JAKARTA, GRESNEWS.COM — Ketua Lembaga Masyarakat Adat Amungme (LEMASA) Odeizeus Beanal menilai, perseteruan antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia sama sekali tidak mengindahkan keberadaan 7 masyarakat adat yang berada di sekitar tambang emas itu. Alih-alih saat berseteru, bahkan saat hubungan kedua pihak terlihat mesra, pemerintah dan Freeport sama-sama absen dalam memenuhi hak-hak dan kebutuhan masyarakat adat di sana.

Hal demikian disampaikan Odei di sela diskusi dan peluncuran buku "Mee Ati Aten: Mari Berunding dengan Kami Pemilik Tanah" yang digelar pada Kamis (16/3) di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari No. 4-B, Menteng, Jakarta Pusat. "Selama lima puluh tahun berada di Tanah Papua, kami tidak pernah dilibatkan," kata Odei.

Sejak Kontrak Karya I yang ditandatangani kedua pihak pada 1967 lalu, Odeizeus menyebut masyarakat adat di sana seolah dinilai sebagai makhluk setengah binatang baik oleh pemerintah maupun oleh Freeport. "Kami dianggap tidak ada. Bahkan nyawa kami, dihargai murah sekali," katanya.

"Mee Ati Aten" sendiri artinya kurang lebih adalah "hargai kami sebagai manusia". Odei menyebut sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar wilayah penambangan Freeport timbul lantaran protes keras masyarakat sekitar terhadap aktivitas perusahaan tambang asal Amerika itu. Hanya, alih-alih dibela atau setidaknya diberi ruang untuk berdialog, masyarakat yang kritis justru malah dicap sebagai kaum separatis oleh negara. Mereka, sambung Odeizeus, tak jarang menjadi target buruan dan dianiaya pihak aparat.

"Kasus pelanggaran HAM di Banti pada Desember 1994 yang dilaporkan Uskup Muninghof telah membuka mata dunia bahwa ada kekerasan di areal perusahaan asal Amerika ini," kata Odei.

Hal demikian lantas diikuti oleh aksi mahasiswa Papua di tahun 1995, hingga kemudian Komnas HAM RI turun tangan dan Ketua LEMASA saat itu, Thom Beanal, mengajukan gugatan terhadap Freeport Mc Moran di Pengadilan Lousiana. "Tahun 1996 Freeport Indonesia memang mengucurkan dana untuk membangun rumah sakit, mengucurkan beasiswa, dana usaha, dan lain-lain. Tapi dana yang diambil 1% dari keuntungan mereka itu diberikan untuk Papua, bukan diberikan khusus pada kami," keluh Odei.

Kini, lepas dari kesepakatan akhir pemerintah dan Freeport nanti—apakah keduanya akan melanjutkan kerjasama atau tidak, Odei berharap pihaknya dilibatkan dalam pembicaraan antara pemerintah dengan Freeport. "Kami semua ingin mengetahui, kira-kira apa yang harus kami persiapkan pasca penambangan, apa yang harus kami kerjakan agar tidak ada lagi pelanggaran HAM. Banyak sekali isu yang harus kita rundingkan bersama. Jadi berunding itu bukan hanya bicara saham atau ekonomi. Tapi juga bicara soal manusia dan lingkungan. Ini yang saya kira perlu segera dirundingkan agar ada jalan keluar bagi semua pihak," kata Odei kepada gresnews.com.

Disinggung bahwa Menteri ESDM Ignasius Jonan tengah mengupayakan adanya pelibatan masyarakat adat dalam hubungan kerjasama antara pemerintah dan Freeport, Odei berharap hal demikian memang nyata adanya. "Kami tidak mau berita yang sampai ke Papua tidak sesuai kenyataan. Pemerintah selalu begitu. Jika benar mereka peduli pada masyarakat adat, semoga mereka mau mendengar aspirasi kami," katanya.

Disinggung apa yang merupakan aspirasi masyarakat adat di sana, Odei menyebut dua hal. Transparansi dan pengakuan. "Harus dipahami oleh mereka yang duduk di pemerintahan dan juga perusahaan Freeport, bahwa masyarakat adat sudah ada di sana jauh sebelum negara ini ada. Karena itulah mereka harus minta izin lebih dulu kepada pemilik yang sah tanah di sana. Mereka juga harus bicara bahwa, katakanlah untuk sewa lahan, ada kompensasinya. Selama 50 tahun mereke bekerja sama, hal itu tidak pernah terjadi," pungkas Odei.

TANTANGAN PEMERINTAH — Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih Marinus Yaung menyebut Freeport akan sulit diajak bekerjasama dan bakal terus menunjukkan sikap keras kepala lantaran merasa telah memberi banyak hal kepada pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua. Hal itulah yang disebut Marinus sebagai sisi lemah pemerintah di hadapan Freeport.

"Di Timika, orang tahunya Freeport-lah yang berbuat, bukan pemerintah. Rumah sakit bertaraf nasional, jalan demi jalan, Freepot yang bikin. Anak-anak dari 7 suku yang ada di sana bisa mendapat layanan kesehatan gratis dan beasiswa pendidikan bahkan sampai ke luar negeri, lantaran Freeport juga. Keterlibatan pemerintah dalam membangun masyarakat sangat lemah sekali," kata Marinus, Kamis (16/3).

Di saat bersamaan, sambung Marinus, Freeport juga merasa di atas angin lantaran memegang "kartu As" yang bisa digunakan untuk melemahkan pemerintah kapan pun mereka mau. "Sejak integerasi hingga saat ini, Freeport tahu dosa-dosa negara ini kepada orang Papua. Selain itu, Freeport juga tahu siapa saja perampok-perampok dalam negeri yang bersama-sama dengan mereka turut merampok kekayaan tanah Papua. Itu yang membuat mereka bakal terus menerus keras kepala," katanya.

Marinus menyebut sejak 50 tahun lalu memang ada persekongkolan gelap antara Freeport dengan elit politik di Indonesia, utamanya pada zaman Soeharto. Namun demikian, menurut pria yang kakinya pincang lantaran dianiaya aparat keamanan ini, bahkan setelah Soeharto lengser, persekongkolan itu terus berlanjut, terutama lewat para politisi Partai Golkar.

"Kelompok Golkar sudah banyak mengambil keuntungan dari keberadaan Freeport di Tanah Papua. Jadi saya pikir Freeport merasa percaya diri karena di belakang dia ada Golkar. Selain itu ada juga militer dan sekelompok elit politik lain yang hingga saat ini masih berada di sekitar istana atau kekuasaan. Merekalah pihak-pihak yang selama ini dikasih makan oleh Freeport," terang Marinus.

Atas hal itulah Marinus mengingatkan, di sela hubungan tidak sedap antara pemerintah dengan Freeport terkait status kontrak kerjasama mereka, Presiden Joko Widodo jangan sampai lengah terhadap keberadaan oknum-oknum pencari keuntungan yang ada di sekitarnya. Hal itu penting menjadi perhatian pemerintah sebab dalam kasus yang terjadi saat ini, Jokowi tidak hanya berhadapan dengan pihak asing, tapi juga pihak-pihak yang notabene merupakan kawannya sebangsa senegara, baik itu rakyat adat--yang merasa banyak dirugikan oleh kegiatan Freeport di Timika, juga kaki tangan Freeport yang banyak membantu aktivitas perusahaan itu selama ini.

"Jokowi merupakan satu-satunya simbol politik yang saat ini dipercaya masyarakat Papua. Selain dia, tidak ada yang kami percaya. Kami berharap di bawah rezim ini nasib masyarakat Papua bisa berubah ke depannya," kata Marinus.

Marinus menerangkan, saat Pilpres 2014 lalu nyaris 70% orang Papua memberikan suaranya untuk memenangkan Jokowi. Terkait hal itu, Marinus menyebut tantangan terbesar Jokowi saat ini adalah meyakinkan masyarakat Papua bahwa dirinya bebas dari intervensi pihak-pihak yang selama ini setali tiga uang dengan PT Freeport Indonesia. Pihak-pihak itulah—Golkar, kalangan militer, dan sejumlah oknum elit politik—yang kerap turut andil menentukan setiap kebijakan yang diambil pemerintah terkait hubungannya dengan Freeport.

"Kalau Jokowi bisa meyakinkan kami orang Papua bahwa dia bisa mengendalikan mereka demi kepentingan negara, orang Papua, dan kepentingan Freeport itu sendiri, maka kami yakin Jokowi akan mendapat dukungan penuh untuk menerapkan kebijakan hukum terkait operasional Freeport ke depannya," pungkas Marinus.

OPTIMISME PEMERINTAH DAN AUDIT HAM — Tenaga Ahli Kementerian ESDM Yuni Yusdinar menyebut, kompleksitas hubungan pemerintah-Freeport tidak bisa dilepaskan dari peristiwa masa lalu. Yuni tidak secara gamblang menyebut bahwa hubungan kedua pihak tersebut di masa lalu diliputi--meminjam istilah Marinus--persekongkolan gelap. Hanya, menurutnya, kerenggangan yang terjadi saat ini haruslah disikapi semua pihak sebagai sebuah momentum untuk menemukan hubungan yang lebih baik.

"Masa lalu harus dijadikan pelajaran agar jika 6 bulan ke depan ada kesepakatan antara pemerintah dan Freeport, ruang perbaikan bisa diperoleh," kata Yuni.

Yuni menyadari, salah satu tuntutan yang dialamatkan kepada Kementerian ESDM adalah mencari solusi terbaik bagi masyarakat adat di Papua, seiring mencari solusi bersama antara PT Freeport dan pemerintah Indonesia. Terkait hal itu, menurutnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan sendiri sudah berupaya membuka ruang dialog dengan Freeport agar jika hubungan kerjasama mereka berlanjut, masyarakat adat dilibatkan. "Seperti apa bentuk keterlibatannya, itu sesuatu yang harus dilihat nanti," kata Yuni.

Disinggung mengenai perkembangan rencana Freeport menggugat pemerintah ke Mahkamah Arbitrase, Yuni menyebut bahwa semua pihak harus optimis bahwa persoalan yang kini ada bisa diselesaikan tanpa harus menempuh jalur arbitrase. "Para pihak punya niat baik, sehingga polemik antara pemerintah dan Freeport sebisa mungkin tidak perlu diselesaikan di sana," katanya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis menerangkan, terlepas dari polemik arbitrase, kepada PT Freeport Indonesia sudah seharusnya dilakukan suatu audit khusus yang didasarkan pada nilai-nilai HAM (Audit HAM). Audit itu, sambung Nur Kholis, melingkupi tiga hal. Pertama, dampak operasional Freeport terhadap masyarakat lokal. Kedua, dampak operasional Freeport terhadap lingkungan. Terakhir, dampak operasional Freeport terhadap relasi internal. "Misalnya hubungan Freeport dengan karyawannya," terang Nur Kholis.

Jika kemudian Freeport tidak akan melanjutkan bisnisnya di Indonesia, audit HAM tetap penting dilakukan agar citra Freeport di dunia internasional tidak rusak. "Sedang jika mereka melanjutkan bisnisnya, audit HAM adalah perkara yang mutlak," tegasnya. (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: