JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keputusan pemerintah melakukan moratorium (penghentian sementara) terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta dinilai tidak bakal menyelesaikan akar persoalan. Sebab moratorium reklamasi tidak menyelesaikan dampak lingkungan yang akan terjadi dengan adanya pengurukan 17 pulau reklamasi yang dilakukan secara masif.

Peneliti dari The Institut for Ecosoc Right Sri Palupi justru mengecam langkah pemerintah melakukan moratorium. Sebab moratorium tidak pernah menyentuh akar permasalahan yang ditimbulkan dari proyek reklamasi.

Sri menilai, selain potensi kerusakan lingkungan, juga terdapat persoalan sosial yang berdampak bagi nelayan untuk melaut di sekitar Teluk Jakarta. Menurutnya, karena persoalannya terdapat pada kerusakan lingkungan, penyelesaiannya tidak bisa sebatas administratif semata. Menjadi pokok masalah adalah bagaimana kerusakan lingkungan itu dapat diantisipasi.

"Kan jelas reklamasi itu merusak lingkungan dan penyingkiran terhadap nelayan," kata Sri kepada gresnews.com di Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Gotot Subroto, Jakarta, Jumat (20/5).

Dalam moratorium, pihak pengembang diminta untuk melengkapi dokumen dan syarat administratif yang menjadi masalah. Namun proses pelengkapan administratif itu, menurut Sri, tidak menjawab pokok persoalan dalam reklamasi.

"Kalau pertanyaan (kelengkapan administrasi) itu bisa dijawab seolah-olah sudah selesai persoalan," ujar Sri. Padahal, persoalannya bukan pada kelengkapan administratif tetapi pada kerusakan lingkungan dan ancaman bagi para nelayan.

Dia menilai, seolah-olah membuat kesalahan itu menjadi benar setelah dokumen itu dilengkapi. Dari cara pandang pemerintah itu, Sri menilai pemerintah tidak memiliki wibawa yang kuat saat berhadapan dengan korporasi besar.

"Menunjukkan lemahnya kewibawaan pemerintah di mata korporasi," terang Sri.

Sebelumnya, moratorium juga sempat ditolak oleh nelayan Muara Angke. Nelayan menduga moratorium hanya sebatas upaya meredam isu reklamasi yang tengah memanas belakangan ini.

Kebijakan moratorium reklamasi merupakan kesepakatan yang diambil oleh tiga kementerian yakni Menko Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Langkah penghentian sementara oleh pemerintah itu lantaran masih terdapat pelanggaran administrasi yang dilakukan pengembang saat melakukan izin reklamasi. Salah satunya, kelengkapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan keberlangsungan nasib nelayan yang menggantungkan hidupnya di area pengurukan pulau reklamasi.

MINTA DIHENTIKAN PERMANEN - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengeluarkan SK Nomor 356/Menlhk/Setjen/ Kum.9/5/2016 tentang Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan Pulau 2B (C), Pulau 2A (D) dan Pulau G serta Pembatalan Rencana Reklamasi Pulau 1 (E) di Pantai Utara Jakarta. Dalam SK tersebut, diputuskan dilakukannya perbaikan kajian prediksi dampak lingkungan.

Pulau G merupakan satu dari 17 pulau reklamasi yang diberikan izinnya kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land, oleh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). PT Muara Wisesa Samudra melakukan reklamasi seluas 160 hektare.

Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Moestaqiem Dahlan memandang upaya pemerintah mengenai persoalan reklamasi hanya "main-main". Pasalnya, setelah mengeluarkan SK Moratorium, aktivitas reklamasi masih tetap berjalan.

"Moratorium omong kosong. Stop permanen dan nelayan akan melakukan penanaman pohon mangrove di pulau reklamasi," ujar pria yang akrab disapa Alan ini kepada gresnews.com.

Alan menekankan, sudah jelas terjadi pelanggaran yang dilakukan korporasi, maka yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan. "Tangkal pelakunya, dan pemerintah stop investasinya," ungkapnya.

Menurut Alan, pemerintah berhak mengajukan gugatan pidana terhadap perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat ketentuan pidana bagi perusakan lingkungan.

Ia  justru menilai pemerintah tidak serius menangani kasus reklamasi tersebut. Menurutnya, seharusnya kedatangan Menko Maritim Rizal Ramli ke pulau reklamasi beberapa waktu lalu harus ditindaklanjuti dengan tindakan yang lebih maksimal dengan memberikan hukuman terhadap perusahaan yang nakal.

BACA JUGA: