JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus Satinah telah menyedot perhatian publik di tanah air dalam pekan-pekan belakangan ini. Satinah adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia yang dinyatakan pengadilan di Arab Saudi terbukti bersalah melakukan tindak pidana perampokan dan pembunuhan terhadap majikannya. Atas kejahatannya itu Satinah terancam hukuman mati. TKI asal Ungaran, Semarang, Jawa Tengah itu bisa lolos dari hukuman mati jika mampu membayar diyat atau uang tebusan untuk mendapatkan pemafaan dari keluarga korban.

Hanya saja persoalan diyat ini belakangan menjadi masalah yang sangat ruwet karena negosiasi antara keluarga dan pemerintah Indonesia (yang akhirnya turun tangan mengatasi masalah ini) berjalan sangat alot. Pemerintah sendiri berharap uang diyat itu tidak melebihi angka 4 juta riyal atau sekitar Rp12 miliar. Hanya saja pihak keluarga korban meminta uang diyat sebesar 7 juta riyal atau Rp21 miliar.

Hingga Kamis (27/3) kemarin, hasil negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan keluarga korban menghasilkan kesepakatan uang diyat di angka 5 juta riyal. Pemerintah Indonesia sendiri berharap keluarga ahli waris korban kasus pembunuhan yang dilakukan Satinah tidak mengubah deal atau kesepakatan yang telah dilakukan.

Pemerintah saat juga telah menyediakan uang diyat sekitar 4 juta Riyal. "Kita sudah berusaha membujuk. Keluarga korban agar terima uang 4 juta Riyal yang telah disediakan untuk Ibu Satinah," kata Kepala BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI), Gatot Abdullah Mansyur, Kamis (27/3).

Gatot mengatakan ada banyak donatur baik yang digalang di Arab Saudi dan Indonesia. Jumlah uang diyat yang terkumpul sebanyak 4 juta riyal dan ada tambahan 1 juta riyal lagi dari para donatur. "Insya Allah sesuai deal terakhir dengan ahli waris korban dengan kami di Riyadh. Asal ada 1 juta riyal atau Rp3 miliar saja dan bisa diserahkan ke dia (keluarga-red). Insya Allah sementara bisa diperpanjang dua tahun," katanya.

Gatot berharap dalam negosiasi dengan keluarga ahli waris korban itu tidak ada lagi uang tambahan diyat sebesar 2 juta riyal. Jadi Satinah cukup membayar 5 juta riyal dari tuntutan keluarga korban 7 juta riyal. "Cukup 5 juta riyal saja dan mohon doa restunya Satinah selamat," katanya.

Dia optimistis 90 persen Satinah selamat karena raja dan gubernur di Arab Saudi turut membantu proses negosiasi. "Saya optimis 90 persen selamat karena ada bantuan raja dan gubernur di Arab Saudi. Insya Allah, kita berdoa saja Satinah selamat," pungkas Gatot.

Hari inipun, Jumat (28/3) utusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  Maftuh Basyuni, terbang ke Arab Saudi untuk menemui keluarga majikan yang menjadi korban pembunuhan TKI Satinah, untuk mengejar batas waktu penyerahan uang tebusan 3 April 2014. Maftuh Basyuni, bersama tim satgas yang terdiri dari perwakilan beberapa instansi terkait, antara lain Kemenlu dan Kemenakertrans,  membawa uang tebusan 5 juta riyal atau sekitar Rp15 miliar guna menyelamatkan Satinah dari hukuman pancung.

Uang tebusan tersebut, masih kurang 2 juta riyal dari permintaan keluarga, yakni 7 juta riyal atau sekitar Rp21 miliar. Pemerintah Indonesia telah sepakat dengan keluarga korban untuk menunda pelaksanaan hukuman mati terhadap Satinah.  Pihak keluarga korban sepakat  mengundurkan waktu pelaksanaan eksekusi selama dua tahun, asal ada uang tebusan  SAR 1 juta atau sekitar Rp 3 miliar.

Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Abdul Wahab Bangkona mengatakan, batas waktu pembayaran diat sesuai perjanjian sebelumnya 3 April. Bila pihak keluarga menerima uang tebusan 5 juta riyal tersebut diterima keluarga, Satinah dapat bebas dari hukuman mati. "Namun bila nilai tebusan tersebut ditolak, tim akan berupaya melobi agar keluarga mau mengundurkan waktu penyerahan diat," kata Bangkona seperti dikutip situs setkab.go.id, Jumat (28/3).

Tekanan publik agar pemerintah all out dalam menangani kasus Satinah memang cukup besar. Bahkan pemerintah diminta kalau perlu menggunakan dana APBN untuk menebus Satinah. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta agar kekurangan dana Rp9 miliar untuk diyat Satinah tetap dipenuhi oleh pemerintah dari APBN.

"Komisi I DPR RI mengapresiasi upaya-upaya pemerintah RI untuk membebaskan hukuman mati untuk Satinah. Namun terkait kekurangan dana diyat Rp 9 miliar, Komisi I minta pemerintah segera penuhi dari APBN," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/3).


Mafhudz mengatakan dana tersebut bisa diambil dari anggaran Kemenaker, Kemenlu, BNP2TKI atau pos anggaran lain-lain di Kemenkeu. Ia menegaskan bahwa penyelamatan jiwa Satinah sangat penting. "Meski besaran diyat tidak proporsional, tapi menyelamatkan jiwa WNI lebih penting," ujar politisi PKS ini.

Hanya saja pemerintah masih keberatan jika diyat untuk Satinah ditanggung APBN. Presiden SBY beralasan jika untuk menebus Satinah menggunakan APBN, maka itu akan tidak adil bagi warga negara yang lainnya.  Alasan itu sendiri dinilai cukup masuk akal mengingat masih ada 38 TKI lainnya yang menunggu pemaafan setelah dijatuhi hukuman mati.

Presiden SBY saat memimpin rapat terbatas kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (26/3), menegaskan hal yang lebih penting adalah menggalakkan sosialisasi pentingnya pemahaman hukum bagi para WNI yang tinggal dan bekerja di luar negeri, agar tidak melakukan tindakan pelanggaran hukum sekecil apapun. "Perlindungan dan bantuan hukum, bukan hanya berlaku bagi  WNI yang berstatus sebagai tenaga kerja, tapi semua WNI," kata Presiden SBY seperti dikutip situs setkab.go.id.

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI Hikmahanto Juwana juga sependapat bahwa tidak seharusnya pemerintah membayar diyat Satinah. "Pemerintah tidak seharusnya membayar diyat yang diminta oleh keluarga korban pembunuhan yang dilakukan oleh Satinah," kata Hikmahanto, Jumat (28/3).

Menurut Hikmahanto, masyarakat di Indonesia harus memahami bahwa diyat merupakan uang yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana atau keluarganya, bukan oleh pemerintah. Uang diyat ini sebagai imbalan bagi pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku. "Diyat tidak seharusnya dibayar oleh pemerintah dalam konteks perlindungan warga negara. Pemerintah tentu memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan mulai dari pengawalan proses hukum, termasuk mencarikan pengacara setempat bila dibutuhkan, hingga pelaku menjalani masa hukuman," urainya.

"Namun bila ada pembayaran diyat maka hal tersebut merupakan hubungan antara pelaku dan keluarga korban yang bersifat kontraktual," tambahnya lagi.

Pemerintah, lanjut Hikmahanto, memang pernah melakukan pembayaran uang diyat bagi Darsem, TKI yang diancam hukuman mati. Tindakan ini yang memicu keluarga korban pembunuhan untuk meng-"komersial"-kan diyat. Dalam pandangan mereka bila pemerintah Indonesia yang melakukan pembayaran diyat maka kemampuan pemerintah tidak ada batasan.

Pemerintah Indonesia dianggap mampu untuk membayar seberapapun uang diyat yang keluarga korban minta. "Kondisi ini tentu tidak baik. Pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban," jelasnya.

Oleh karenanya, Hikmahanto bersikukuh, tidak seharusnya pemerintah melakukan pembayaran uang diyat. Pemerintah harus menyampaikan kepada keluarga korban terkait hal ini. Pemerintah harus menyampaikan kepada keluarga korban kondisi keluarga Satinah yang memang tidak mampu bila harus membayar uang diyat yang fantastis.

"Uang diyat yang dibayar oleh pemerintah akan menjadi preseden buruk. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan memberi kesejahteraan rakyat tidak seharusnya digunakan untuk membayar "pemerasan" melalui lembaga diyat," tutupnya.

Pemerintah sejauh ini memang tampak hati-hati dalam persoalan diyat. Pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga sempat mpat melontarkan kecurigaannya terkait adanya mafia diyat di Arab Saudi. Kecurigaan itu muncul setelah jumlah uang diyat dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.

Bahkan angkanya sudah irasional dan tidak proporsional. "Dengan adanya hal tersebut pihak korban akan menentukan jumlah diyat sesuai fakta hukum dan fakta di lapangan," kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Tatang B Razak.

Tatang bahkan mengindikasi adanya mafia di balik pembayaran diyat ini. Dia menceritakan pada awal-awal pemerintah pernah membayar diyat dengan harga 55 ribu riyal namun di tahun-tahun berikutnya kisaran diyat selalu naik bahkan mencapai 22 juta riyal. "Kami memang mendapat indikasi, ada makelar diyat, setelah kita bayar Darsem 22 juta riyal, selalu ada indikasi naik terus, tapi di satu sisi kita tidak ingin 1 nyawa melayang," paparnya.


Tatang mengatakan, pemerintah akan mengkaji dan mengambil langkah-langkah strategis untuk menetapkan besaran uang diyat. Kemlu pun terus berupaya untuk menentukan kisaran diyat dengan jumlah yang proporsional. "Dulu ada kasus misal PRT Indonesia menggorok leher anak kecil apa kita (negara-red) harus bayar? Siapa yang bisa terima?" Jelasnya.

Situasi ini memang sedikit banyak menimbulkan persoalan pelik. Di satu sisi pemerintah memang wajib menyelamatkan nyawa warga negaranya, di sisi lain jika kasus seperti ini terus terjadi pemerintah juga bisa jadi "korban" pemerasan oleh oknum tertentu atas nama pembayaran diyat demi menyelamatkan warga negara. Karena itu Tatang meminta meminta masyarakat berpikir jernih soal penanganan kasus TKI yang tersandung masalah hukum.

Ada yang memang pantas dan layak dibela negara, ada juga yang menjadi tanggung jawab pribadi. "Negara atau pemerintah tidak bisa mengambil alih tindakan individu yang melakukan tindak kriminal. Jadi jangan jadikan semua ini sebagai pahlawan. Memang sebagian TKI itu baik, tapi tidak sedikit juga yang berulah," kata Tatang.

Tatang juga meminta agar jangan ada informasi yang menyesatkan terkait urusan TKI. Tidak harus selalu diambil alih negara tanggung jawab individu yang melakukan tindak kriminal. "Negara memang harus melindungi nasib WNI di mana pun, tetapi tidak boleh mengambil alih masalah individu," terang dia.

Karena itu pemerintah memang harus melakukan upaya yang lebih keras agar kasus-kasus semacam ini tidak kembali muncul. Apalagi selain Satinah, masih ada 38 TKI yang bernasib sama, yakni divonis hukuman mati di Arab Saudi dan menunggu dikabulkannya permohonan maaf dari pihak keluarga

Karena itu selain mengupayakan perlindungan hukum, penyuluhan serta seleksi ketat terhadap pemgiriman TKI ke luar negeri, pemerintah juga diminta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, agar tidak ada lagi yang karena kemiskinan terpaksa jadi TKI ke luar negeri. Untuk itu anggota Komisi IX DPR RI Indra meminta agar presiden yang terpilih di Pemilu 2014 menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

"Saya berharap siapa pun presidennya, dia punya keberanian untuk tidak ragu, berpihak jelas kepada rakyat kecil dan buruh migran maka kasus seperti ini berkurang. Pikirkan juga bagaimana menciptakan lapangan kerja di dalam negeri," kata Indra di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2014).

Menurut Indra, pola pikir pemerintah saat ini masih melihat buruh migran sebagai buruh kelas tiga. Berbagai masalah masih tak berpihak pada mereka, mulai dari undang-undang, anggaran, hingga masalah kelembagaan. "UU 39 masih lebih fokus pada penempatan, bukan perlindungan. Ini membuat buruh migran jadi seperti komoditas bisnis. Masalah anggaran kita untuk buruh migran juga tidak memadai. Masalah kelembagaan, masih ada tumpang tindih tanggung jawab," tutur politisi PKS ini.

Indra tak mempermasalahkan bila ada beberapa tokoh partai politik baik capres maupun caleg yang kemudian membantu Satinah atau TKI lainnya untuk meningkatkan citra mereka. Hal yang terpenting adalah Satinah selamat. "Kalau saya melihat begini, siapa pun yang membantu orang tertindas, yang penting dia diselamatkan," pungkasnya.

Sementara itu terkait perlindungan terhadap tenaga kerja, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak kepada Presiden SBY sebelum mengakhiri jabatannya untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang pembantu rumah tangga (RUU PRT).

Selain itu pemerintah juga didesak segera mrevisi undang-undang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UU PPTKI No 39/2004). Menurutnya dengan mengesahkan kedua rancangan undang-undang tersebut kasus-kasus seperti Satinah tidak akan terulang kembali di masa yang datang.

"Sekitar ratusan TKI di Timur Tengah khususnya Arab Saudi sudah masuk dalam daftar antrian tunggu hukuman pancung. SBY harus melakukan langakah-langkah Government to Government," kata Said, Jakarta, Kamis (27/3) kemarin. (dtc)

BACA JUGA: