan dibiayai negara. Yang ditanggung para calon hanyalah pertemuan terbatas dan dialog. "Undang-undang pun tak menginsyaratkan adanya kampanye terbuka, untuk kampanye yang lebih tertib," katanya.

Tak hanya masalah teknis pilkada, masalah pencalonan pada tiap-tiap partai pun menyisakan masalah. Saat pilkada serentak, lembaga survei dan media merupakan aktor yang turut berperan.

Nico Harjanto dari Populi Center menyebutkan hanya terdapat tidak sampai sepuluh anggota survei yang berkompeten di Indonesia. Padahal, pilkada serentak merupakan ajang kontes melalui survei.

Diasumsikan per wilayah mengajukan masing-masing 3, dikalikan 271 wilayah pilkada maka calon sudah mencapai seribu. "Padahal jika ingin optimal, maka objek survei maksimal hanya mencapai 20 orang, lebih dari itu pasti abal-abal," kata Nico.

Sebagai salah satu peneliti, ia dan beberapa lembaga survei lainnya akan merumuskan larangan pemalsuan survei yaang biasanya digunakan untuk mempengaruhi elit partai. "Survei biasanya digunakan untuk logika kontestasi," katanya.

Selain itu, informasi media yang akan diterima masyarakat pun akan tumpang tindih. Semua calon akan berebut berkampanye melewati media. Sehingga hal ini membuat masyarakat sulit mendapatkan informasi yang jelas.

Nico memprediksi dalam tahap awal sistem demokrasi ini akan banyak calon baru yang menyeruak, dengan potensi calon banyak di daerah besar. "Logikanya kuat-kuatan, berani head to head," ujarnya.

Sementara itu, Ketua DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, di sisi kesiapan partai, PAN telah mempersiapkan rapat harian dan konsolidasi tim khusus untuk mengerahkan seluruh kader maupun pengurus untuk turun berjuang saat pilkada. Mereka akan secara objektif melakukan rekrutmen bakal calon dengan mengutamakan kader.

"Tapi tak menutup kemungkinan peluang bagi calon di luar kader yang potensinya lebih besar dipilih rakyat, kuota rasional saja," kata Viva.

Sedang, partai Golkar yang diwakili oleh Andi Haryanto Sinulingga juga telah menyatakan kesiapan partainya mengikuti pilkada. "Konflik tak akan mempengaruhi pesta demokrasi yang dilakukan akhir tahun nanti. Sebab, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima surat kepengurusan mana yang harus diakomodir," ujarnya.

Namun, ia mengakui, jika sampai pada bulan Mei nanti konflik belum juga usai, maka Golkar akan kehabisan calon, seperti contoh pada pilpres lalu. "Mudah-mudahan akhir April ini kita sudah selesai semua," kata Andi.

BACA JUGA: