JAKARTA, GRESNEWS.COM – Isu soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) bergulir paska Golkar bersikap menolaknya. Perdebatan pun terjadi diantara anggota-anggota DPR terutama soal upaya untuk mendukung ataupun menolak Perppu. Tapi perdebatan tersebut terjadi hanya dalam lingkup politis tanpa memperdebatkan substansi. Salah satu substansi yang marak diperbincangkan soal Perppu itu adalah e-voting.

Ketua DPP Demokrat Didi Irawadi Syamsudin mengatakan pilkada langsung tanpa perbaikan merupakan hal yang percuma. Perbaikan tersebut banyak manfaatnya misalnya seperti mengurangi money politic. Salah satu perbaikannya adalah dengan menggunakan e-voting.

Ia mencontohkan Amerika Serikat dan India pun sudah pernah menerapkan e-voting. "E-voting harus segera diberlakukan dengan teknologi yang bagus dan sulit diserang oleh hacker," ujar Didi dalam diskusi soal Perppu pilkada dig Gado-gado Boplo, Jakarta, Sabtu (6/12).

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Titi Anggrani menuturkan E-voting merupakan pemungutan suara yang dilakukan dengan teknologi elektronik. Penggunaan teknologi tidak terhindarkan untuk pemilu untuk membuat pemilu lebih baik. Hanya saja, penggunaan teknologi harus disiapkan dengan matang sebab pemilu merupakan perebutan kekuasaan. Kalau tidak siap, teknologi dengan menggunakan e-voting akan berakibat chaos.

"E-voting akan membawa dampak bagi banyak hal," ujar Titi pada Gresnews.com usai diskusi Perppu pilkada di DPR, Jakarta, kemarin (5/12).

Titi menjelaskan yang harus disiapkan untuk e-voting diantaranya kesiapan petugas pemilu, pemilih. Bagi petugas pemilu, tentu akan lebih mudah karena penggunaan sistem e-voting tidak terlalu rumit. Bagi pemilih, perlu dipertanyakan kesiapan pemilih untuk menggunakan e-voting. Menurutnya, harus ada ujicoba secara massif. Apalagi karakter sangat beragam dari yang sangat tradisional hingga yang modern.

Ia menambahkan kepercayaan peserta pemilu juga perlu menjadi pertimbangan. Untuk mendapatkan kepercayaan peserta pemilu, alat e-voting harus bisa diaudit dan dipercaya alatnya bisa dioperasi dengan baik. Lalu terakhir, soal kerangka hukum.

Dalam perppu pilkada langsung, e-voting hanya diatur di dalam satu pasal bahwa pemungutan suara boleh secara elektronik. Padahal harus diatur juga penegakan hukum pemilunya seperti apa. Penerapan e-voting untuk memastikan Indonesia siap atau tidak harus diuji dulu secara menyeluruh.

Makhamah Konstitusi sudah menyebutkan sekurang-kurangnya ada 4 instrumen untuk e-voting. Diantaranya kerangka hukum, infrastruktur, anggaran dan kesiapan pemilih dan petugas. Hal ini tentu harus disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sehingga e-voting harus menjadi bermanfaat dan bukan membuat masalah baru. Jangan sampai partisipasi menurun karena tidak siap.

Data dari Universitas Jenderal Soedirman mengungkapkan sejumlah pelaksanaan e-voting di sejumlah negara. Diantaranya India, Filipina, Brazil dan Amerika Serikat. India adalah salah satu negara yang menggunakan e-voting untuk pemilu di negaranya. E-voting telah diujicoba pertama kali pada pemililihan Majelis Bort Parur sejak 1982. Hanya saja hasilnya dibatalkan Mahkamah Agung India karena tidak sesuai hukum yang berlaku disana.

India mencoba lagi pelaksaan e-voting pada 2004 secara nasional. Lalu e-voting kembali digunakan pada pemilu 2009 secara nasional dengan lebih dari 400 juta pemilih atau 60% dari daftar pemilh tetap. Keberhasilan pemilu dengan e-voting di India tidak hanya didukung teknologi tapi juga sistem pemilu yang sederhana yaitu sistem distrik.

Selain India, Filipina menggunakan e-voting pada pemilu untuk memilih presiden Mei 2010 secara nasional untuk pertama kali. Pelaksanaan e-voting di Filipina ternyata terkendala dengan kesalahan 76.000 dari total 82.000 mesin scan optic untuk menghitung dan memberikan suara pada kandidat lainnya. Akhirnya kartu memori mesin diganti dan dilakukan penyesuaian antara penghitungan manual dan elektronik di seluruh wilayah untuk mendapatkan kevalidan suara pemilih. Akibat kejadian tersebut banyak pemilih yang mengeluhkan sistem e-voting.

Selanjutnya penggunaan e-voting di Brazil. Brazil pertama kali mengujicoba e-voting di Negara Bagian Santa Catarina. Setelah berhasil, tahun 2002 Brazil melaksanakan pemilu secara nasional dengan e-voting dengan menggunakan sebanyak 400.000 mesin e-voting.  

Lalu di Amerika Serikat, mereka menggunakan e-voting pada 2004 untuk memilih presiden. Penggunaan e-voting menimbulkan perdebatan yang serius. Pasalnya pemilih tidak bisa memastikan suara mereka benar tercatat seperti yang mereka maksud, begitu pun petugas tidak bisa mengeceknya. Akhirnya, Amerika membuat terobosan dengan mesin yang bisa mengeluarkan struk sebagai bukti memilih.

Kendala penggunaan e-voting tidak berhenti disitu. Amerika ternyata juga terkendala dengan sumber daya manusia yang tidak terlatih untuk menggunakan mesin e-voting baik pemilih dan panitia pemilunya. Banyaknya kendala dalam menerapkan e-voting, Amerika pun kembali menggunakan surat suara manual sebanyak 80 persen negara bagian.

BACA JUGA: