JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gemerlap pesta bernilai lebih dari Rp 350 miliar di Bali itu berlalu sudah. Tak terdengar lagi lalu lalang pesawat jet milik 21 kepala negara dari bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Namun tanpa disadari, pesta pora berlabel Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) yang dihadiri para pemilik negeri-negeri di kawasan Asia Pasific ini menjadi awal baru bagi penderitaan rakyat Indonesia.

"Semua yang dihasilkan dalam kesepakatan itu jadi bom waktu bahkan lebih dari itu," kata Musyafaur Rahman Peneliti Indonesia Economic Development Studies (IEDS) pada Gresnews.com, Selasa (22/10).

Saat APEC berlangsung Menteri Perdagangan Gita Wirjawan bahkan menyebut Indonesia mengajukan usulan baru terkait produk sawit (CPO) yang gagal masuk dalam daftar enviroment good list (EG list). Pemerintah Indonesia malah mengajukan dokumen Promoting Products with Contribute to Sustainable and Inclusive Growth through Rural Developmnet and Poverty Alleviation.

"Ini diterima karena lebih konseptual, mencakup empat parameter penting, yakni keberlanjutan, iklusivitas, pembangunan pedesaan, dan pembangunan pedesaan, serta pengentasan kemiskinan," kata Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, di Nusa Dua, Bali, Minggu (6/10).

Menurut Musyafaur semua itu hanya kebohongan besar yang ramai - ramai dilontarkan para pemrakarsa dan panitia acara itu. Bahwa APEC telah membawa sukses besar bagi langkah Indonesia ke depan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Dengan dalih usulan-usulan Indonesia disetujui oleh seluruh peserta APEC.

Ia menjelaskan dalam konferensi yang dihadiri 21 pemimpin negara dan 1200 CEO dunia menghasilkan 7 butir kesepakatan beberapa diantaranya yaitu melakukan percepatan terhadap Bogor Goals dan konektivitas antarnegara serta mendesak anggota APEC utamanya Indonesia sebagai Ketua sekaligus tuan rumah konfrensi yang bertemakan “Resilient Asia Pacific-Engine of Global Growth” untuk membuka keran perdagangan bebas sebesar-besarnya.

"Disinilah penderitaan itu tanpa disadari dimulai," ujarnya.

Sepintas keran perdagangan bebas akan memberi peluang yang luas kepada rakyat di negeri ini untuk bersaing secara global di pasar Internasional. Artinya ketika kita akan memasukkan barang kita ke luar negeri, maka bea masuk yang rendah dan kemudahan ekspor akan dinikmati oleh para produsen. Sebaliknya hal yang sama juga akan diterapkan terhadap barang impor dari negeri tetangga yang masuk ke republik ini.

Namun fakta yang sesungguhnya dan selama ini terkesan ditutupi dari ruang-ruang publik pada akhirnya akan berbicara. Ketika kedelai, cabai, bawang putih, daging, beras hingga garam yang dinikmati oleh sebagian besar ibu rumah tangga di negeri ini ternyata harus dipenuhi oleh negeri tetangga hingga negeri nun jauh di Amerika Selatan sana maka sudah jelas terlihat neraca perdagangan itu akan timpang. Dimana produk luar membanjiri pasar dalam negeri, sementara produksi nasional tidak mampu bahkan tidak mencukupi untuk menembus pasar internasional.

"Selama pemerintahan SBY gagal melakukan swasembada pangan," katanya.

Diluar itu, fakta lainnya yang ditutupi oleh para pemangku kekuasaan di negeri ini adalah produk-produk unggulan kita yang menghasilkan devisa dan berpotensi menyeimbangkan neraca ekspor-impor ternyata tidak mampu masuk dalam daftar barang yang menikmati keuntungan dari perdagangan bebas (EG list).

Dari 54 produk yang masuk daftar produk yang menikmati bea masuk 5 persen di APEC saja, Indonesia nyaris hanya akan menjadi target ekspor bagi negara-negara produsen. Sementara CPO dan Karet yang menjadi andalan agar bisa mendapatkan kemudahan dan masuk dalam daftar produk ramah lingkungan justru gagal diperjuangkan di forum APEC Bali.

Mungkin Presiden SBY, Menko Hatta Rajasa hingga Menteri Gita Wirjawan bisa berdalih bahwa mereka telah menanamkan awal yang baik dengan dibukanya kemungkinan pembahasan ulang di forum berikutnya. "Itu hanya tricky saja, dengan mengusulkan kategori baru, namun saya ragu itu kecil kemungkinan bisa berlanjut dengan pemerintahan baru dan mendag yang baru kelak 2015," ujarnya.

Menurutnya liberalisasi yang menjadi program sejak KTT APEC di Bogor pada 1994 hingga di Bali jelas sangat tidak berdasar dan tidak berkaca dari kemampuan dan kemandirian produksi yang dimiliki bangsa ini. Jargon dan slogan yang diulang-ulang oleh pemerintah hanya merupakan copy paste dari teriakan negara maju yang memiliki basis ekonomi kuat dan kemampuan produksi  mumpuni.

Masterplan Percepatan Pembangungan yang digaungkan oleh SBY melalui MP3EI dan menjadi dasar logika berfikir disetujuinya perdagangan bebas dengan diiringi pembangunan basis ekonomi dan peningkatan produksi dalam negeri justru hilang dan terlupakan. Hanya menjadi slogan kosong tanpa realisasi.

Faktanya setelah 20 tahun Bogor Goals dilahirkan, kondisi ekonomi Indonesia belum mampu menyiapkan diri menyongsong liberalisasi perdagangan yang kian mengglobal tersebut. Negeri Agraris ini sekarang sudah menjadi pasar bagi produk agraria negara lain dan menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor.
Republik yang memiliki tanaman sawit ratusan hingga jutaan hektar dan memiliki puluhan produk kretek ini juga gagal menjajakan barang dagangannya ke negara lain dengan berbagai alasan. Jika negara lain bisa menolak produk kita, bisa menolak program-program kemandirian yang menguntungkan buat rakyat kita, mengapa liberalisasi perdagangan, yang jelas-jelas menjadikan Indonesia pasar buat negara lain, jelas-jelas tidak menghasilkan keuntungan buat rakyat tapi justru menciptakan ketergantungan dan mematikan produksi dalam negeri justru kita telan mentah-mentah tanpa perlawanan.

Jangan-jangan ada keuntungan yang dinikmati oleh sekelompok atau segelintir orang saja yang saat ini jelas bisa dibilang menjadi juru kampanye negara-negara besar. Menjadi para komparador yang menjual rakyat negeri ini untuk kepentingan asing. Sadarkah kita?

(GN-04)

BACA JUGA: