JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyak pihak kini mencurahkan perhatiannya terhadap nasib Satinah, TKI yang terancam hukuman mati karena didakwa telah membunuh dan merampok majikannya. Satinah bisa lolos dari hukuman mati jika membayar uang denda atau diyat sebesar 4 juta riyal atau sekitar Rp12 miliar. Sedang pihak keluarga korban di Saudi meminta agar Satinah membayar tebusan Rp21 miliar. Karena itulah banyak pihak kini berupaya menggalang dana untuk menebus nyawa Satinah dari tangan para eksekutor di Arab Saudi.

Salah satunya adalah Kementerian Luar Negeri dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.  "Saat ini upaya penggalangan dana terus dilakukan di dalam negeri untuk Satinah, dikoordinasikan dengan Kemlu dan Gubernur Jawa Tengah," demikian bunyi siaran pers Kementerian Luar Negeri, Selasa (25/3).

Uang diyat yang ada saat ini sejumlah 3 juta riyal diambil dari anggaran Kemlu, ditambah 500 ribu riyal dari asosiasi penyalur jasa TKI, serta 500 ribu riyal lainnya dari sumbangan dermawan di Saudi. Untuk sisa uang diyat lainnya, terus dilakukan pengggalangan dana. "Gubernur Jawa Tengah menggalang dana dari pengusaha, masyarakat dan pihak-pihak lainnya," tulis siaran pers Kemlu.

Lobi juga terus dilakukan kepada keluarga korban agar mau menerima diyat sebesar 4 juta riyal atau memberi waktu penundaan hukuman untuk melakukan penggalangan dana. Upaya eksekusi terhadap Satinah yang dipidana sejak 2006 lalu ini sudah tertunda 5 kali. Pemerintah melakukan lobi kepada ahli waris dan para tokoh di Saudi.

Presiden SBY juga sudah mengirimkan surat ke Raja Saudi. "Pendekatan secara kekeluargaan juga dilakukan, anak Satinah mengirimkan surat pribadi kepada ahli waris keluarga korban," tulis Kemlu.

Pemerintah sendiri juga sepertinya cukup berjuang keras menangani kasus ini. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlidungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur menegaskan, pemerintah telah memaksimalkan upaya penyelamatan Satinah. "Ini proses yang panjang dan kami telah melakukan seluruh cara," kata Gatot, Senin (24/3) kemarin seperti dikutip situs setkab.go.id.

Gatot yang sebelumnya menjabat sebagai Dubes RI untuk Arab Saudi itu menguraikan, upaya pemerintah yang telah dilakukan untuk membebaskan Satinah itu di antaranya dengan pendampingan dan bantuan hukum sejak kasus mulai disidangkan. Selain itu, juga upaya diplomatik, dimana pemerintah secara resmi telah meminta bantuan Kerajaan Arab Saudi, agar menurunkan hukuman Satinah sehingga bisa bebas asal mendapat maaf dari keluarga korban.

Ditambahkan Gatot, pada Februari 2014 lalu, ia mengantarkan sendiri surat yang ditulis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Raja Arab Saudi agar menyampaikan kepada keluarga majikan Satinah unutk menurunkan nilai diyat.

Sebelumnya, keluarga korban semula meminta diyat kepada Satinah senilai 15 juta riyal atau setara Rp45 miliar. Namun,  dengan berbagai upaya pendekatan pemerintah  kepada keluarga korban maupun upaya diplomasi, diyat itu turun menjadi 10 juta riyal, dan sekarang menjadi 7 juta riyal. "Kami mencoba terus mendampingi dan melakukan tawar-menawar agar nilainya dikurangi sesuai kemampuan," ungkap Gatot.

Melengkapi upaya tersebut, lanjut Gatot, Pemerintah juga telah memfasilitasi anak kandung Satinah, Nur Afriana, dan kakak kandung Satinah, Paeri Al Feri, bertemu dengan Satinah di Penjara Buraidah, Arab Saudi, sebanyak tiga kali.

Kehadiran Nur Afriana dan Paeri Al Feri di Arab Saudi itu, kata Gatot, selain untuk menjenguk Satinah, juga untuk melakukan upaya-upaya guna membebaskan Satinah dari eksekusi hukuman mati. "Salah satunya adalah dengan menuliskan surat pribadi dari anak kandung Satinah yang ditujukan kepada ahli waris korban, guna mengetuk hati keluarga korban agar bersedia memaafkan atas perbuatan salah dan khilaf yang dilakukan ibunya," kata Gatot yang saat itu ikut mendampingi anak Satinah menjenguk ibunya di Penjara Buraidah.

Gatot menambahkan, Pemerintah – dalam hal ini BNP2TKI bersama Kementerian dan Lembaga terkait pelayanan TKI lainnnya – kini juga tengah mengupayakan secara maksimal agar tak ada lagi TKI/WNI yang mendapat hukuman pancung.


Terkait penerapan hukum pancung di Arab Saudi itu, Kepala BNP2TKI menegaskan, bahwa hukuman itu memang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Namun Pemerintah RI terus berupaya, agar kasus pemancungan yang dialami TKI Ruyati jangan sampai terulang dikarenakan tidak adanya pemberitahuan terlebih dulu baik kepada keluarga TKI maupun kepada Pemerintah RI melalui perwakilan di luar negeri (KBRI maupun KJRI).

Sementara itu Wakil Menteri Luar Negeri Wardana mengatakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Buraidah, Arab Saudi, Agustus 2011, Satinah mengakui membunuh majikannya, Nurah binti Muhammad Al Gharib (70 tahun) berikut mengambil uang milik korban sebesar 37.970 Riyal atau setara sekitar Rp119 juta. Karena itu, Pengadilan Buraidah memvonis Satinah dengan hukuman mati mutlak (had ghillah).

Atas vonis tersebut, menurut Wardana,  pemerintah terus berupaya keras untuk membebaskan Satinah dari ancaman hukuman mati mutlak, lalu hukuman tersebut turun menjadi hukuman mati qishas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran uang darah (diyat).

"Dari upaya Pemerintah itu pula tenggat waktu vonis mati Satinah pada Agustus 2011 kemudian menjadi diperpanjang hingga 5 (lima) kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012, Juni 2013, Februari 2014, dan 5 April 2014," tambah Wardana seperti dikutip situs setkab.go.id.

Dijelaskan Wardana, upaya pembebasan Satinah dari ancaman hukuman mati mutlak menjadi qishas hingga diperpanjang sampai lima kali itu, di antaranya dengan melakukan penunjukan pengacara tetap, pendekatan kepada ahli waris korban dan tokoh-tokoh berpengaruh di Arab Saudi.

Disamping itu, juga telah dilakukan upaya diplomatik mulai dari tingkat Perwakilan, mengirimkan utusan resmi Pemerintah RI – hingga sebanyak lima kali yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014 – dan mengirim surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Raja Arab Saudi sebanyak dua kali, yakni pada Juli 2011 dan Februari 2014.

Menurut Wamenlu Wardana, keluarga korban semula meminta diyat kepada Satinah senilai 15 juta riyal atau setara Rp45 miliar. Namun,  dengan berbagai upaya pendekatan pemerintah  kepada keluarga korban maupun upaya diplomasi, diyat itu turun menjadi 10 juta riyal, dan sekarang menjadi 7 juta riyal.

Terkait diyat untuk Satinah itu, Wardana menjelaskan, pemerintah berupaya menggalang pengumpulan uang diyat sebesar 4 juta riyal atau setara Rp12 miliar, yang bersumber dari anggaran DIPA Kemlu 3 juta riyal, sumbangan perusahaan pengerah jasa TKI yang tergabung dalam Apjati sebesar 500 ribu riyal, dan sumbangan dari dermawan Arab Saudi sebesar 500 riyal.

"Uang sebesar 4 juta riyal itu sekarang sudah diserahkan kepada Baitul Maal di Buraidah yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh pihak keluarga majikan Satinah," kata Wardana.

Sementara Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Tatang Boedie Utama Razak menambahkan, terkait pengumpulan dana diyat untuk Satinah ini pihak Konsorsium Asuransi TKI sudah menyampaikan bersedia menyumbang 750 ribu riyal, namun hingga sekarang belum juga dilakukan.

Menurut Tatang, saat ini upaya penggalangan dana dari masyarakat untuk Satinah terus dilakukan di dalam negeri, yang dikoordinasikan oleh Kemlu dan Gubernur Jawa Tengah. Di samping itu, upaya pendekatan terus dilakukan kepada pihak ahli waris korban, antara lain agar bersedia menerima uang diyat sebesar 4 juta riyal itu, atau kembali menunda batas waktu eksekusi Satinah guna memberi kesempatan penggalanan dana diyat.


Meskipun waktunya semakin sempit, pemerintah akan terus berupaya melakukan pembebasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, Satinah binti Jumadi, yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Buraidah, Arab Saudi, dan akan menjalani eksekusi pada bulan April mendatang, jika negosiasi soal pembayaran uang pengganti atau diyat sebesar 7,5 juta riyal atau sekitar Rp25 miliar mengalami jalan buntu.

Menko Polhukam Djoko Suyanto sebagaimana dikutip www.presidenri.go.id  mengemukakan, pemerintah Indonesia terus melakukan negoisasi dengan keluarga korban pembunuhan Satinah agar bisa memberikan pemaafan, dan memberikan keringanan terhadap tuntutan diyat kepada keluarga Satinah.

"Pemerintah terus melakukan negoisasi agar hukuman Satinah dapat diringankan," kata Djoko Suyanto di dalam pesawat sesaat setelah lepas landas dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, menuju Yogyakarta, Senin (24/3) pagi.

Menurut Menko Polhukam, yang jadi kendala untuk memaafkan tindakan Satinah keluarga korban menuntut uang diyat atau tebusan sebesar 7,5 juta riyal atau sekitar Rp25 miliar. Padahal, pada kasus-kasus sebelumnya diyat paling besar adalah 1,5 juta riyal.

Djoko menjelaskan, dalam rapat-rapat dan pertemuan utusan-utusan pemerintah dengan keluarga korban, dilakukan negoisasi apakah layak permintaan uang diyat sebesar itu. Sebab, secara tradisional permintan diyat itu biasanya setara 100-150 ekor unta. "Harganya naik turun tapi kurang lebih Rp1,5 sampai Rp2 miliar," paparnya.

Menko Polhukam menilai, permintaan sebesar Rp25 miliar itu berlebihan --meski nyawa tak bisa diukur dengan harga. "Itu berlebihan dan bisa menjadi komoditi yang tidak pas, tidak bagus ke depannya," tegasnya.

Pemerintah meyakini masih terbukanya kemungkinan ahli waris dapat menerima tawaran sebesar  4 juta riyal itu, karena wakil ahli waris pernah mengindikasikan tidak keberatan untuk memaafkan. Sementara sebagian ahli waris lainnya terindikasi sedang mengalami kesulitan finansial sehingga membutuhkan uang diyat tersebut.

Meskipun ijin Raja kepada ahli waris untuk melakukan eksekusi sudah turun sejak 1,5 tahun lalu, pihak Kemlu menegaskan, hingga saat ini tanggal eksekusi Satinah sulit untuk diketahui secara pasti. Karena itu, proses negosiasi dengan ahli waris korban juga masih terus berlangsung. Semoga saja nasib Satinah bisa diperjuangkan dan kepedulian para pihak ini bukanlah kepedulian sesaat menjelang pesta demokrasi. (dtc)

BACA JUGA: