JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pembatasan periode jabatan pimpinan partai politik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menuai polemik dari beberapa pihak. Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menilai, kepemimpinan partai makin lama menjabat makin tidak demokratis ke dalam. Karena itu perlu ada aturan yang membatasi masa kepengurusan partai politik.

"Partai akan tidak sehat karena dipimpin oleh tokoh yang hanya itu-itu saja, bisa jadi kreativitas internal tidak berkembang," kata Jimly ditemui di kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (24/5).

Menurutnya, jabatan pimpinan partai yang tidak dibatasi juga bisa menyebabkan demokratisasi internal tidak berkembang. Jika partai diharapkan menjadi instrumen demokrasi dalam membangun negara, Jimly menambahkan, masa jabatan pemimpin partai politik harus dibatasi, yakni dua atau tiga periode kepengurusan saja.

Dia menegaskan, jabatan pimpinan partai diakui memang menjadi rebutan karena bisa menjadi batu loncatan untuk menjadi calon presiden. Tetapi dengan pemberlakuan sistem pemilihan umum legislatif dan presiden secara serentak akan meminimalkan hal tersebut. Dengan demikian jabatan pimpinan parpol juga bukan komoditas politik yang terlalu menarik lagi.

"Untuk calon presiden jangan ditentukan secara internal tertutup, sehingga akan dicari tokoh dengan elektabiltas tinggi. Maka saat ini lebih baik kader partai banyak menemui rakyat daripada rebutan jadi pemimpin parpol," ujarnya.

Jimly mengaku khawatir melihat perkembangan tak sehat dimana usia rata-rata pimpinan parpol juga semakin tua. "Kalau dibiarkan terus, pimpinan partai lama-lama makin tua, menua. Kalau dia tidak ganti-ganti bagaimana," kata Jimly.

Jimly juga mengusulkan agar konflik parpol benar-benar diselesaikan di internal. Agenda negara tak boleh terganggu karena ada konflik parpol yang merembet hingga seolah jadi masalah nasional. "Banyak hal yang perlu dibicarakan soal reformasi struktur kelembagaan partai," ujarnya

Menanggapi rencana DKPP itu, Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Adrian Habibi mengatakan, pemilihan pemimpin partai, secara praktik terdapat dua mekanisme. Pertama, pemilihan terbuka. Kedua, pemilihan secara aklamasi.

Pemilihan terbuka, kata Adrian, harus sesuai dengan persyaratan yang diambil dari kelengkapan pengkaderan di partai dan pusat pendidikan dan latihan pemimpin secara berjenjang dari pengurus tingkat bawah hingga pusat. Sedangkan aklamasi adalah proses penolakan terhadap asas demokrasi.

"Aklamasi terbagi atas usaha kesepakatan dan pemaksaan trah ideologis, usaha kesepakatan dinilai sangat riskan terlebih memperlihatkan adanya penguasaan tunggal dan menolak kontestasi politik," kata Adrian kepada gresnews.com, Selasa (24/5).

Dia menyebutkan, aklamasi dalam memilih pemimpin parpol memang membunuh demokrasi karena akan melahirkan trah politik. "Sama saja bagaikan raja turun ke pangeran, bentuk kerajaan yang dijadikan partai. Aklamasi trah ideologis mengkhianati kesempatan kader terbaik maju memperbaiki partai," katanya.

Dia mengungkapkan, untuk mengatasi masalah itu, maka tidak perlu membuat aturan khusus untuk membatasi masa jabatan pimpinan parpol. Cukup dengan mengatur soal aklamasi dalam UU Parpol, yaitu membuat pembatasan trah politik di internal partai untuk bisa dipilih secara aklamasi harus tetap memenuhi persyaratan sebagai kader partai yang telah melewati proses tertentu.

Misalnya, pengkaderan partai, pusdiklatpim, dan menjabat di berbagai jenjang kepengurusan. "Bila tidak, sama saja dengan nepotisme yang merupakan rumpun musuh demokrasi yaitu KKN," jelasnya.


PENGARUHI KEPEMIMPINAN NASIONAL - Meski berpendapat tak harus diatur khusus, Adrian sependapat bahwa masa jabatan pimpinan parpol memang harus dibatasi. Dia mengungkapkan, tidak demokratisnya parpol dimana pemimpin dipilih berdasarkan aklamasi atau atas dasar trah politik juga bisa berpengaruh pada kaderisasi kepemimpinan baik di daerah maupun level nasional.

Pemaksaan trah tertentu menjadi pimpinan parpol baik di pusat ataupun daerah akan melahirkan hambatan estafet kepemimpinan profesional di berbagai level. "Misalnya jabatan kepala daerah, diatur dalam UU Parpol tidak boleh lebih menjabat dua periode. Satu periode ditetapkan selama lima tahun. Nah, kalau tidak dibatasi jabatan ketum parpol, sama saja melestarikan oligarki di tengah proses atau sistem demokrasi yang digembar-gemborkan parpol," tegasnya

Yang terjadi saat ini, kata dia, kebanyakan ketum parpol adalah bentuk hegemoni di segala lini yang menjadi supporting system kekuasaan orang tersebut. "Contohnya pengusaha yang usahanya di segala bidang, mempunyai media cetak, radio, berita online, tv, dan lainnya," paparnya.

Bahkan, ada perubahan paradigma pimpinan parpol yang tidak lagi harus mengedepankan visi dan misi yang jelas. Karena itu pembatasan jabatan ketum parpol memang sudah seharusnya dilakukan.

"Fakta menunjukkan, gejala efek calon independen yang mendapat dukungan parpol menggambarkan ketum parpol yang ada tidak mempunyai kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, integritas dalam kemampuan menjaring kader-kader yang potensial," ucapnya.

Dia menilai, jika proses regenerasi berjalan, atau penyegaran politik di internal parpol bisa berjalan, kader-kader muda potensial akan muncul dengan sendirinya dan menjadi warna tersendiri. "Jangan mengaku parpol yang menjunjung demokrasi tapi faktanya mau menjadi pemimpin seumur hidup. Bila oligarki terus dilestarikan, parpol akan ditinggal masyarakat bawah, karena kita tahu apa sih yang nyata untuk masyarakat parpol tersebut," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPP Gerindra Arief Poyuono berpendapat sebaliknya. Dia menilai usulan Jimly terkait pembatasan masa jabatan pimpinan parpol tidak logis. "Sebab terkait jabatan pemimpin partai itu tidak ada hubungannya dengan hidupnya demokratisasi. Sepanjang seluruh anggota partai masih menginginkan seseorang untuk tetap memimpin partai tersebut sah-sah saja kok," kata Arief kepada gresnews.com, Selasa (24/5).

Dia menilai, dalam memilih pemimpin tidak harus demokratisasi ala demokrasi liberal, misalnya dengan voting. Memilih pemimpin bisa juga dengan aklamasi dimana semua anggota parpol untuk memilih pemimpin partai. "Jadi tidak perlulah masa jabatan pemimpin partai dibatasi, secara alami juga akan terjadi pergeseran di dalam internal parpol sendiri terkait jabatan pemimpin partai," ujarnya.

Sebelumnya, terkait peringatan 18 tahun reformasi, Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani menilai, semangat demokratisasi semakin menurun dan mengalami kemunduran. Dia menilai, oligarki politik justru makin tumbuh subur, membuat kelompok elite politik yang berkuasa lebih terlihat berlomba-lomba untuk mencapai tujuan pragmatisnya.

"Itulah fakta setelah 18 tahun reformasi, banyak pelanggaran HAM yang belum diusut sampai tuntas. Fungai Komisi dan lembaga independen sebagai mekanisme kontrol dan korektif tidak berjalan maksimal, bahkan mengalami kemunduran," katanya. (dtc

BACA JUGA: