JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi empat butir pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diduga memperlemah lembaga antirusuah ini menimbulkan reaksi dari masyarakat termasuk dari netizen. Ada sekitar 57 ribu petisi penolakan telah ditandatangani.

Koalisi masyarakat sipil antikorupsi kemarin menemui Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Perwakilannya, Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan revisi UU ini memang bukanlah isu baru. Namun, walau begitu terdapat hal menarik yang patut disorot.

"Dalam dokumen rapat antara Menkumham dan Komisi III tempo lalu disepakati revisi UU KPK dilakukan setelah revisi KUHP dan KUHAP," ujarnya di Gedung DPR RI, Senayan, Selasa (9/2).

Namun, sampai saat ini malah tak diketahui perkembangan dari revisi KUHP dan KUHAP, yang terjadi revisi UU KPK lah yang disegerakan. Donal menyoroti pada kewenangan penyadapan di KPK yang dalam revisinya harus melalui izin terlebih dahulu. Padahal di MK sendiri sudah diuji sebanyak dua kali dan konstitusional.

Poin selanjutnya pada penerapan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), berdasarkan KUHAP pengenaan ini mengacu pada tiga hal, yakni kurangnya alat bukti, diberhentikan secara hukum, dan meninggal. Ia pun menyatakan penyelidikan di KPK sangatlah menarik dan tak main-main. "Misalnya saja, di KUHAP penyelidikan baru menerangkan peristiwa atau tidak, di UU KPK sudah ada dua alat bukti. SP3 jadi titik rawan mafia hukum, itu kenapa UU KPK lebih maju," ujarnya.

Masalah lainnya soal adanya Dewan Pengawas KPK, apalagi lembaga ini dipilih oleh presiden. Tentu saja ini menjadi titik krusial lantaran bisa menyebabkan lembaga ini justru tidak independen. Presiden bisa aja diintervensi oleh kekuatan politik terutama dari partai pengusungnya.

Ia pun menegaskan jika ingin mendorong KPK yang kuat, maka seharusnya parpol di parlemen menolak revisi UU KPK seperti yang dilakukan Gerindra. Bukan malah seperti PDIP, justru ingin buru-buru merevisi setelah menjadi partai pemerintahan.

Terkait banyaknya petisi penolakan yang ditandatangani masyarakat dalam situs change.org, rekan ICW lain, Laola Esther menambahkan hal ini menggambarkan masyarakat paham benar tak ada urgensi merevisi UU KPK. Jika pun terdapat kekurangan di dalamnya, dapat dilengkapi dengan pembentukan SOP dan harmonisasi penegak hukum.

"Alangkah baiknya, dibuat peraturan di bawahnya saja. Kami khawatir tidak semua partai seperti Gerindra. Mungkin saja ada kepentingan lain yang kontraproduktif," katanya di tempat yang sama.

Ia menyatakan sudah tentu logis sebanyak 57 ribu petisi ditandatangani guna meminta DPR dan pemerintah menolak revisi UU KPK. "Kami minta Pak Supratman perwakilan Baleg mendengarkan. Kita ingin KPK yang lebih kuat," katanya.

KECEWA PADA PIMPINAN KPK - Menanggapi hal ini, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas tak bisa berbuat banyak. Pasalnya, Baleg hanya bertugas untuk mengharmonisasikan UU, sementara proses penentuan lebih banyak berada di rapat Panja dan Paripurna DPR.

Ia pun menyatakan kekecewaannya terhadap KPK yang malah seolah tak peduli dengan revisi UU yang menaunginya tersebut. "Kemarin kita sudah undang KPK, tapi sayang komisioner KPK hanya kirim surat dan deputi. Padahal draf dan naskah akademik sudah beredar di media dan koalisi masyarakat," ujarnya di tempat yang sama.

Padahal kesempatan tersebut dapat dijadikan momen memberi masukan untuk dijadikan bahan pengharmonisasian. Supratman menyatakan, kultur Baleg amat membuka diri, terbukti dari awal pembentukan panja diundur lantaran perkembangan yang menginginkan adanya masukan dari semua pihak.

Supratman pun menyatakan tak dapat mengintervensi kebijakan fraksi masing-masing, sebab mekanisme pengambilan keputusan berada pada fraksi. Namun, di luar baleg, dirinya yang merupakan kader Gerindra sudah mendapat mandat dari Ketua Umum Prabowo Subianto untuk menolak revisi.

"Kami akan usahakan negosiasi politik di baleg. Masih ada yang punya kepentingan sama. Pendapat saya bukan berarti di KPK tak ada kelemahan, tapi saya katakan revisi ini tak dalam momentum yang tepat," ujarnya.

Ditambahkannya, hingga kini sudah mulai terlihat ada fraksi-fraksi yang menerima revisi ini sejumlah 45 orang yang merupakan pengusul. Namun jumlah ini juga diimbangi dengan adanya 6 fraksi yang sudah menyatakan menolak, sisanya masih ada juga yang belum menentukan sikap.

"Mereka menolak atau menerima tergantung dari lapisan masyarakat Indonesia nantinya," katanya.

Golongan tersebut, misalnya saja Fraksi PKS yang masih mau mendengarkan masyarakat. Supratman juga setuju dengan Koalisi Masyarakat yang menyatakan pembentukan dewan pengawas yang diangkat dan diberhentikan presiden itu berbahaya lantaran rawan diintervensi.

"Akibatknya proses demokrasi lebih berbahaya karena Lembaga eksekutif dengan wewenangnya bisa melakukan move politik terhadap orang yang berseberangan," katanya.

BACA JUGA: