JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana penggelontoran bantuan dana keoada partai politik (parpol) oleh Menteri Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sebesar Rp1 triliun ditanggapi beragam. Di satu sisi banyak pihak menganggap subsidi ini terlampau besar dan akan memperluas kemungkinan korupsi. Namun di sisi lain para elit partai amat bersemangat akan realisasi wacana ini dengan dalih mempersempit ruang gerak kader mencari uang di luar partai.

"Dulu, sebelum KPK dilemahkan, saya sangat setuju sekali wacana ini, tapi tidak untuk saat ini," ujar Uchok Sky Khadafi Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) kepada Gresnews.com, Sabtu (14/3).

Setelah KPK mengalami serangan bertubi-tubi lewat berbagai kasus yang bisa melemahkannya, dana Rp1 triliun dinilai dapat menjadi bancakan bagi parpol karena lemahnya pengawasan dari KPK. Selain itu, alasan menolak penggelontoran ini karena subsidi tersebut tidak digunakan untuk kepentingan rakyat.

Saat ini, partai bukanlah milik rakyat namun dimiliki pimpinan partai sebagai komisaris utama. Sehingga uang Rp1 triliun dapat jatuh ke tangan pemilik partai. "Untuk memberikan dana besar itu harus diperbaiki dulu manajemen partainya, dari partai keluarga harus menjadi partai milik publik," katanya.

Apalagi tak ada jaminan pemberian subsidi besar ini akan memperkecil tingkat korupsi para kader partai. Sebab walaupun partai sudah mendapat Rp1 triliun namun amat mustahil partai akan menggaji para kadernya. Sehingga kader partai tak mendapat apa-apa dan akan mencari "dana" lain untuk diri sendiri. "Mana mau kader partai hanya mengurus partai siang," ujarnya.

Apabila wacana ini tetap dilakukan, maka banyak program yang dilaksanakan tidak tepat sasaran. Misalnya, anggaran kaderisasi partai yang tidak ada jaminan keberhasilannya, karena partai kader biasanya senang lompat partai. Atau tentang pengelola anggaran partai yang masih kuno atau tradisional, dimana penerimaan satu partai kebanyakan tidak tercatat dalam pencatatan keuangan partai.

Ia mengkhawatirkan uang APBN banyak masuk ke kantong elit-elit partai daripada untuk kegiatan partai. Sebab, keuangan partai biasanya bisa dibelanjakan atas perintah elit-elit partai daripada mengikuti program yang sudah disepakati. "Tidak pantas subsidi ini diambil dari APBN, seharusnya partai didanai rakyat bukan oleh negara," kata Uchok.

Caranya, iuran sukarela dari rakyat dikumpulkan perbulan dan dimasukan ke dalam kas partai. Namun sayangnya elit dan pimpinan partai tak memiliki cara membangkitkan kesadaran rakyat agar dapat menyumbang secara sukarela. Sebab jika negara yang membiayai partai, maka pemimpin partai tetap dipegang oleh pemilik partai, dan akan menjadi warisan keluarga.

Mengenai usulan jika tetap digelontorkan subsidi dengan catatan dilakukan audit Badan Keuangan Negara (BPK) ia tetap memandang sinis. Pasalnya, BPK tidak bisa mengikuti semua pengalokasian anggaran sebesar itu. Apalagi ini menyangkut dana partai, ia menduga BPK tak akan berani mempublikasikan penyimpangannya.

Sebab orang-orang yang berada di BPK juga merupakan orang-orang partai. "Tak mungkin orang partai berani mengungkap anggaran partai mereka, istilahnya antar bus kota jangan saling mendahului," katanya.

Hal yang sama dikatakan Donald Fariz, dari Divisi Korupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW), menurutnya jika subsidi parpol mau ditingkatkan, maka harus mengacu pada peraturan yang ada. Berdasar PP No 5 tahun 2009 dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang partai politik, peningkatan subsidi hanya 10 kali lipat per rupiah suara sah dalam pemilu.

Saat ini, bantuan parpol dihargai Rp108 per suara sah dalam Pemilu sehingga peningkatan maksimal harusnya hanya mencapai Rp1.080 per suara. Jika ditotal jumlah perolehan suara hasil pemilu lalu sebanyak 122.003.667 suara, tahun 2015 ini pemerintah mengeluarkan Rp13,176 miliar untuk 10 parpol.

Maka dengan kalkulasi peningkatan tersebut jumlah dana parpol seharusnya menjadi Rp131,76 miliar. "Peningkatan Rp1 triliun itu tak ada dasarnya," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (14/3).

Jika dana parpol ini benar dikucurkan maka cara berpikir pemerintah dianggap sesat dan tidak tepat. Sebab secara bersamaan mengurangi subsidi untuk rakyat seperti BBM, listrik, dan gas dan malah menaikkan subsidi parpol secara tidak rasional. "Fiskal kita juga akan sulit karena harus menggelontorkan dana besar ke parpol di tiap periode, ini tak boleh direalisasikan," katanya.

Potensi korupsi juga masih dimungkinkan terjadi sangat besar karena pengelolaan anggaran parpol sangat buruk. Apalagi diketahui banyak kader politik yang terjebak korupsi, sehingga sama saja memberikan anggaran tersebut kepada kelompok yang secara data banyak melakukan korupsi. "Sehingga uang yang diberikan pun sangat mungkin dikorupsi," katanya.

Sebaliknya, Ketua DPR RI Setya Novanto menyambut baik ide  pembiayaan parpol di Indonesia, selama tidak merugikan rakyat. Terlebih, parpol di Indonesia banyak mengalami kendala soal pendanaan hingga tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya secara maksimal. "Cari jalan keluar yang terbaik agar semua partai bisa melakukan fungsinya, sehingga termasuk dalam hal kampanye sudah ada aturannya," katanya.

Bantuan dari pemerintah ini diharapkan bisa mengurangi praktik korupsi terkait pembiayaan politik sehingga parpol bisa menjalankan programnya. Sebab, dana parpol berkaitan dengan dana program dan dana rutin. "Pendanaan itu akan memudahkan, sehingga parpol konsentrasi untuk kepentingan bangsa ke depan," katanya.

BACA JUGA: