JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memilih jalur terjal dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Ahok maju sebagai calon gubernur melalui jalur calon perseorangan (independen) sekaligus memilih Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budihartono sebagai calon wakilnya.

Pilihan Ahok bertarung lewat jalur independen terus digaungkan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat lewat Relawan Teman Ahok yang menyiapkan administrasi persyaratan untuk mengusung Ahok. Pilihan Ahok pada Heru pun bukan tanpa alasan. "Saya mau kasih tunjuk bahwa stigma buruk PNS itu malas, enggak ada yang jujur, enggak kerja, itu salah," ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (23/5/2016).

Menurut Ahok, kepercayaan dari rakyat jauh lebih penting dari sekadar kemenangan dalam pilkada sehingga ia tetap memilih Heru. Ahok sadar memilih Heru tidak akan menambah jumlah pendukungnya sebab Heru bukanlah orang yang berkecimpung di ormas atau dunia politik yang memiliki massa.

Nama Heru juga sudah dimasukkan dalam formulir dukungan dari Teman Ahok. Dengan cara ini, Ahok berharap kepercayaan masyarakat terhadap PNS bisa bangkit lagi. "Kalau sudah enggak percaya sama politisi, sama politik, sama PNS, mau jadi apa negara ini? Karena itu lebih penting adalah kepercayaan," katanya.

Kendati Ahok sudah menegaskan maju pilkada lewat jalur independen, sejumlah partai pun mengajukan dukungan. Dua parpol yang lebih dulu menyatakan dukungan ke Ahok adalah Partai NasDem dan Hanura. Belakangan Partai Golkar menyusul, PDIP pun memberi sinyal positif.

Ketum Golkar yang baru, Setya Novanto, yang mengungkap dukungan kepada Ahok. Novanto menyebut Ahok sebagai sahabat. Ahok yakin Golkar pasti memberikan dukungan kepada dirinya.

"Ya, secara pribadi pasti dukung. Saya pun kayak teman lama. Dia buat desertasinya saja tentang saya kok. Secara pribadi (Setya Novanto) ya dukung," kata Ahok kepada wartawan di Gedung Balaikota DKI, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (23/5/2016).

Selain Golkar, PDIP yang sempat ingin mengusung Ahok pun mulai memberi sinyal positif. PDIP sempat diisukan kecewa karena Ahok menolak diusung dan hanya mau didukung. "PDIP sama Megawati juga oke. Tapi secara partai kan ada mekanismenya," kata Ahok.

KEGAGALAN FUNGSI PARPOL - Maraknya dukungan parpol pada calon independen seperti Ahok ini menarik perhatian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. Koordinator Kajian KIPP Andrian Habibi mengatakan secara yuridis memang tidak ada larangan bagi parpol yang mendukung calon independen.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi perhatian KIPP Indonesia untuk persoalan ini. "Pertama, jelas menunjukkan kegagalan fungsi parpol yakni kaderisasi dan rekrutmen kadernya," kata Andrian dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (24/5/2016).

Ia mempertanyakan atas fenomena dukungan parpol kepada pasangan independen bila boleh mencantumkan logo-logo di pendaftaran calon. Kedua,mempertanyakan apa fungsi Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menegaskan bahwa parpol atau gabungan parpol dapat mengusung pasangan calon gubernur, bupati dan walikota yang memenuhi syarat minimal 20% kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara dalam pemilu DPRD.

Sementara Pasal 41 UU Pilkada jelas menunjukkan bahwa calon perseorangan ketentuan syarat persentasi sesuai jumlah penduduk. Dukungan untuk calon perseorangan gubernur, bupati dan walikota ditunjukkan dengan fotokopi E-KTP, Kartu Keluarga, Parpor dan/atau identitas lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bila merujuk UU Pilkada, Pasal 40 dan 41 UU Pilkada hanya dengan dua cara mengusung calon kepala daerah yaitu melalui parpol atau gabungan parpol dan calon perseorangan atau dikenal dengan calon independen.

Menurutnya yang menjadi dilema politik saat ini adalah bagaimana ketentuan pasangan calon perseorangan yang didukung penuh oleh parpol atau gabungan parpol. Bukankah berarti calon tersebut sama saja dengan pasangan calon yang diusung oleh parpol atau gabungan parpol? Hal ini terkait dukungan Partai Nasdem dan Hanura kepada Ahok bahkan sebelum proses pendaftaran pasangan calon Gubernur DKI Jakarta.

"KIPP Indonesia menilai UU Pilkada sangat rapuh dengan ketegasan yang harus dipatuhi oleh penyelenggara dan peserta Pilkada," katanya.

Andrian juga mempertanyakan apakah parpol yang mendukung calon independen boleh berkampanye, mengkampanyekan calon tersebut. Misalnya dalam rapat umum dan rapat terbatas calon perseorangan yang melibatkan jurkam dari parpol pendukung perseorangan, pemasangan baliho ada logo parpol-parpol, poster-poster dan sarana kampanye lain untuk mensosialiasikan calon independen tersebut (kecuali masuk dalam Tim Kampanye/Pemenangan).

Pertanyaan ini muncul oleh karena selaras dengan pasal tentang dana kampanye dalam UU Pilkada. Khususnya Pasal 74 Ayat (3), yang menyebut: "Parpol atau gabungan parpol yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kab/Kota."

Sementara di sisi lain Pasal 40 UU Pilkada menegaskan yang memenuhi syarat minimal 20% kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan bahwa Parpol atau gabungan parpol dapat mengusung pasangan calon gubernur, bupati dan walikota suara dalam pemilu DPRD. "Hal ini menunjukkan kontradiksi dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu revisi UU Pilkada ke depan jangan sampai bias," ujarnya.

BACA JUGA: