JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara di Mahkamah Konstitusi terus berlarut-larut. Mahkamah konstitusi bahkan telah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggelar dua kali pemilihan suara ulang (PSU). Kendati telah menggelar dua kali PSU, kedua belah pihak bersengketa belum bisa menerima hasil PSU.

Hasil PSU kedua Pilkada Kabupaten Muna yang digelar pada 19 Juli 2016 itu, Selasa kemarin telah dilaporkan  KPU ke Mahkamah Konstitusi dalam sidang lanjutan  Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Pelaksanaan KSU Kedua ini menyusul dianulirnya hasil PSU pertama tanggal 22 Maret 2016 yang dinilai terdapat kecurangan.

Harapannya dari putusan PSU kedua, Mahkamah Konstitusi bisa segera memutuskan sengketa Pilkada Kabupaten Muna yang telah berlarut-larut. Sehingga kabupaten Muna dapat segera menentukan pemimpin definifnya.

Namun demikian hasil pemilihan ulang kedua, gelagatnya juga tidak akan segera menghasilkan penyelesaian konflik pilkada di daerah tersebut. Pasalnya, pelaksanaan PSU kedua ini juga dituding sarat dengan kecurangan.

Seperti diketahui KPU sebelumnya menetapkan hasil Pilkada Kabupaten Muna yang digelar 9 Desember 2015 lalu, Pasangan Nomor Urut 3, Laode Baharudin-La Pilli  dinyatakan sebagai pemenangnya. KPU menetapkan rekapitulasi pasangan ini memperoleh suara 47.467 mengungguli pasangan nomor urut 1 Rusman Emba-Malik Ditu yang memperoleh 47.434  atau terpaut 33 suara. Sementara pasangan nomor urut 2 pasangan calon  La Ode Arwaha-La Ode Lasamuna   memperoleh suara 5.408.

Namun keputusan itu  digugat oleh pasangan nomor urut 1 Rusman Emba-Malik Ditu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengklaim ada pemilih ganda yang mencoblos di TPS 4 Kelurahan Raha 1 dan TPS 4 Kelurahan Wamponiki dan ada lima orang pemilih dari luar wilayah di TPS 1 Desa Marobo.

Belakangan MK dalam putusan sela-nya  memerintahkan dilakukan pemungutan ulang atau PSU. Namun hasil PSU pertama yang juga memenangkan pasangan nomor urut 3 dengan selisih 1 suara dibatalkan. Pihak penggugat mengajukan saksi kepala daerah setempat yang menyatakan terdapat kecurangan karena ada pemilih yang bukan berasal dari daerah itu. Hingga MK pun memutuskan untuk menggelar PSU  kedua.

Padahal menurut pengacara Laode Baharuddin (pasangan calon nomor urut 3 ), Abdul Rahman adanya pemilih ganda ini merupakan rekayasa pasangan nomor urut 1.  "Coba kalau yang menang nomor urut satu pasti hal ini tidak dipersoalkan," kata Rahman di Jakarta, Rabu (20/7).

Rahman menyebutkan saat ini polisi masih mengusut adanya pemilih ganda, yang menurutnya bukan suruhan dari pasangan kliennya. Memang saat diperiksa oleh polisi orang yang mencoblos ganda tersebut mengaku memilih nomor urut satu.

"Kami menduga insiden sengaja diciptakan pasangan nomor urut 1 bersama dengan aparat kepolisian dengan membiarkan masuknya pemilih yang tidak memenuhi  syarat," ungkapnya.

Bahkan, kata Rahman, dalam pemilihan suara ulang (PSU) jauh lebih buruk dari pelaksanaan pilkada sebelumnya. Selain itu ada dugaan upaya melakukan money politic, pemilih ganda dan pihak aparat setempat yang mendukung calon nomor urut satu.


PELAKSANAAN PSU LEBIH BURUK - Koordinator Jaringan Rakyat Pemantau pilkada Bersih, Nur Arifin yang turut melakukan pemantauan proses PSU itu mengatakan dari hasil pantauan pihaknya, pelaksanaan  PSU  kedua di  2  TPS  pada tanggal  19  Juni  2016  itu jauh  lebih  buruk dari  pelaksanaan  PSU  sebelumnya. Sebab pelanggaran  dan  kecurangan  jauh  lebih  banyak  dari  pelaksanaan  PSU  sebelumnya.

Arifin menyebutkan ada beberapa temuan kecurangan dalam PSU kedua tersebut. Diantaranya terdapat  sejumlah  pemilih  ganda  atau pemilih  yang  telah menggunakan  hak  pilihnya  di TPS lain  di luar 2  TPS, namun kembali memilih pada PSU tanggal  19 Juni 2016.

"Kedua,  ditemukan  banyak  pemilih  yang  tidak  memenuhi  syarat  yaitu  pemilih  dari  luar Kabupaten  Muna," kata Nur kepada gresnews.com dalam pesan singkat, Rabu (20/7).

Sedang ketiga,  ditemukan  banyak  pemilih  yang  memilih  dengan  menggunakan dokumen  kependudukan  yang  sudah  tidak  berlaku,  serta  identitas  kependudukan  yang  berasal dari  kecamatan  dan  kabupaten  lain.  Keempat,  ditemukan banyak  praktik politik  uang (money  politics). Serta  adanya  dugaan  intervensi  tim  pasangan  calon nomor  urut  1 terhadap  KPU  dalam  proses  pelaksanaan  PSU. "Selain itu juga ada dugaan keberpihakan  aparat kepolisian terhadap pasangan calon nomor urut 1," jelasnya.

Ia mengatakan,  pelaksanaan  PSU di  2  TPS  pada 19  Juni  2016  atau PSU  Jilid  2 Pasca  putusan  MK,   KPU  Muna  di  perintahkan  untuk  melakukan  Validasi  factual  DPT berdasarkan  Surat  edaran  KPU  dengan  Nomor  :  251/KPU/V/2016  dan  Surat  Edaran  Nomor 300/KPU/VI/2016.

Dia menyebutkan bahwa berdasarkan  kedua  surat  edaran  itu  dan  serta  hasil  validasi  lapangan  DPT di  2  TPS  maka  terdapat  sebanyak  214  yang  memenuhi  Syarat  di  TPS  4  Kelurahan  Wamponiki  dan 381 yang  memenuhi Syarat  di  TPS 4  Kelurahan Raha  1. Selanjutnya,   dari hasil rekapitulasi KPU atas pelaksanaan PSU  Jilid  2  tanggal  19  Juni  2016,  diketahui paslon  nomor  3  hanya  unggul  3  suara di  TPS  4  Raha  1.  

Sementara itu, menurutnya, di  TPS  4 Kelurahan  Wamponiki   banyak terjadi pelanggaran. Dimana ditemukan setidaknya 11 pemilih  yang  tidak  memenuhi  syarat  sebagaimana  pertimbangan  hukum  dan  amar  putusan  Mahkamah, namun   tetap  diperbolehkan  memilih  saat PSU.

"Ditemukan  banyak  pemilih  yang  sudah  pindah  domisili  di  daerah  lain  sebanyak  24 orang  pemilih dan ditemukan  pemilih  ganda  sebanyak  4  orang," ujarnya.

Menurut Arifin, bahkan ada  insiden  yang  sengaja  diciptakan  oleh  pasangan  calon  nomor  urut  1 bersama  dengan  aparat  kepolisian,  dimana  aparat  kepolisian membiarkan  masuknya  tim pasangan  calon  nomor  urut  1  yaitu  La  Ode  Hasid  Pedansa  dan  Muhammad  Amrin  bersama yang  lainnya  dengan memaksakan  kehendak agar  pemilih  yang  sudah  tidak  memenuhi syarat diakomodir  dengan  alasan  ada  dalam  DPT.  

Padahal hal itu tidak dapat  dilakukan  karena  Komisioner  KPU  Muna  yang  bertugas  dan memantau pemilihan  menilai   hal itu tidak memenuhi syarat.  Namun anggota  KPU  Kabupaten  Muna Rahmat Andang Jaya justru didesak oleh tim pasangan calon nomor 1 untuk keluar dari  TPS  4  Kelurahan Wamponiki. Dengan alasan keamanan peristiwa itu diamini polisi. Padahal  yang  bersangkutan  sedang  melaksanakan  tugas sesuai  arahan  KPU  RI , khususnya  untuk  mengkroscek  pemilih-pemilih  yang  tidak memenuhi syarat.

"Kami Jaringan Rakyat Pemantau Pilkada Bersih mendesak KPU Pusat untuk kembali mengelar Pemungutan suara ulang di Muna karena, karena PSU yang digelar syarat dengan Kecurangan yang mencenderai Demokrasi," tegasnya.

BACA JUGA: