JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rencana Koalisi Indonesia Hebat (KIH) untuk membentuk DPR tandingan sepertinya akan sulit terwujud. Pasalnya Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melantik dan mengambil sumpah pimpinan DPR dipastikan menolak permintaan KIH untuk melantik pimpinan DPR versi KIH.

Sinyalemen itu ditunjukan dari pernyataan Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun. Menurutnya sumpah jabatan untuk satu lembaga yang sama sudah tidak bisa dilakukan lagi. Gayus mengatakan, didasarkan perlunya acara sumpah jabatan untuk satu lembaga tidak bisa dilakukan lagi, kecuali ada keadaan baru yang menjadikan struktur baru untuk jabatan yang sama pada lembaga yang sama.

"Menurut logika saya, pelantikan hanya untuk satu kepentingan saja, yakni  berdasarkan keabsahan," kata Gayus kepada Gresnews.com, Kamis (30/10). Apabila kemudian ada perubahan secara sah, lanjutnya, acara penyumpahan baru bisa dilakukan ulang.  

Pernyataan serupa juga disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang, Muhammad Ali Syafaat. Menurut dia, pembentukan pimpinan harus dilakukan dalam rapat pleno dan harus kuorum sesuai Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). "Aturannya sudah jelas," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (30/10).
 
Dalam Pasal 84 ayat (1) UU MD3 disebutkan ´Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR´.  Ayat berikutnya menyatakan pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

Sementara bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Setiap fraksi dapat mengajukan satu orang bakal calon pimpinan DPR. Kemudian pimpinan DPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Ketika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR. "Hal ini sudah dilalui semua. Tidak bisa dengan cara membentuk sendiri, apalagi tidak memenuhi kuorum," jelas Muhammad.
 
Berikutnya Pasal 85 menyatakan, ´Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung´. "Saya yakin Ketua MA tidak akan bersedia melantik, dan seharusnya memang tidak melantik," tegasnya.
 
Sementara ketentuan pemberhentian diatur dalam Pasal 87 ayat 1 hingga ayat 6. Ayat (1) menyatakan ´Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan´.
 
Ayat (2) pada intinya menyatakan pimpinan DPR diberhentikan apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah atau janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya; f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini ; atau g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang -undangan.
 
Sementara ayat (3) menyatakan, ketika salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitive. Kemudian ayat 4 hingga 6 menyatakan, ketika salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, penggantinya berasal dari partai politik yang sama.
 
Sementara pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Ketika pimpinan DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pimpinan DPR itu  melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR. "Undang-undang itulah yang berlaku sekarang. Semua harus patuh walupun tidak setuju isinya," tegas Muhammad.
 
Pengajuan pimpinan DPR tandingan dilakukan KIH setelah Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai seluruh kursi pimpinan komisi. Sebab saat paripurna pembentukan Alat Kelengkapan Dewan dan Komisi, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki meninggalkan ruang sidang karena tak setuju dengan mekanisme yang dipilih pimpinan DPR yang dikuasai partai KMP.
 
Tidak terakomodasinya suara partai kelompok KIH, memicu kelompok ini membentuk DPR tandingan. Untuk landasan hukum pembentukan DPR tandingan itu, sebelumnya beredar wacana mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Perppu MD3). Alasannya UU MD3 telah menghambat mereka memperoleh kursi pimpinan DPR.
 
Namun Poliisi PDIP Aria Bima belakangan menyatakan  masih mencari payung hukum untuk pelantikan pimpinan DPR versinya. Terkait ide menggunakan Perppu menurut Aria hal itu hanya luapan-luapan emosi. Sehingga, KIH masih memikirkan cara agar persoalan DPR jangan masuk ke eksekutif. “Masih banyak yang memiliki akal sehat dan waras,” ujar Aria di DPR, Jakarta, Kamis (30/10).  

Menurutnya secara normatif, Mahkamah Agung (MA) yang akan melantik, tapi mengenai siapa orangnya, Aria masih mencari sosok MA yang mau melantik pimpinan DPR versinya. Menurutnya, yang terpenting pimpinan DPR versi KIH harus ada secara de facto terlebih dulu untuk menyelamatkan DPR.

KIH mengaku akan mengundang 560 anggota DPR untuk hadir dalam pelantikan pimpinan DPR versinya. Ia mengatakan KIH sudah mengkomunikasikan soal pelantikan ke sekretariat jenderal (Sekjen) DPR. Baginya, Sekjen DPR bukanlah Sekjen KMP tapi juga KIH. Sehingga KIH sudah meminta agar sekjen tidak pilih kasih dan memfasilitasi KIH dengan menyediakan gedung dan mengundang semua anggota DPR. secara tegas ia mengatakan agar jangan sampai sekjen melakukan politisasi.

Aria menegaskan langkah KIH membuat DPR tandingan merupakan proses politik di DPR agar tidak memacetkan proses DPR lima tahun ke depan. Ia khawatir pimpinan DPR KMP akan asal mengetok palu. Sehingga KIH tidak akan mengemis-ngemis pada KMP karena selalu meminta proses musyawarah mufakat.

Menurutnya, Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (30/10) telah dipersiapakan untuk meloloskan kepentingan KMP. Semenjak pimpinan DPR berasal dari KMP, KIH merasa tidak lagi memiliki hak untuk memilih. Sehingga pimpinan DPR hanya dijadikan alat saluran bertindak dengan sewenang-wenang untuk menggolkan keinginan pribadi dan kelompok serta menutup musyawarah mufakat.

Ia menjelaskan semua sikap politik yang dilakukan KIH merupakan bentuk respon dari anarkisme yang dilakukan pimpinan DPR karena melakukan keputusan sepihak. Menurutnya, proses yang dijalankan KIH untuk menjelaskan pada publik dan KMP bahwa mereka masih bisa menggunakan ruang.

Sementara  KMP sendiri belakangan menyusun pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Lembaga ini disinyalir buru-buru dibentuk KMP untuk menjegal laju pembentukan DPR Tandingan versi KIH. Munculnya DPR tandingan juga mulai menjadi target MKD.  Anggota MKD fraksi Golkar, John Kennedy menyatakan niat KIH membuat DPR tandingan, jelas melanggar tata tertib dan UU MD3.  

Menurut dia MKD akan menjadwalkan agenda yang harus ditanganinya. Persoalan adanya pimpinan DPR tandingan dari KIH juga akan dibahas dalam agenda MKD. Ia menjelaskan setiap pelanggaran etika akan masuk ke dalam delik pengaduan. “Tidak ada pengadunya pun kalau itu melanggar ketertiban dari dewan wilayah DPR, tanpa perintah pimpinan bisa ditindaklanjuti,” ujar John di DPR, Jakarta, Kamis (30/10). (Lilis)

BACA JUGA: