JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR berencana membuat aturan agar para dokter tidak hanya menuliskan merek dagang pada resep yang diberikan tetapi juga kandungan obat yang dibutuhkan. Bila dokter tidak mencantumkan kandungan obat saat memberikan resep terhadap pasien, itu dinilai melanggar hak pasien untuk mengetahui serta memilih obat yang dikonsumsi.

Hal itu semua dilakukan agar pasien mengetahui kandungan obat apa saja yang dibutuhkan sehingga dapat lebih waspada akan obat yang menjadi pilihan untuk dikonsumsi. Hal itu juga dapat mengantisipasi pemilihan terhadap obat yang mungkin juga palsu.

Dalam bidang farmasi, suatu obat dikatakan aman jika memiliki khasiat yang diharapkan dengan risiko yang wajar, karena obat aman tidak berarti risikonya nol. Keseimbangan antara khasiat dan risiko suatu obat dapat dilakukan dengan memaksimalkan khasiat dan meminimalkan risikonya.

Selain itu, konsumen juga bisa memilih apakah akan menggunakan obat generik atau obat paten. Apabila kandungan obatnya diketahui, pasien bisa mengomunikasikan dengan apoteker tentang ketersediaan dan keaslian obat tersebut.

"Apoteker yang akan menjelaskan bahwa obat tersebut ada generiknya atau hanya impor, jadi pasien tidak langsung disodorkan merek obat mahal yang membuat kaget," kata Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf di Gedung DPR, Jumat, (22/7).

Ia juga menyatakan tidak ada perbedaan antara obat generik dan obat paten dari segi kualitas. Perbedaannya hanya obat paten adalah obat yang membayar royalti hak paten kepada penemu obat, sedangkan obat generik tidak membayar hak paten dikarenakan hak patennya sudah selesai sehingga dapat menggunakan turunannya sehingga harganya jadi lebih murah.

"Pemerintah kurang dalam mensosialisasi hal ini, sehingga pemahaman masyarakat menjadi salah kaprah. Padahal kalau masyarakat mengerti pasti akan memakai obat generik," tambahnya.

Kata dia, DPR berencana untuk membuat aturan penulisan kandungan obat pada resep, untuk memperbaiki tata kelola di bidang obat dan makanan.

PERKUAT BPOM - Dede juga menyetujui rencana agar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dipimpin oleh perwira polisi yang memiliki pangkat minimal bintang tiga. "Kami ingin kewenangan BPOM sama seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ungkap Dede.

Apabila BPOM memiliki posisi yang sama dengan BNN yang juga dipimpin oleh perwira tinggi polisi maka BPOM akan bertindak secara mandiri apabila ada pelanggaran di bidang obat dan makanan. Sebab selama ini BPOM hanya bisa melaporkan kepada polisi apabila ditemukan penyalahgunaan obat dan makanan. "Ini bisa menguatkan BPOM dalam penegakan hukum di bidang obat dan makanan," ujarnya.

Sedangkan Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, yang baru saja dilantik dua hari lalu, langsung melakukan berbagai gebrakan dalam visinya. Sadar BPOM seolah terpojok atas kasus vaksin palsu ini, Penny bertekad melakukan blusukan internal agar BPOM dapat bekerja lebih maksimal.

Selain itu, khususnya dalam menangani vaksin palsu, ia berjanji akan mengusahakan pengawasan yang lebih ketat atas distribusi vaksin. "Komitmen saya membangun sistem dan kerja sama yang lebih baik untuk tindak lanjut hasil pengawasan," kata Penny.

Ia pribadi sebagai seorang ibu turut prihatin dan bersimpati terhadap para keluarga dan korban yang diduga terkena vaksin palsu. Dirinya pun berjanji serta berusaha agar tak akan ada kejadian serupa terulang di kemudian hari.

Untuk itu, ia menyatakan perlu adanya perbaikan sistem terkait kewenangan BPOM dalam tata kelola aturan baik peraturan menteri maupun undang-undang. Sebab diketahui dalam Permenkes Nomor 35 Tahun 2014, kewenangan pengawasan obat di rumah sakit dan apotek berada di bawah dinas kesehatan, dan bukan oleh BPOM.

"Kami semua sudah sepakat untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan mitra lain. Beri saya waktu untuk membuktikan proses pengawasan itu akan kami lakukan," katanya.

Baginya, terdapat dua hal penting terkait pengawasan, yaitu kemandirian dan tindak lanjut dari hasil pengawasan itu sendiri. Kedua hal tersebut yang menurutnya juga masih lemah dan perlu diperkuat dengan dukungan penuh dari seluruh stakeholder termasuk presiden.

MAHALNYA OBAT - Akhir tahun lalu Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengkritik mahalnya harga obat di Indonesia yang membebani sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Beban JKN makin besar karena pemerintah harus menanggung obat-obat paten bermerek yang mahal.

Pemerintah pun bertindak dengan memunculkan paket kebijakan ekonomi XI yang salah satunya ditujukan untuk mendorong perkembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Pemerintah menyebutkan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan ini untuk menjamin sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka JKN dan mendorong keterjangkauan harga obat di dalam negeri.

Sebelumnya Deputi Bidang Usaha Agro dan Industri Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro mengatakan untuk mengurangi impor obat-obatan perlu adanya sinergi antar perusahaan BUMN, salah satunya membuat garam farmasi melalui kerjasama BUMN Farmasi dengan PT Garam (Persero). Selama ini garam farmasi yang digunakan oleh BUMN farmasi sebagai bahan baku obat dipenuhi dengan cara hampir 92 persen masih impor.

Garam farmasi ini paling banyak untuk cairan infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi gagal ginjal), dan banyak lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan shampo memerlukan garam farmasi.

Kontribusi seluruh perusahaan BUMN Farmasi hanyalah 5 persen untuk industri farmasi karena sudah banyak sekali perusahaan farmasi yang memberikan kontribusi. Sedangkan BUMN hanya menyokong sebagian ke sektor industri farmasi di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan.

Menurutnya, obat-obat yang beredar di masyarakat seperti jenis parasetamol dan obat generik, dalam mekanisme pembuatan obat tersebut banyak sekali jenis bahan bakunya. Namun untuk bahan-bahannya, BUMN farmasi masih belum bisa memproduksi, maka dari itu untuk memenuhi bahan-bahan dasar pembuatan obat-obatan diperoleh dari impor. BUMN farmasi membutuhkan kira-kira 6.000 ton per tahun.

BACA JUGA: