JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada Serentak) baru memasuki tahap pendaftaran calon kepala daerah. Namun tensi politik di sejumlah daerah mulai memanas. Manuver calon kepala daerah agar bisa lolos ke tahapan berikutnya di beberapa daerah telah menimbulkan kericuhan. Diperlukan antisipasi keamanan agar kerawanan itu tak berkembang menjadi konflik.

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dalam rapat konsultasi gabungan bersama DPR,  Mendagri, Menkumham, KPU, dan Bawaslu di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu menjelaskan mengenai daerah-daerah yang rawan terjadinya konflik dalam penyelenggaran Pilkada Serentak di 269 daerah pada 9 Desember mendatang.

Kapolri membagi daerah-daerah yang rawan tersebut ke dalam dua kategori, yaitu rawan satu diantaranya Provinsi Riau, Sumsel, Lampung, Jabar, Sumbar, Babel, Banten, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Jambi, Kepri, Bengkulu, Sulut, Gorontalo, Sulbar, dan DIY. Daerah rawan dua terdiri atas Papua, Papua Barat, Sulsesl Malut, Maluku, NTT, NTB, Sumut, Jatim, Jateng, Bali, Kaltim, Kaltara dan Sulteng.

"Pembagian wilayah tersebut didasarkan kepada kelengkapan perangkat penyelenggara, sejarah konflik pemilu, konflik parpol, potensi konflik oleh calon yang akan maju, karakter masyarakat, dan potensi konflik di masing-masing wilayah," kata Kapolri saat itu.

KERICUHAN DAN PEMAKSAAN PADA KPUD - Analisis di atas kertas tersebut nampaknya mulai mendekati kenyataan di lapangan. Pada tahap pendaftaran calon kepala daerah ini baik pada gelombang pertama maupun gelombang kedua sudah mulai ditemukan kasus kekerasan yang dilakukan oleh pendukung pasangan calon dan pemaksaan calon kepala daerah kepada KPUD setempat.

Diantaranya terjadi di Kabupaten Manggarai Barat, pada detik-detik akhir penutupan masa pendaftaran calon kepala daerah. Pendukung salah satu calon melakukan perusakan kantor KPUD, karena Komisioner KPUD menolak pendaftaran calon jagoan mereka.  KPUD menolak pasangan calon Pranda-Paju karena dinilai tidak sah. Lantaran ada pengalihan dukungan partai politik dari satu pasangan calon kepada pasangan tersebut.

Komisioner KPU Sigit Pamungkas menjelaskan, sesuai Surat Edaran KPU Nomor 3 Tahun 2015, parpol yang mencalonkan salah satu bakal calon tidak boleh mendukung bakal calon lain setelah mendaftarkan diri ke KPU.

Dalam kasus ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebelumnya telah memberikan dukungan kepada pasangan calon lain sebelum mencabutnya dan balik memberikan rekomendasi kepada pasangan Pranda-Paju.

Akibat penolakan tersebut massa sempat melakukan perusakan kantor KPUD. Massa juga merusak barang-barang inventaris yang ada di ruang pendaftaran. Atas desakan massa itu akhirnya KPUD menerima pendaftaran calon kepala daerah tersebut, meskipun itu sebenarnya bertentangan dengan peraturan KPU. Menurut Sigit, pendaftaran tersebut terpaksa diterima karena alasan memprioritaskan keamanan. "Ketua dan anggota KPUD setempat mendapatkan ancaman," ujarnya kepada gresnews.com.

Kasus serupa juga terjadi di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Meskipun tidak terjadi perusakan kantor KPUD, namun diduga terjadi pemaksaan kepada anggota KPUD untuk menerima pendaftaran salah satu pasangan calon kepala daerah. Seperti kasus di Manggarai Barat. Pendaftaran calon ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kali ini Partai Golkar yang sebelumnya sudah memberikan dukungan kepada pasangan Ahyar Abduh dan Mohan Roliskana dan telah disahkan oleh KPUD, lantas erubah mendukung pasangan Salman dan Jana Hamdiana.

Pilkada Kota Mataram sebelumnya terancam akan diundur tahun 2017 mendatang, namun pada perpanjangan masa pendaftaran calon, ada satu orang pasangan calon yang mendaftarkan diri. Sehingga kini ada dua pasangan calon yang sudah terdaftar.

TANGGUNG JAWAB KPU - Terkait munculnya sejumlah permasalahan tersebut, menurut pengamat pemilu Said Salahudin, KPU harus bertanggung jawab. Said menilai aksi kekerasan dan protes yang dilakukan oleh pendukung pasangan calon tersebut disebabkan ulah KPUD yang menolak pendaftaran. Padahal seharusnya KPUD tidak boleh menolak pendaftaran karena alasan tidak memenuhi syarat.

"Seharusnya pendaftaran diterima dahulu. Ini kan baru tahap pendaftaran, belum masuk tahap penelitian kelengkapan dan keabsahan persyaratan. Antara tahap pendaftaran dan tahap penelitian adalah dua jenis tahapan yang berbeda dan masing-masing ada waktunya sendiri-sendiri," ujarnya kepada gresnews.com.

Said menerangkan, dalam tahap pendaftaran, KPUD seharusnya hanya bersifat pasif menerima pendaftaran partai politik dan pasangan calon, sebagai bentuk pelayanan. KPUD tidak boleh memeriksa persyaratan, apalagi langsung mengambil keputusan untuk menolak pendaftaran karena itu tindakan yang prematur.

Menurut Said, dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 secara tegas dibedakan antara tahapan pendaftaran yang diatur pada huruf d dan tahap penelitian persyaratan yang diatur pada huruf e. "Tempusnya pun sudah ditentukan berlainan oleh UU Pilkada. Tahap Pendaftaran dilakukan lebih dahulu selama paling lama tiga hari, sedangkan tahap penelitian pemenuhan persyaratan dilakukan paling lama tujuh hari setelah tahap pendaftaran. Jadi tidak boleh ada tumpang tindih dari dua tahapan yang berlainan tersebut," ujar Direktur Sinergi Masyarakat (Sigma) itu.

Data yang dihimpun Sigma,  aksi kekerasan dan protes terjadi di Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Gowa, Kota Pematangsiantar, Kota Pekalongan, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Poso, Kabupaten Aru, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Utara Kabupaten Selayar, Kabupaten Seram, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Kediri, Kabupaten Tojo Una-una, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi Tengah.

TANGGUNG JAWAB PARTAI POLITIK - Menanggapi tudingan tersebut, Komisioner KPU Ida Budhiarti justru balik menuding kandidat kepala daerah yang mendaftar tidak siap untuk memenuhi syarat-syarat pencalonan yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari oleh KPU. Menurutnya, KPUD sudah melakukan tindakan yang tepat bila melakukan penolakan atas pendaftaran yang tidak memenuhi syarat karena berdasarkan landasan hukum yang jelas.

Ida tidak ingin pihak penyelenggara selalu menjadi pihak yang dipojokkan dalam perkara ini, karena mereka hanya menjalankan undang-undang. "Kenapa KPU harus selalu menjadi pihak yang diharuskan memahami kondisi dari pasangan calon, seharusnya pasangan calon yang mempersiapkan diri dengan baik agar bisa memenuhi syarat pencalonan," ujar mantan Komisioner KPUD Jawa Tengah ini kepada gresnews.com.

Menghadapi tahapan Pilkada selanjutnya, Ida mengajak partai politik mengendalikan pasangan-pasangan calon yang diusungnya untuk taat terhadap undang-undang dan menjaga keamanan. Sehingga keamanan merupakan tanggung jawab bersama, tidak hanya dibebankan kepada kepolisian saja.

Politisi Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi mengakui ada derajat yang berbeda antara Pilkada dan Pilpres. Semakin ke bawah level pemilihan maka masalah perbedaan suku, agama, ras, budaya, stratifikasi sosial dan golongan maka derajatnya semakin tinggi.  Sehingga potensi konfliknya akan semakin tinggi pula.

Viva juga sepakat dengan Ida agar partai politik turut menjaga pasangan yang diusungnya. "Mengimbau kepada pihak kepolisian dibantu TNI dan Partai politik untuk menjaga konstituen dan pasangan calon untuk menyelaraskan diri dengan KPU agar berkompetisi secara sehat. Bukan sebagai lawan, tetapi sebagai kawan yang berkompetisi," ujar Wakil ketua Komivi IV DPR ini kepada gresnews.com.

UTAMAKAN KEAMANAN - Sementara itu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi mengingatkan Pemerintah, Polri dan KPU untuk mengutamakan keamanan. Menurutnya bila di Pilpres, ada indikasi terjadi letupan bisa segera dihentikan karena secara nasional sifatnya satu komando namun di Pilkada ada 269 daerah dengan kepentingan masing-masing yang berbeda.

"Jangan sampai ada letupan di satu daerah,  tidak siap untuk mengantisipasinya. Karena letupan di satu daerah bisa merembet ke daerah lain. Ini mempertaruhkan persatuan dan kesatuan bangsa," ujarnya kepada gresnews.com.

Didi mengingatkan di tengah kondisi ekonomi yang sulit ini jangan sampai dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menyulut keadaan dan menimbulkan gejolak.

Menurut Didi, Partai Demokrat sendiri sudah menekankan kepada pasangan kandidat kepala daerah yang diusungnya untuk bersaing secara sehat dalam Pilkada mendatang. "Demokrat meminta pasangan calon siap menang dan siap kalah, serta mengormati proses demokrasi yang ada," ujarnya

Untuk mengantisipasi daerah-daerah dengan potensi konflik tinggi, pengamat politik Nico Harjanto meminta kepolisan mulai sekarang sudah memulai mengidentifikasi aktor-aktor tim sukses masing-masing kandidat. Karena simpul-simpul massa  pasti ada yang menggerakan. "Bila terjadi gesekan bisa dengan mudah diredam untuk menenangkan massa di bawah," ujar Ketua Populi Center ini.

Nico juga menekankan agar komitmen siap menang dan siap kalah di sosialisasikan kepada kandidat kepala daerah. "Ini penting  pendukung tidak fanatik dan gelap mata, tetapi menjadi pendukung yang kritis. Supaya ketika pasangan yang didukung melanggar peraturan mereka bisa melakukan kritik dari dalam," pungkasnya.

Dalam pengamanan Pilkada serentak kali ini, Polri menggunakan skema keamanan yang berbeda pada masing-masing daerah yang sudah diklasifikasikan tingkat kerawanannya. Pola perbandingan yang digunakan yakni dua anggota Polri ditambah sepuluh linmas untuk menjaga lima TPS (klasifikasi TPS aman) . dua anggota Polri dan empat linmas satu TPS (klasifikasi TPS rawan I). Dua Polri dan dua linmas untuk satu TPS (TPS rawan II).

Secara keseluruhan Polri akan menerjunkan 135.263 personel yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota dan provinsi. Mabes Polri juga akan menerjunkan 3.929 personel yang akan dibagi ke dalam empat satgas bantuan.  Polri akan menyiapkan 44.750 personel, terdiri atas 29.150 personel polda yang di bawah kendali operasi (BKO) serta 15.600 personel satuan Brimob di jajaran Polda untuk menghadapi keadaan kontijensi. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: