JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden  terpilih Jokowi-Jk diminta melakukan penataan ulang perjanjian-perjanian dan peraturan dengan negara asing yang dinilai merugikan Indonesia. Diantaranya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK) dan penetapan regulasi impor pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Menurut  Ketua Aliansi Desa Sejahtera (ADS), Tejo Wahyu Jatmiko Pasar Bebas ASEAN 2015 yang akan dihadapi Indonesia kurang dari satu tahun mendatang dipastikan akan membawa banyak persoalan Sumber Daya Alam (SDA), terutama sektor perikanan dan kelautan. Sektor ini harus menjadi fokus pemerintah karena  menyangkut soal "ruang" kelola sekaligus "ruang" hidup masyarakat pesisir dan nelayan Indonesia.

Jika permasalahan tersebut tidak diselesaikan sebelum MEA, menurut Tejo, Indonesia bukan hanya akan menjadi negara konsumtif karena jumlah rakyatnya terbesar di ASEAN,  tapi juga petani dan nelayannya akan dibunuh oleh ekspansi impor hasil SDA asing. “MEA harus benar-benar ditata pemberlakuannya, jika kran impor makin dibuka tanpa ada regulasi, matilah kita,” ujarnya kepada Gresnews.com, Senin, (22/9).

Produksi dan kualitas hasil SDA yang dihasilkan Indonesia nyatanya tidak kalah bagus jika dibandingkan produksi luar. Namun yang menjadi masalah para petani dan nelayan luar lebih mendapatkan subsudi ketimbang petani dan nelayan di negeri sendiri. Akibatnya harga produk yang ditawarkan luar bisa lebih murah.

“Batasi kran impor saat musim panen datang. Kita cukup mengkonsumsi barang-barang yang tidak bisa diproduksi. Selama bisa dihasilkan sendiri pakai yang kita punya,” ujar Tejo.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelumnya menyatakan kerugian negara akibat illegal fishing telah mencapai Rp101 Triliun dengan volume ikan yang dicuri dari perairan Indonesia setiap tahunnya sekitar 1,6 juta ton.  Sementara 9 dari 11 wilayah pengelolaan perikanan mengindikasikan bahwa sedang terjadi overfishing. Namun penduduk-penduduk pesisir di 10.640 desa, sebanyak 7,78 juta jiwa berada dalam kondisi miskin.

Fakta lain menunjukan, kapal-kapal ikan dari tetangga dekat terutama Vietnam, Malaysia, Thailand dan Filipina serta tetangga jauh seperti Taiwan, Hong Kong dan Cina  sering tertangkap basah mencuri ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Bahkan kapal-kapal ikan berbendera asing tersebut acap masuk lebih dalam dan menjamah perairan territorial dan kepulauan kita.

Di sisi lain, UU PWP-PPK menjadi satu regulasi yang mempertegas kepastian hukum kepemilikan wilayah pesisir, pulau kecil dan laut. Disisi lain pemerintah mengeluarkan legalisasi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) hingga 60 tahun akumulatif kepada sektor swasta termasuk asing. Dalam waktu bersamaan pemerintah juga mengeluarkan program "adopsi pulau", dengan menyerahkan pengelolaan pulau-pulau kecil kepada perusahaan-perusahaan swasta, termasuk asing.

“Regulasi ini memperkuat rezim open access, dimana kepastian usaha dan bisnis bagi para pelaku usaha sangat terjamin," ujar Edo Rakhman, Manajer Kampanye Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) kepada gresnews.com, Senin, (22/9).

Meski Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang kemudian membatalkan klausul tentang HP3,  namun perintah putusan tersebut belum dijalankan. Munculnya UU No 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, juga justru kembali membuka ruang penguasaan serta pemanfaan sumber daya perairan. Selain beberapa ketentuan pasal yang diubah, sedikitnya ada 7 pasal sisipan, salah satunya Pasal 26A yang secara substansi mempertegas peluang pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh korporasi nasional maupun asing.

Peraturan tersebut telah banyak memunculkan kasus yang menciptakan kerugian pada perekonomian negara, kerusakan ekonomi rakyat, dan kerusakan lingkungan, serta konflik dan kekerasan yang mengakibatkan pelanggaran HAM. Pasal 16 dalam UU No 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 27 tahun 2007 tentang PWP-PPK adalah bentuk ketegasan pemanfaatan ruang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil secara menetap.

Pasal 26A justru semakin mempertegas soal peluang investasi asing untuk bisa menguasai pulau-pulau kecil dan perairan yang ada disekitarnya. “Sepanjang sejarah Indonesia, ini pertama kalinya negara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil bisa oleh korporasi. Proses awal yang mirip dengan monopoli sumberdaya alam di daratan yang syarat dengan investasi skala besar,” ujarnya.

Menurut catatan WALHI, saat ini sejumlah perusahaan mineral, minyak, dan gas, seperti Conoco Philips Indonesia Inc. Ltd., Premier Oil Natuna Sea B.V., Star Energy (Kakap) Ltd., PT.International Nickel Indonesia (Inco), Tbk.  dan Medco Energy telah menyatakan berminat mengadopsi 20 pulau di Indonesia. Sehingga 6.000 pulau tak berpenghuni yang tersebar di perairan di Indonesia lainnya berpeluang diprivatisasi.

Pulau-pulau ini tidak berpenghuni dan tidak memiliki nama. Pulau-pulau inilah yang dapat dengan mudah diklaim pihak swasta maupun asing. Catatan advokasi Walhi, banyak dan maraknya penguasaan wilayah pesisir oleh korporasi dipastikan telah dan akan menggangu sumberdaya komunal masyarakat pesisir. Konflik akan bermunculan karena tidak ada jaminan keselamatan, kesejahteraan dan produktivitas apabila sebuah investasi berkembang di wilayah pesisir.

BACA JUGA: