JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Khusus RUU Pemilu, hari ini, Rabu (24/5) kembali akan menggelar rapat pembahasaan RUU Pemilu. Ada tiga kementerian yang diundang pihak pansus untuk membahas 6 isu krusial yang masih mengganjal, yang salah satunya adalah ambang batas suara parpol untuk bisa mengajukan calon presiden atau Presidential Threshold (PT). Ketiga kementerian yang diundang adalah Kemendagri, Kemenkeu, dan Kemenkum HAM.

"Perkembangan terakhir kita masih ada soal di RUU ini yang tertunda atau kita pending sehingga membutuhkan pengambilan keputusan. Ada 6 soal krusial yang di-pending dalam pansus, yaitu sistem pemilu, ambang batas parlemen, metode suara per kursi, presidential threshold, persyaratan parpol menjadi peserta pemilu, keterwakilan perempuan," ujar Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy, yang memimpin rapat.

Lukman juga menyampaikan 14 isu yang masih tertunda dalam Panja RUU Pemilu. Diharapkan, dalam rapat kali ini dapat diambil keputusan. "Kita selenggarakan rapat pansus ambil kesimpulan agar tim perumus dan Panja bisa melanjutkan rapatnya," ujar Lukman.

Sampai saat ini, ada 20 isu dalam RUU Pemilu. Rinciannya, 6 isu yang tertunda dalam pembahasan Pansus dan 14 isu yang tertunda dalam pembahasan Panja. Rinciannya adalah:

6 materi krusial yang pending dalam pembahasan Pansus:
1. Sistem pemilu
2. Ambang batas parlemen
3. Metode suara per kursi
4. Presidential threshold
5. Persyaratan parpol menjadi peserta pemilu
6. Keterwakilan perempuan

Terkait PT, saat ini memang menjadi salah satu isu yang paling panas diperdebatkan, terlepas para pakar hukum menjelaskan, persoalan PT tak lagi penting karena ada putusan MK untuk melaksanakan Pemilu 2019 secara serentak baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Partai-partai besar ngotot menetapkan PT di angka 20% sementara partai kecil dan partai baru minta di angka 0%. Sementara partai menengah mengajukan usulan di angka 5%.

Terkait hal ini, pengamat politik dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio menilai ada upaya partai besar untuk menghindari kompetisi dengan memperbesar presidential threshold. Partai-partai besar akan berusaha ´mengakali´ presidential threshold pada angka tinggi supaya partai-partai kecil ini merapat. "Mereka (partai besar) ingin partai-partai kecil merapat saja untuk mengecilkan kompetisi," kata Hendri kepada wartawan, Selasa (23/5).

Mestinya, kata Hendri, presidential threshold maupun ambang batas minimal partai boleh membentuk fraksi di DPR (parliamentary threshold) dihilangkan saja alias nol persen. Dia yakin partai-partai kecil yang tidak memiliki jago di Pilpres 2019 akan tereliminasi secara alami. Menurut dia, pada 2019 model kampanye partai akan lebih menonjolkan sosok calon presidennya. "Misalnya kalau mau si A jadi presiden, pilih partai kami," Hendri mengilustrasikan.

"Jadi, menurut saya, sebaiknya syarat minimal boleh mengajukan calon presiden dihilangkan saja karena menjadi tidak fair kalau tetap ada. Dan tidak adil juga bagi partai politik karena mereka ini kan naik-turun perolehan suaranya," papar Hendri.

PEMERINTAH MINTA 20 PERSEN - Pemerintah sendiri yang diusung oleh PDIP menegaskan agar PT ditetapkan di angka 20%. Hal itu ditegaskan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. "Mencalonkan presiden masak nol persen, kan harus dibuktikan dulu partai ini dapat suara atau tidak. Jadi kami sepakat tetap 20 persen," kata Tjahjo kepada wartawan di sela acara pembekalan kepala daerah terpilih di kantor BPSDM Kemendagri, Jalan Taman Makam Pahlawan Nomor 8, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (22/5).

Hal lain yang juga belum disepakati adalah soal sistem Pemilu 2019. Beberapa fraksi ingin sistem pemilu terbuka, ada juga yang menghendaki tertutup. Ambang batas partai boleh menempatkan kadernya di parlemen alias parliamentary threshold juga masih menjadi pembahasan alot. Pemerintah, kata Tjahjo, ingin agar parliamentary threshold 3,5 atau 4,5 persen.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengusulkan agar pengambilan keputusan terkait dengan RUU Pemilu tidak perlu melalui voting dalam pansus ataupun paripurna. "Kalau menurut saya, ini sebaiknya jangan divoting, perlu ada konsolidasi dulu karena ini menyangkut masalah tokoh atau presiden, penting, orang nomor 1 Indonesia, sehingga barangkali, semakin banyak pertimbangan menuju kesempurnaan tidak ada salahnya," ujar Taufik di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (19/5).

Seperti diketahui, ada empat fraksi yang menginginkan angka PT 20 persen, yakni PDIP, Golkar, NasDem, dan PKS. PKB mengusulkan jalan tengah di angka 5 persen. Sisanya masih ingin nol persen atau mengikuti angka ambang batas parlemen.

"Kalau calon yang sudah difilter sedemikian rupa oleh partai tapi bahwa tokoh itu kredibel, kapabilitasnya baik, itu sah-sah juga. Sehingga menurut saya, karena ini grey area, keputusan masing-masing parpol kita harapkan ini ketemunya ada di titik resultan itu," kata Taufik

Sementara itu, di luar masalah PT, dan beberapa isu krusial lainnya, Pansus RUU Pemilu sendiri sudah mencapai kesepakatan terkait sifat keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pansus memutuskan keanggotaan KPU dan Bawaslu pusat hingga kabupaten dan kota bersifat permanen.

"Hampir semua fraksi setuju bahwa KPU dan Bawaslu itu sifatnya tetap, tidak ad hoc lagi. Tapi intinya keputusan soal KPU dan Bawaslu itu, sudah tetap," jelas anggota Pansus Pemilu Supratman Andi Agtas sesaat setelah pengambilan keputusan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/5).

Sembilan fraksi menyetujui keanggotaan KPU dan Bawaslu permanen. Sementara, Fraksi PDI-Perjuangan menyetujui dengan catatan keputusan tersebut hanya berlaku hingga Pemilu 2019 saja. Sebaliknya, pada tahun 2024, F-PDI Perjuangan mengusulkan keanggotaan Bawaslu pusat hingga kabupaten dan kota bersifat ad hoc.

"Ini akan menjadi catatan, akan dimintai pendapat kepada fraksi-fraksi apakah usulan ini bisa diterima atau tidak, untuk menjadi catatan dalam pasal peralihannya," ungkap politisi yang juga menjabat Ketua Badan Legislasi (Baleg) itu.

Wakil Ketua Pansus Pemilu Ahmad Riza Patria mengatakan penguatan Bawaslu memang diperlukan terkait dengan penambahan kewenangannya. Sisi lain, hal ini ditujukan untuk memberikan kesetaraan posisi antara KPU dan Bawaslu. "Bagaimana mungkin KPU yang menjadi bagian pengawasan, tapi posisi Bawaslu sebagai pengawas itu ad hoc," tandas politisi dari F-Gerindra ini. (dtc)

 

BACA JUGA: