JAKARTA, GRESNEWS.COM - Walaupun menuai banyak penolakan dari publik, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tetap dijadwalkan melenggang ke rapat paripurna DPR RI pada hari ini. Beberapa poin revisi pun ditambah terkait kedudukan pimpinan KPK dan pemilihan dewan pengawas. Lalu apa pengaruh draft revisi yang baru ini terhadap tugas dari KPK?

Dalam rapat panitia Kerja (panja) yang digelar secara tertutup, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI akhirnya memutuskan penambahan revisi dalam UU KPK. Revisi ini pun berhasil diketok dan disetujui dalam pleno Baleg dengan komposisi hanya Gerindra yang menolak perevisian. Paripurna nanti akan mengesahkan usulan revisi menjadi inisiatif DPR, langkah selanjutnya DPR akan menunggu pemerintah mengirimkan surat Presiden.

"Ada 9 fraksi yang menyatakan setuju pembahasan dan 1 fraksi yang menolak. Dapat disetujui untuk diproses lebih lanjut sesuai mekanisme," ujar Ketua Baleg Supratman Andi Agtas di Gedung DPR RI, Senayan, Rabu sore, (10/2).

Secara lengkap, revisi menambahkan beberapa poin, yakni misalnya pada Pasal 32 dimana pimpinan KPK yang mengundurkan diri dilarang menduduki jabatan publik. Dalam Pasal 32 ayat 1 huruf c ditambahkan ketentuan pemberhentian tetap pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

"Pasal 37D, tugas dewan pengawas ditambah, dapat memberikan izin penyadapan dan penyitaan. Serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK," ujar Ketua Panja Harmonisasi Revisi UU KPK Firman Soebagyo dalam kesempatan yang sama.

Firman menyatakan dalam memberikan izin penyadapan dan penyitaan, harus melalui izin dewan pengawas agar langkah KPK dapat terstruktur. Namun poin ini bisa saja dikecualikan apabila KPK mendapati kondisi mendesak dan harus secepatnya melakukan penyadapan ataupun penyitaan, hal ini tertuang dalam Pasal 47A.

Dalam Pasal 37D, juga dijelaskan kewenangan memilih dan mengangkat dewan pengawas tak serta merta dilakukan presiden. Namun presiden membentuk panitia seleksi untuk menentukan susunan dewan pengawas. Pasal 37E, juga menambahkan ketentuan dimana anggota dewan pengawas yang mengundurkan diri dilarang menduduki jabatan publik.

"Menyoal Pasal 40 mengenai Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pemberian SP3 harus disertai alasan serta bukti yang cukup dan harus dilaporkan pada dewan pengawas," ujar Firman.

Namun SP3 ini dapat dicabut kembali apabila ditemukan hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan penghentian perkara. Selanjutnya dalam Pasal 43n ditambah ketentuan pimpinan KPK dapat mengangkat penyelidik sendiri sesuai dalam persyaratan dalam undang-undang ini, begitupun pada Pasal 45.

MENANTI SIKAP PRESIDEN - Menanggapi hal ini Koordinator Bidang Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyatakan langkah pengesahan revisi UU KPK masih panjang, sehingga DPR tak boleh merasa jumawa terlebih dahulu. "Jalan panjang masih harus dilalui revisi ini, belum tentu juga presiden menyetujui poin-poin yang ditambahkan," katanya kepada gresnews.com, Kamis (11/2).

Namun, ia menyoroti implikasi yang akan diterima KPK dalam upaya hukumnya, misal pada poin penggeledahan dan penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas. Ia khawatir langkah ini malah akan membatasi laju KPK, sebab info penggeledahan atau penyadapan akan terlebih dulu bocor.

"Nanti alat bukti bisa hilang, atau ada langkah lain yang malah menghapus bukti yang sudah ditemukan," ujarnya.

Apalagi, pemilihan dewan pengawas yang walaupun kini melalui tim yang ditunjuk presiden. Namun posisi ini amat riskan terhadap intervensi politik. "Kuncinya ada di dewan pengawas, apabila ditunjuk presiden, presiden diintervensi, jika ditunjuk DPR, kita tahu kualitasnya. Akan ada matahari kembar," katanya.

BACA JUGA: