JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keberadaan tiga "kartu sakti" Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menjadi polemik. Peluncuran Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sehat (KKS) beberapa waktu lalu oleh sebagian kalangan terlalu terburu-buru dan tidak dipersiapkan dengan baik.

Ketua Ombudsman RI Danang mengakui ada keteledoran pemerintah dalam meluncurkan tiga kartu yang menjadi andalan Jokowi ketika masa kampanye ini. Bahkan pengadaan kartu sakti itu menimbulkan mal-administratif karena terkesan tumpang tindih dengan beberapa program pemerintah yang sudah ada.

Untuk mengatasi hal itu, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenni Sucipto mengatakan perlu ada kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah. Agar pengadaan kartu itu tepat sasaran dan tidak menimbulkan over budget sehingga merugikan keuangan negara.

"Daerah menyesuaikan program yang sudah ada di pusat, agar tidak sia-sia. Kalau kita bilang perencanaan daerah harus terintegrasi. Jika pusat sudah diprogramkan, daerah tidak boleh diprogramkan," kata Yenni kepada Gresnews.com, Senin (24/11).

Tetapi, Yenni juga meminta Ombudsman menjelaskan secara rinci perihal pernyataannya tentang adanya kesalahan administrasi sehingga menimbulkan pemborosan anggaran. Agar masyarakat bisa mengetahui apa penyebab terjadinya hal itu.

Ia menjelaskan, kartu sakti hanya merupakan teknis dan implementasi dari sistem beberapa program pemerintah yang sudah ada. Sehingga, pemerintah seharusnya sudah bisa menghitung berapa jumlah masyarakat yang layak menerima program tersebut.

"KIS itu kan implementasi dari BPJS, KIP itu dari BOS, dan KKS itu dari PKH. Harusnya sudah ada kuota penerimanya. Ombudsman harus jelaskan dimana mal-administrasinya," ujar Yenni.

Ia mencontohkan, penerima BPJS saat ini berjumlah 86,4juta jiwa. Dan karena KIS merupakan implementasi, semestinya jumlah penerimanya juga tidak jauh berbeda. Jika jumlahnya bertambah, hal itu tidak menjadi masalah, asalkan para penerima memang tidak mendapatkan bantuan serupa dari pemerintah daerahnya masing-masing.

"Kartu sakti mengkover masyarakat diluar itu. Temen-temen Komisi Anggaran Independen (KAI) pernah dipanggil tim transisi membahas BPJS dan kartu sakti. Kartu sakti ini teknisnya bagian dari BPJS, dia bukan sistem, dia teknisnya," tandasnya.

Namun, Yenni menyetujui jika pengadaan kartu ini harus dikaji kembali. Hal itu dilakukan supaya tidak terjadi lagi kesalahan pendataan agar pengadaannya tepat sasaran dan tidak memboroskan anggaran. Kementerian Dalam Negeri harus bisa mengkoordinasikan dengan daerah supaya program ini tidak lagi diadakan di daerah.

"Kalau 2015 dianggarkan, Kemendagri harus koordinasikan dengan daerah agar tidak programkan ini. Bagaimana integrasi perencanaan dan anggaran, ini proses transisi, dan harus transisikan pusat dengan daerah. Gimana koordinasikan daerah dengan over budget," tutupnya.

Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dalam diskusi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa program "kartu sakti" ini mengakibatkan over budget atau pembiayaan ganda. "Kalau ini dibiarkan maka Bapak Presiden bersama seluruh jajarannya melakukan mal-adminsitasi, menerbitkan kebijakan yang mengakibatkan double anggaran dang mengakibatkan pemborosan negara meskipun visinya baik tapi harus benar-benar diperbaiki dulu," kata Danang di Jakarta, Sabtu (22/11).

Menurut data Ombudsman, ada sekitar 60 daerah yang memiliki program serupa dengan "kartu sakti" Jokowi, di antaranya DKI Jakarta, Solo, dan Bali. Setiap daerah, kata dia, menganggarkan dana Rp 70 miliar hingga Rp 80 miliar untuk program tersebut. Dengan besarnya dana yang dianggarkan tiap daerah itu, Danang memperkirakan pemborosan anggaran akibat peluncuran "kartu sakti" Jokowi juga sangat besar.

"Negara juga menerbitkan hal yang sama. Ini menjadi redunden (hal tidak berguna) yang tidak boleh diteruskan. Harus segera dihentikan mumpung belum sampai APBN 2015," tutur Danang.

Oleh karena itu, Danang meminta Presiden Jokowi untuk menertibkan kembali kebijakan di daerah yang serupa dengan program "kartu sakti". Ia menilai Jokowi sadar betul bahwa kebijakan "kartu sakti" yang diluncurkannya baru-baru ini tumpang tindih dengan kebijakan di daerah.

BACA JUGA: