JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mundur. Munculnya polemik soal jabatan Wakil Direktur Utama PT Pertamina disinyalir menjadi pemicu tersendatnya pembahasan UU tersebut. DPR mulai mempertimbangkan pengaturan tentang jabatan jabatan khusus BUMN yang sebelumnya belum diatur, dalam pembahasan revisi UU BUMN.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah Zubir, Kamis (23/3) mengatakan ada perkembangan baru soal jabatan Wadirut PT Pertamina. Untuk itu DPR menganggap perlu ada aturan soal ada tidaknya jabatan wakil direktur  PT Pertamina di dalam strukturnya. Pasalnya, jika tidak ada aturan, jabatan wadirut rentan disalahgunakan kementerian sesuai dengan kepentingannya.

Dengan alasan itu, DPR sebagai pengawas pemerintah perlu memformulasikan fungsi pengawasannya saat pemilihan jajaran direksi BUMN.

"Kalau Semau-maunya diangkat, semau maunya juga dicopot. Makanya kita ingin mengatur," kata Inas kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.

Dalam menyusun Direksi Pertamina, awalnya pemerintah mengangkat Ahmad Bambang sebagai wakil direktur PT Pertamina. Padahal posisi wadirut tidak ada nomenklaturnya dalam kepengurusan Pertamina. Lalu, bersama dengan direktur utama Pertamina, Dwi Soetjipto keduanya dicopot melalui RUPS.

Terkait adanya penambahan jabatan dalam struktur Pertamina itu Inas menegaskan, dalam revisi RUU BUMN nanti akan dipertegaskan kembali bahwa jabatan wadirut PT Pertamina ditiadakan. Karena menurutnya, jabatan tersebut rawan disalahgunakan. "Dalam  RUU itu akan dipertegas tidak ada posisi wadirut Pertamina," ujar Inas.

Dia pun menepis anggapan bahwa seolah-olah DPR ingin mencampuri persoalan Pertamina. Menurut politisi Partai Hanura ini, DPR ingin menertibkan agar persoalan jabatan tersebut tidak digunakan secara serampangan sesuai kepentingan menteri.

Lebih jauh dia menuturkan, perlu ada pengawasan terhadap BUMN oleh DPR agar tindakan bongkar pasang terhadap jabatan seperti wadirut tidak digunakan sesuai kepentingannya. DPR, kata Inas, melalui fungsi pengawasannya bisa melakukan uji kelayakan  (fit and proper test)  terhadap calon Wadirut Pertamina.

"Kita punya wewenang untuk fit and proper test. Kita ingin atur itu termasuk nanti komisarisnya agar menunjang kinerja. Agar tidak bongkar pasang terus," imbuh Inas.

TAK PERLU DIMASUKKAN - Menanggapi pernyataan itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Ferdninand Hutahaean menilai langkah DPR untuk mempertegas  ketiadaan jabatan wakil direktur dinilai perlu pengkajian yang matang. Menurut Ferdinand, DPR tidak perlu memasukkan peniadaan jabatan wadirut dalam undang-undang.

Jabatan wakil direktur, imbuh Ferdinand, juga tidak ada tanpa undang-undang sekalipun. Bahkan dia mengusulkan agar jabatan itu dimasukkan saja meskipun tidak perlu diisi mengingat beban besar Pertamina yang sewaktu-waktu membutuhkan posisi wadirut.

"Justru harus dimasukkan ada untuk mengantisipasi beban besar Pertamina ke depan," kata Ferdinand kepada gresnews.com melalui pesan singkatnya, Jumat (24/3).

Dia khawatir, kalau wakil direktur dipertegaskan dengan tiada jabatan wadirut ke dalam UU dan saat pemerintah membutuhkan posisi tersebut tidak bisa dilakukan. Pasalnya telah diatur secara rigid dalam undang-undang.

"Saran saya tetap dibuat ada, namun pengisian jabatan itu hanya boleh diisi ketika dalam kondisi tertentu. Nah kondisinya yang diatur seperti apa sebagai syarat," tutur Ferdinand.

Terkait wacana DPR boleh melakukan Fit and Proper Test juga dikritisi Ferdinand. Dia menilai, proses perekrutan direksi BUMN baik Pertamina maupun BUMN lainnya tidak perlu campur tangan DPR secara langsung. Kualitas DPR yang menurutnya tidak baik juga akan membuat perekrutan nanti akan menjadi berdampak.

"Biarkan itu jadi domain pemerintah dan DPR cukup sebagai pengawas saja. DPR ini kualitasnya juga buruk tidak akan bisa menghasilkan yang baik," pungkas Ferdinand.

BACA JUGA: