JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyak alasan berbagai pihak menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( UU KPK) yang sedang dibahas DPR RI. Mereka beranggapan sama, yaitu revisi ini bukan bertujuan memperkuat, tetapi justru melemahkan lembaga antirasuah ini.

Beberapa poin yang sangat ditentang dalam revisi ini adalah kewenangan penyadapan, adanya Dewan Pengawas, serta penyidik dan penyelidik yang KPK tidak boleh mengangkatnya sendiri. Sebab ketiganya justru memotong kewenangan yang dimiliki KPK.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengaku heran kenapa para rekannya itu sangat ingin merevisi UU KPK. Padahal, lembaga lain justru ingin kewenangannya diperluas khususnya setelah terjadi aksi teror di Thamrin beberapa waktu lalu.

"Pasca bom Thamrin, hampir semua lembaga negara minta perluasan kewenangan, sampai-sampai BIN juga meminta penangkapan, dan juga kepolisian minta perluasan kewenangan. Yang aneh, seluruh aspek minta perluasan kewenangan, tapi justru ada lembaga yang mempunyai prestasi luar biasa seperti KPK malah dikebiri," kata Supratman, Sabtu (6/2).

Menurut Supratman, Undang-Undang KPK yang ada selama ini sebenarnya sudah cukup. Dan bila memang ada yang harus direvisi, seharusnya itu bukan untuk memperlemah, tetapi memperkuat KPK, baik itu kinerja maupun independensinya.

Salah satu yang paling santer merusak independensi KPK yaitu terkait adanya Dewan Pengawas. Menurut Supratman, yang mewakili suara partainya Gerindra, adanya Dewan Pengawas sebenarnya tidak masalah asalkan tidak mengintervensi KPK.

Dalam salah satu poin revisi yang ada di Pasal 37, Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden, dan melaporkannya kepada anggota dewan dan juga Presiden. Menurut Supratman, hal ini rentan akan intervensi dan justru menjadi alat penguasa untuk melawan para lawan politiknya.

Kalau Dewan Pengawas di pasal 37 a dinyatakan kewenangan mengangkat dan memberhentikan ada di presiden, kalau presiden sudah campur tangan independensi dimana lagi. Itu bisa jadi alat bagi penguasa untuk memborbardir lawan politiknya," ujar Supratman.

PANDANGAN YLBHI - Sementara itu, Direktur Bantuan Hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani mengatakan ada tiga poin tanggapannya atas rencana DPR untuk merevisi UU KPK. Pertama, orang yang merencanakan tidak mengerti alasan mengapa KPK didirikan, serta alasan revisi ini terlalu klasik.

Kemudian kedua itu merupakan bentuk dedikasi buruk bagi pemberantasan korupsi. Dan terakhir rencana itu memang berniat untuk mengebiri kewenangan yang dimiliki lembaga antirasuah ini.

Julius mengatakan, bahwa wacana revisi selalu muncul ketika KPK menangani kasus besar yang melibatkan petinggi aparat penegak hukum. Pertama pada kasus Cicak vs Buaya pada 2012 lalu, kemudian muncul lagi ketika menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi.

"Apakah ada data yang real (nyata-red) yang diberikan alasan untuk revisi? Tidak ada," tegas Julius yang juga hadir dalam diskusi yang sama.

Padahal, kinerja KPK selama ini sudah cukup membanggakan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain, kinerja mereka justru jauh dibawah lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo ini.

Contohnya dalam pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum lain. "Ada aparat penegak hukum yang lain yang justru banyak melakukan penyiksaan, dan lain-lain. Tanya menpan RB, mereka tau berapa jumlahnya itu," pungkas Julius.

Kemudian terkait penyadapan, Julius mengaku tidak heran menjadi salah satu yang sangat diinginkan untuk direvisi. "Karena mekanisme paling efektif ya penyadapan yang tidak dibantahkan. KPK dalam menetapkan tersangka punya dua alat bukti yang sah, bukan alat bukti permulaan yang cukup," tutur Julius.

UTAMAKAN REVISI KUHAP DAN KUHP - Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua memberikan pandangannya terkait rencana revisi UU KPK yang saat ini tengah bergulir di pemerintah. Menurutnya sebelum merevisi UU KPK, negara harus terlebih dahulu membenahi KUHP dan KUHAP.

"Secara filosofis, rumah UU kita kan KUHP, dan itu belum jelas sampai mana pembahasannya. Apabila UU KPK diamandemen, kemudian beberapa tahun lagi baru jelas pembahasan KUHP, nanti bertentangan lagi dengan UU KPK," ujarnya dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakpus, Sabtu (6/2).

Dia menjelaskan, sejak sebelas tahun lalu hingga saat ini ada 13 Judicial Review tentang KPK yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dari 13 judicial review tersebut, hanya satu yang dikabulkan MK.

"Dari 13 itu cuma sekali yang bela KPK, tentang Busyro agar empat tahun, sisanya mau menghilangkan kewenangan," jelas dia.

Abdullah menegaskan rencana revisi UU KPK oleh pemerintah, dianggap kurang akademis dan ilmiah. Ia berharap pemerintah secepatnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari rencana revisi ini. Revisi harus ditunda hingga KUHP dan KUHAP selesai dibahas dan direvisi. 

Menurut Abdullah, lanjut atau tidaknya revisi UU KPK sangat bergantung dari sikap pemerintah. Publik banyak menyuarakan penolakan revisi undang-undang jika tujuannya untuk memperlemah KPK. Suara ini tidak bisa begitu saja diabaikan Jokowi.

Terlebih lagi, Jokowi punya pembantu yang dikenal pro terhadap pemberantasan korupsi. Misalnya, mantan aktivis antikorupsi yang kini menjabat Kepala Staf Presiden Teten Masduki, dan mantan Juru Bicara KPK yang kini menjabat staf khusus Presiden, Johan Budi SP. "Bola ada di tangan beliau (Presiden)," ungkap Abdullah. (dtc)

BACA JUGA: