JAKARTA, GRESNEWS.COM - Detik-detik menjelang perombakan atau reshuflle kabinet semakin mendekat. Presiden Joko Widodo sendiri dikabarkan kini tengah melakukan upaya finalisasi rencana reshuffle kabinet dengan sektor ekonomi menjadi titik tekan utama. Ketidakpuasan masyarakat atas kinerja menteri-menteri Jokowi di bidang ekonomi juga kabarnya bakal berimbas kepada posisi menko perekonomian.

Sofyan Djalil yang saat ini menjadi Menko Perekonomian dikabarkan bakal ikut kena libas lataran kinerjanya dinilai kurang memuaskan. "Ada satu atau dua Menko direshuffle," kata sebuah sumber di internal PDIP, Minggu (28/6).

Meski tak menyebut menko mana, namun diantara empat menko yang dimiliki Jokowi yaitu, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menko Polhukam Tedjo Edhy, dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil, hanya dua yang berada di posisi kritis yaitu Menko Polhukam dan Menko Perekonomian. Dua nama yang terakhir kabarnya berada di posisi kurang aman.

Namun Menko lain juga menuai kritik dari masyarakat. Puan misalnya, dinilai tak memiliki terobosan sama sekali pada lingkup bidang kerjanya. "Orang parpol pun banyak yang tidak bener kinerjanya. Lihat saja Menkum dan HAM kinerjanya apa? Lalu menteri PMK itu, kinerjanya apa?" kata pengamat dari Populi Center, Nico Harjanto dalam diskusi publik di Gado-gado Boplo, Jl Gereja Theresia, Menteng, Jakpus, Sabtu (27/6) kemarin.

Hanya saja, posisi Puan secara politis memang kuat sehingga kemungkinan untuk digeser menjadi sangat sulit karena dia merupakan representasi partai berkuasa saat ini yaitu PDIP. Alhasil kini yang menjadi sorotan memang hanya Tedjo dan Sofyan mengingat kinerja Indroyono di bidang kemaritiman selama ini dinilai cukup lumayan terutama akibat terdongkrak kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sofyan Djalil disorot lantaran kinerja menteri-menteri ekonomi Jokowi memang dinilai payah. Pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai di kisaran 4,7 persen, dinilai rupiah yang masih terus melemah terhadap dolar di kisaran Rp13.000-an, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang diperberat liberalisasi harga minyak membuat daya beli masyarakat juga semakin ambrol.

Penurunan daya beli juga berimbas buruk pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih banyak ditopang sektor konsumsi. Hanya saja untuk menggenjot sektor konsumsi, langkah pemerintah membebaskan pajak barang mewah justru menuai kritik lantaran diprediksi bakal membuat barang impor semakin merajai pasar lokal dan membunuh produk dalam negeri.

ISU RESHUFFLE MENTERI EKONOMI MAKIN KUAT - PDIP berkali-kali mendorong Jokowi melakukan evaluasi menyeluruh di sektor perekonomian, sejumlah parpol KIH seperti PKB bahkan menilai kinerja beberapa menteri sektor ekonomi parah. Sejumlah nama seperti Darmin Nasution dan Kuntoro Mangkusubroto kabarnya bakal jadi nama baru menteri di sektor ekonomi.

"Tentunya menteri yang menyangkut sektor riil, baik makro maupun mikro. Menkeu, lalu kalau dari hasil data, melihat nilai tukar pertanian dan perikanan menurun, sementara anggarannya berkali lipat," kata Wasekjen PKB Daniel Johan saat ditanya tentang menteri yang layak di-reshuffle, Jumat (26/6).

Ada juga menteri lain yang diserang PKB. "Kalau berdasarkan masukan-masukan, kinerja Mendag dan Menhub juga parah," lanjutnya.

Terakhir, kabarnya sang menteri koordinator perekonomian juga akhirnya masuk radar Jokowi untuk diganti. Hasil riset Politracking Indonesia mencatat, kepuasan publik terhadap kinerja menteri ekonomi di bawah koordinasi Sofyan Djalil terus merosot. Tingkat ketidakpuasan publik terhadap kerja menteri-menteri ekonomi Jokowi melonjak hingga ke angka 66 persen.

"Tapi bidang ekonomi paling tinggi, ketidakpuasannya hingga 66 persen. Memang waktu itu kita ambil saat cenderung harga-harga lagi naik," ujar Direktur Eksekutif Politracking Indonesia Hanta Yuda beberapa waktu lalu.

Hanta mengatakan, ketidakpuasan tersebutlah yang mendorong isu reshuffle berkembang. Pasalnya masyarakat sudah menunjukkan kekecewaannya terhadap kinerja pemerintah yang belum bisa merealisasikan janji-janjinya.

Menurutnya, publik menantikan kebijakan-kebijakan bukan hanya jangka panjang, melainkan juga jangka pendek yang langsung dirasakan manfaatnya oleh publik. "Diperlukan kebijakan program andalan yang langsung dirasakan publik. Perlu juga program jangka pendek seperti stabilisasi harga pokok," pungkasnya.

Meski begitu, buruknya kinerja menteri-menteri ekonomi ini memang juga tak terlepas dari kebijakan yang diterapkan Presiden Jokowi sendiri. Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finances (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, kebijakan tim ekonomi tak terlepas dari kebijakan presiden.

Misalnya, ‎demi mendapatkan ruang fiskal lebih besar, pemerintah terus mengambil kebijakan penyesuaian harga seperti menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Kenaikan BBM dan tarif asar listrik untuk industri yang sangat besar ini, justru membuat industri dalam negeri terpukul.
 
"Dengan kondisi ini, wajar saja bila kinerja perusahaan tekstil dan lainnya yang sangat bergantung dengan listrik langsung mencatatkan kinerja buruk. Harusnya pemerintah menyetel keseimbangan, memikirkan setiap kebijakan ekonomi supaya punya desain komprehensif. Jangan ambisi saja dapatkan ruang fiskal," ungkap Enny.

BANYAK KEPENTINGAN BERMAIN - Dalam isu reshuffle ini, memang tak melulu hanya kinerja menteri-menteri yang disorot. Sebab banyak pihak yang memang berkepentingan dengan isu ini sehingga seolah menjadi bola liar. Semua partai memang seolah punya kepentingan menjelang reshuffle kabinet Jokowi-JK.

PDIP misalnya, meminta tambahan menteri ke Jokowi terus menyerukan ´Duo Singa´ Menteri BUMN Rini Soemarno dan Seskab Andi Widjajanto direshuffle. Kabar santer keduanya bakal kena reshuffle, namun belum jelas apakah akan dicopot atau hanya digeser saja. Sementara itu nama Pramono Anung sudah di pusaran calon Seskab selanjutnya, isunya Andi Widjajanto disiapkan untuk mengisi kursi Menhan.

Desakan reshuffle tak hanya dari PDIP yang meminta tambahan jatah menteri dan parpol KIH. Elite KMP dan PD yang selama ini di posisi nonblok pun ikut mengkritik kabinet Jokowi yang lemah di manajemen krisis. PAN yang dikabarkan bakal dapat menteri pun kini bersuara keras terus mendesak reshuffle kabinet. Sementara Golkar kubu Aburizal Bakrie berharap Jokowi mereshuffle Menkum HAM Yasonna Laoly karena dianggap memanaskan konflik Golkar dan juga beberapa kontroversi lainnya.

Adanya beragam kepentingan dibalik isu reshuffle ini juga diakui anggota FPDI Perjuangan TB Hasanuddin. Dia menilai isu reshuffle itu sudah ada mulai ditunggangi misi-misi terselubung dari beberapa pihak.

"Sekarang banyak orang yang tak menghendaki reshuffle karena ada udang dibalik batu biar tambah amburadul konddisi pemerintahannya. Mungkin juga tak menghendaki ekonomi, hukum dan keamanan semakin baik," kata TB Hasanudin saat dihubungi wartawan, Jakarta, Jumat (8/6) lalu.

Anggota Komisi I DPR ini mengatakan, persoalan reshuffle ini memang diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo. Tapi ia menghimbau, sebaiknya tetap mengganti menteri yang tak bisa kerja. "Kalau saya jenderal di pertempuran punya kolonel yang tak tahu strategi dan penakut, ya saya ganti kolonelnya," katanya.

LEBIH BAIK DARI PARPOL - Di awal terbentuknya, kabinet kerja Jokowi-JK banyak menuai harapan lantaran banyak diisi menteri yang bukan berasal dari partai politik (Parpol) atau sering diistilahkan dengan sebutan kalangan profesional. Komposisi 14 menteri berasal dari parpol dan sebanyak 20 orang dari kalangan profesional dianggap ideal atau setidaknya menteri profesional akan dapat bekerja maksimal karena tidak terikat dengan kepentinan partai.

Hanya saja setelahh delapan bulan bekerja, menurut Direktur Survey Lintas Nusantara (SLN) Emrus Sihombing, susunan kabinet dari kalangan profesional ternyata tidak menjamin produktivitas pemerintahan Jokowi-JK dapat berjalan baik. Bahkan, beberapa diantaranya mengecewakan.

Dia berpendapat, menteri dari kalangan partai politik justru menunjukkan kinerja yang lebih mumpuni. Karena itu, kata Emrus, pemerintahan Jokowi-JK, perlu melakukan perombakan dengan menunjuk lebih banyak menteri dari kalangan partai politik dan tidak perlu terbebani dengan sebutan "bagi-bagi jabatan".

Alasannya, jabatan menteri adalah jabatan politik dan pengangkatan para menteri tetap menjadi keputusan politis. "Dukungan politik dari partai terhadap seorang menteri sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas yang bisa memberikan dampak produktivitas kinerja seorang menteri," kata Emrus kepada Gresnews.com, Minggu (28/6).

Namun, ia menegaskan, penunjukan menteri tidak cukup semata berlatar belakang partai politik, tetapi tetap harus seorang yang memiliki kemampuan atau profesional dalam arti sebenarnya. Mencari kategori seperti ini menurutnya tidak sulit sejak era reformasi kara partai-partai Indonesia sudah mempunyai banyak sumberdaya manusia yang profesional. "Pak Jokowi dan Pak JK adalah kader-kader dari partai yang berbeda," jelasnya.

Emrus mengaku optimistis, kelak ketika komposisi menteri didominasi dari kader partai politik dan profesional, maka kinerja menteri sekaligus kabinet dipastikan jauh lebih mampu melaksanakan tugas-tugas secara profesional karena mereka mendapat dukungan politik untuk bekerja, minimal dari partai pengusungnya.

Perlunya dukungan politik ini, menurut Emrus, sejalan dengan pandangan Presiden Jokowi yang disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Partai Amanat Nasional (Rakernas PAN), beberapa waktu yang lalu, bahwa dukungan politik sangat diperlukan untuk mensukseskan pembangunan negara. Ketidakefektivan kinerja sejumlah menteri dari kalangan profesional (bukan dari partai), kata dia, disebabkan proses penunjukannya tidak profesional, tetapi diantaranya karena kedekatan dan balas jasa.

"Banyak diantara para menteri yang bukan berasal dari parpol itu, sebenarnya tidak dapat dikategorikan profesional," tegasnya.

PARPOL NON PARPOL SAMA SAJA - Berbeda dengan Emrus, Ketua Populi Center Nico Harjanto mengatakan kinerja menteri dari parpol maupun non parpol sama saja buruknya. Dia menilai, kurangnya kerja keras para menteri Jokowi terlihat dari bagaimana mereka kurang dapat memperjuangkan apa yang diharapkan Jokowi.

Seperti halnya mengenai revisi UU KPK dan dana aspirasi yang kini menghangat dibahas di DPR. "Tahu-tahu kemarin sepertinya presiden kecolongan lagi. Tahu-tahu paripurna di DPR ada ribut-ribut revisi UU KPK atau dana aspirasi yang jelas-jelas sudah ditolak presiden," ungkap Nico.

"Ini menunjukkan ada yang kurang tepat, kurang bagus kerjanya sehingga komunikasi dengan DPR itu kurang berjalan dengan baik," sambungnya.

Nico sendiri banyak mengkritik mengenai menteri-menteri Kabinet Kerja yang berasal dari partai politik. Menurutnya, menteri dari parpol masih ada yang belum menunjukkan kemajuan untuk masyarakat di bidang yang mereka emban. "Kita tahu di bidang Polhukam, PMK, itu selama 8 bulan terakhir ini kita belum merasakan adanya suatu perubahan yang agak bagus, bahkan di sektor Polhukam ada banyak kontroversi dan kegaduhan," kritiknya.

"Ada banyak hal yang dijanjikan dalam kampanye sekarang masih sebatas janji-janji. Realisasi atau implementasinya masih jauh panggang daripada api," imbuh Nico.

Kualitas tokoh-tokoh dari dunia politisi disebut memang tak banyak yang memiliki kompetensi mencolok. Seperti pengalaman yang sempat dirasakan oleh sekretaris menteri BUMN Said Didu. Saat ia menjabat dulu, banyak parpol yang mengirimkan kandidatnya untuk mengisi jabatan strategis. "Waktu jadi sekmen BUMN 2005, saya terima hampir 1.000 CV politisi parpol untuk jd komisaris. Yang punya kompetensi tidak sampai 10 persen. Dari 900-an yang masuk kriteria hanya 40-50 orang," ucap Didu.

Didu pun langsung menyatakan akan ada masalah di BUMN jika terus-terus polanya seperti itu. Ia akhirnya mengajukan untuk membuat peraturan menteri yang melarang politisi masuk ke kementerian BUMN. "Kita buat tim, partai-partai marah, pak menteri dikomplain. Tapi saya bilang nggak apa-apa pak, saya ketua panitia timnya, saya yang bertanggung jawab," cerita Didu.

Keinginan politisi untuk mendapat jabatan strategis tak terlepas dari penghasilan bulanannya yang besar. Hal tersebut menurut Didu tidak akan adil bagi presiden. "Apakah adil tim sukses gajinya lebih besar daripada yang disukseskan. Presiden cuma Rp 69 juta gajinya. Dirut Bank Mandiri, jabatan di BI bisa Rp 100 sampai Rp 120 juta gajinya sebulan. Kan nggak adil. Akhirnya yang memenuhi kriteria dimasukkan ke anak-anak perusahaan yang gajinya nggak melebihi presiden," tutup Didu. (dtc)

BACA JUGA: