JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus video porno yang diperankan anak di bawah umur beredar beberapa hari lalu. Hal ini kembali menjadi bukti pemerintah Indonesia lalai memberikan pengawasan dan perlindungan kepada anak. Hal ini juga terlihat dari minimnya anggaran dan program yang mendidik bagi anak.

Komisi VIII yang bermitra dengan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sangat menyesalkan hal ini kembali terjadi. Sebelumnya juga diketahui, Indonesia masuk dalam list negara yang menjadi tujuan sex child tourism. Apalagi dalam video tersebut digambarkan orang dewasa yang sengaja memberi perintah bagi anak-anak melakukan hal yang tak senonoh.

"Ini bukti perkembangan teknologi informasi khususnya digital telah disalahgunakan," kata Saleh Partaonan Daulay, Ketua Komisi VIII kepada Gresnews.com, Jumat (29/5).

Anak-anak di bawah umur saat ini sudah memungkinkan memakai handphone canggih untuk mengakses website yang tidak semestinya. Para orang tua pun dianggap ikut berperan dalam pengawasan yang kurang. Seharusnya peran keluarga harus diberdayakan guna meminimalisir hal-hal seperti ini.

"Terakhir ini juga akibat pemerintah yang kurang memberikan perlindungan kepada anak," katanya.

Ia kemudian mereview dalam beberapa waktu lalu terdapat kasus pelecehan yang menyeret sebuah sekolah namun pemerintah belum melakukan apapun hingga saat ini. Komisi VIII pun mendesak Menteri PPA untuk melakukan langkah konkret berkoordinasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian Sosial, Pendidikan, Agama, dan BKKBN untuk segera merumuskan langkah antisipasi dan mendapatkan penyelesaian.

"Saat ini program yang betul-betul terlihat dan dirasakan manfaatnya kan belum ada," katanya.

Bukti lain ketidakseriusan pemerintah memerangi kasus-kasus anak yakni pada anggaran yang dikucurkan kepada kementerian PPA hanya sejumlah Rp217 miliar per tahun. Dengan Rp12 miliar di antaranya dikucurkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Anggaran tersebut dirasa hanya cukup untuk belanja pegawai.

"Output lainnya tak ada, mulai dari anggaran harus dibesarkan agar programnya banyak," katanya.

Selain itu ia juga menghimbau bagi media televisi, lembaga sensor film, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih menyaring acara pertelevisian. Sebab banyak saat ini acara tersebut hanya mempertontonkan kekerasan, hedonisme, romantisme, khayalan, dan mistis. Hal ini tentu membuat perkembangan anak menjadi lebih cepat dewasa dibanding waktunya.

"Komisi VIII selalu kordinasi ke kementerian PPA, tapi setiap rapat mereka hanya asik buat seminar, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis, bukan kegiatan konkret," ujarnya.

Padahal hal tersebut dinilai tak memiliki arti lantaran hanya menghasilkan buku-buku teknis semata. "Lebih bagus mereka produksi animasi, saat hari anak nasional membuat lomba. Ini hanya setiap ada kasus beri statment, kan tidak benar itu," katanya.

Ditambahkan anggota Komisi VIII Hidayat Nur Wahid Indonesia sedang darurat pornografi. Tentu tak hanya sekadar dibutuhkan pernyataan-pernyataan mengecam namun menggerakkan. Semua stakeholder untuk sama-sama menangani dengan serius.

"Mereka yang betul-betul melakukan kejahatan anak apalagi menjadi dalang harus dihukum berat," katanya.

Ia juga mengusulkan terdapat aturan penyewaan playstation di tempat terbuka. Hal ini lantaran konten dalam game tersebut banyak yang menyiratkan kekerasan dan pornografi. "Kedua, kinerja Kemenkominfo dalam menerapkan UU ITE terkait pornografi harus dilakukan maksimal," katanya.

BACA JUGA: