JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta terus menuai polemik. Sampai saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menaikkan status Sumber Waras ke tingkat penyidikan meskipun laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah menyatakan terdapat kerugian negara senilai Rp191 miliar dalam kasus tersebut.

Suryawulan, kuasa hukum KPK, saat ditanya wartawan beberapa hari lalu menyatakan, KPK masih mendalami kasus tersebut. Sejauh ini, KPK belum menetapkan satu pun tersangka dalam kasus pembelian rumah sakit Sumber Waras.

Meski begitu, Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai terdapat kejanggalan dalam pembelian Sumber Waras yang terindikasi korupsi. Diantaranya, temuan BPK soal kerugian negara dalam pembelian Rumah Sakit Sumber Waras dan kebijakan penganggaran yang dinilai tidak transparan.

Aturan umum dalam kebijakan anggaran APBD, imbuh Boyamin, harus melalui perencanaan yang matang. Mekanisme anggaran mesti berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai turunan dari visi misi gubernur atau melalui hasil Musrenbang.

"Dalam mekanisme anggaran satu tahun sudah direncanakan, ternyata tidak ada. Dalam visi misi Dinas Kesehatan juga tidak ada, RPJMD tidak ada, tapi kok dalam APBD-P nyelonong masuk," ujar Boyamin kepada gresnews.com, Sabtu (26/3).

Padahal, menurut Boyamin, APBD-P merupakan APBD murni yang belum teralisasikan. "Kalau masuk ke APBD-P boleh saja asal sesuai ketentuannya," katanya.

Selain soal kejanggalan dalam proses penganggaran, Boyamin juga menilai transaksi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tak konsisten. Kerana dalam SK Gubernur itu pembebasan sedangkan pelaksanaannya disebut pelepasan aset tanah. Menurut Boyamin, keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Dengan begitu, transaksi pembelian itu dinilai tidak sah.

"Nomenklatur pembelian, SK Kadinas pembelian, SK Gubernur pembebasan dan pengadaan. Sementara pelaksanaan berupa pelepasan. Maka dasar hukumnya pembelian namun pelaksanaan pelepasan, maka ini menjadi cacat hukum," katanya.

Jika dalam pelaksanaannya adalah pelepasan, terang Boyamin, maka mesti mengajukan permohonan kepada negara untuk dilepaskan. Dalam kaitan itu, belum ada persetujuan sehingga transaksi penjualan dianggap sebagai total lost yang menyebabkan kerugian negara.

"Permohonannya juga belum tentu dikabulkan. Artinya dana bisa hangus," ujar Boyamin.

Menurut Boyamin, sudah ada evaluasi Mendagri yang mengharuskan ketentuan izin DPRD ketika ada perubahan dalam transaksi itu dari pembelian menjadi pembebasan. Kalau pembelian tanpa persetujuan DPRD, imbuhnya, maka pembelian itu tidak sah.

"Nomenklatur pada evaluasi Mendagri adalah pembelian RS Sumber Waras, sehingga apabila prakteknya hanya pembelian sebagian lahan tanpa izin kembali kepada DPRD maka tidak sah," ujarnya.

KOMODITAS POLITIK - Berbeda dari Boyamin, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai persoalan Sumber Waras yang muncul ke publik tidak lagi kasus hukum tetapi sudah menjadi kasus politik. "Sudah jadi kasus politik ya," ujar Firdaus kepada gresnews.com, Senin (28/3).

Firdaus mengaku, ICW sudah melakukan pendalaman seputar kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta. "Kami sudah melakukan telaah, kajian dan investigasi soal Sumber Waras. Hasilnya audit yang dikeluarkan memang tidak prudent," kata peneliti ICW itu.

Sementara peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai dalam pembelian Sumber Waras bisa saja muncul di APBD-P meskipun belum pernah diajukan APBD murni. Jika Pemda dan DPRD sepakat untuk mengalokasikan itu tak jadi masalah agar pembelian tersebut diakomodir.

Meski begitu, Lucius tak membantah adanya kejanggalan dalam penganggarannya. Lucius menilai KPK semestinya masuk untuk memperjelas simpang siur kasus Sumber Waras ini. "Kalau itu dianggap indikasi boleh saja, tapi biarkan KPK memperjelas kasus tersebut, apakah ada dugaan korupsi atau tidak," terang Lucius.

Nuansa politisasi bahkan mengarah ke kriminalisasi kasus RS Sumber Waras juga terasa oleh para advokat yang tergabung dalam ´Advokat Pengawal Demokrasi Indonesia´ (APDI). Mereka menolak indikasi kriminalisasi terhadap setiap bakal calon gubernur DKI Jakarta yang akan berlaga di Pilgub 2017.

"Mulai ada indikasi yang ini jadi tugas kita untuk cek, periksa, kawal, apakah betul dalam Pilkada di DKI ada kriminalisasi atau tidak. Misal seperti Ahok dia maju, timbul kasus Sumber Waras, tadi pagi di koran ada lagi lahan dipakai Teman Ahok dan sebagainya," ucap Koordinator APDI Otto Hasibuan saat dalam deklarasi APDI, Rabu (23/3).

Otto memaparkan, kasus kriminalisasi hampir terjadi di setiap Pilkada untuk mengganjal pasangan calon tertentu, dan belakangan menjadi tren di Pilkada daerah. "Mutu dari demokrasi menjadi turun, kualitas pemimpin yang terpilih juga turun. Orang terbaik dari bangsa bisa tak maju karena ada kriminalisasi," ujarnya.

Ia menegaskan, gerakan ini tidak untuk mendukung salah satu bakal calon manapun, hanya kebetulan ini sedang terjadi pada Ahok. Menurutnya, advokat yang bergabung justru banyak yang berasal dari daerah.

Otto menyebut, sebagai langkah konkrit, setelah ini pihaknya akan menemui Ahok untuk menjelaskan soal kasus yang berpotensi jadi alat kriminalisasi yaitu pemberian lahan di Sumber Waras. "Karena itu peran kita hanya pengawal konstitusi untuk membuat kasus ini jadi transparan, sehingga tidak ada penegak hukum kucing-kucingan bermain," tegas Otto. (dtc/Armidis Fahmi)

BACA JUGA: