JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dibawah kepemimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie (ARB) Partai Golkar dianggap gagal membawa partai beringin itu berjaya di Pemilu 2014. Kegagalan itu menimbulkan gejolak di internal partai. Saat ini, desakan mempercepat digelarnya musyawarah nasional (munas) semakin deras bermunculan di internal Golkar.

Demikian diungkapkan ketua DPP Partai Golkar Yoris Raweyai saat dihubungi Gresnews.com. Menurut Yoris, saat ini partai Golkar mengalami periode paling buruk di bawah kepemimpinan ARB. "Gagal memenangkan Pemilu Legislatif 2014, bahkan gagal mengusung calon di pemilu presiden tahun ini. Kegagalan itu akhirnya memunculkan desakan digelarnya munas," kata Yoris, Sabtu (12/7).

Mengenai pelaksanaan Munas, Yoris menjelaskan, sesuai aturan internal Golkar, Munas seharusnya digelar di 2014. Namun, dalam Munas Golkar 2009, direkomendasikan agar penyelenggaraan Munas digelar pada 2015 dengan pertimbangan dinamika politik pada 2014 bertepatan dengan Pemilu.

"Tapi kenyataannya karena Golkar gagal di Pemilu khusunya pilpres tahun ini, tak ada alasan lagi Munas harus digelar pada tahun depan (2015). Sesuai aturan internal, Munas Golkar harus digelar pada 5-9 Oktober tahun ini (2014). Hal ini juga Karena adanya desakan dari bawah Munas agar dipercepat," jelas Yoris.

Wacana Munas Golkar dipercepat juga disuarakan oleh mantan politisi muda Golkar Poempida Hidayatullah yang kini jadi juru bicaranya cawapres Jusuf Kalla. Dorongan Munas ini bukan semata kehendak segelintir pimpinan Golkar di pusat. "Tapi, Desakan para pengurus Partai Golkar di berbagai daerah," kata Poempida kepada Gresnews.com.

Ketika ditanya pengusrus Golkar daerah mana saja yang mendorong munas, Poempida enggan menjawab. Dia hanya mengatakan banyak daerah mendesak segera digelar Munas.

Poempida menambahkan, desakan pengurus daerah muncul selama ini karena kecewa dengan kepemimpinan Ketua Umum Golkar ARB yang dinilai gagal mengemban amanat partai. Selain itu, Golkar berkoalisi dengan kubu Prabowo-Hatta pada pilpres 2014 juga dianggap sebagai salah satu alasan.

Padahal salah satu kader terbaik dan mantan ketum Golkar (Jusuf Kalla) maju sebagai cawapres dari Jokowi. "Pada hasil rapimnas Mei lalu juga, Ketua Umum DPP Golkar diberikan mandat agar membangun koalisi dengan partai pemenang pemilu (PDI Perjuangan). Tapi kenyataannya?," tegas anggota Komisi IX DPR ini.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono saat menggelar silaturahim dengan para pengurus DPD Golkar Sukabumi Jumat (11/7) malam tadi mengatakan, tidak menjadi masalah besar apabila nanti partainya tidak berada dalam pemerintahan. Bukan sebagai oposisi, melainkan menjadi partai penyeimbang seperti yang dulu pernah dilakoni Golkar.

"Kalau partai ini harus memiliki berbagai altenatif, termasuk di luar pemerintahan saya kira kita harus siap karena kita sudah punya pengalaman banyak. Golkar pernah berkuasa 30 tahun, tapi juga pernah berada di luar pemerintahan sebagai partai penyeimbang. Bukan oposisi," ujar Agung di Hotel Taman Sari, Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (11/7) malam.

Meski demikian, dia tidak mau tergesa-gesa dan gegabah dalam menentukan sikap. Menurutnya, Golkar masih menunggu hasil pengumuman resmi pemenang Pilpres dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli untuk menentukan sikapnya. "Ada berbagai kemungkinan karena belum ada keputusan pasti Pilpres. Jadi berbagai kartu yang bisa dimunculkan. Yang penting sampai dulu pemilu damai," tegasnya.

Apa yang membedakan partai penyeimbang dengan oposisi? "Hampir sama. Kalau penyeimbang kalau bagus kita dukung kalau tidak kita kritik. Kalau oposisi, cenderung berbeda pendapat. Tapi kemarin PDIP tidak 100 persen bertentangan," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: