JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peryataan calon presiden nomor urut 1, Prabowo Subianto yang menarik diri tidak bernilai hukum sebagai pengundurandiri. Pernyatan itu tidak mengubah status Prabowo sebagai capres. Sebab, mengunduran diri memerlukan konfirmasi berupa persetujan dari lembaga tertentu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) “Ungkapan tersebut hanya pernyataan secara verbal saja yang tidak bernilai hukum bahwa Prabowo telah mundur,” kata Pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis, kepada Gresnews.com di Jakarta, Selasa (22/7).


Menurut Margarito, pernyataan tersebut tidak mengubah seluruh keadaan hukum yang telah tercipta sebelumnya. Hal ini sekaligus menegaskan tidak berlakunya ancaman pidana Pasal 246 sebagaimana disebutkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal tersebut menyatakan "Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengSaksi capres Prabowo Rambe Kamarul Zaman (kiri) meninggalkan ruang Rapat Pleno Rekapitulasi Hasil Pilpres 2014, di Gedung KPU Jakarta, Selasa (22/7). Saksi pasangan capres Prabowo-Hatta keluar dari ruang rapat (walk-out) usai pidato Prabowoan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)".

Bantahan pengundurun diri Prabowo juga disampaikan anggota Barisan Muda Merah Putih yang juga Juru Bicara Partai Bulan Bintang (PBB), Teddy Gusnaidi kepada Gresnews.com, di Jakarta, Selasa (22/7). “Pak Prabowo tidak mundur dari pencapresan yang ada walk out dari pleno,” tegas Teddy.

Menurutnya, banyak pihak yang sengaja menyebarkan bahwa Prabowo mundur dari pencapresan yang berakibat masyarakat salah mengartikan.

Kenyataannya, kata dia, Pleno KPU sudah tidak lagi independen. Segala bukti dan fakta tidak diindahkan oleh KPU. Menyikapi hal itu, para saksi Prabowo keluar atau walk out dari Rapat Pleno Rekapitulasi KPU. “Karena sikap KPU dinilai tidak independen itulah yang memicu saksi-saksi Prabowo keluar dari pleno,” jelasnya.

Tidak independennya KPU, menurut Teddy bisa dibuktikan dengan diacuhkannya data-data dan bukti-bukti yang ajukan saksi Prabowo.

Sejatinya kata teddy, sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, KPU tidak boleh secara sepihak menafikkan fakta-fakta dari saksi, dan membenarkan data sendiri.“Walk out itu hak dari setiap orang ketika tidak puas dengan jalannya rapat. Anehnya hak setiap orang untuk menunjukkan sikap yang jelas dilindungi undang-undang kok malah dihina seolah-olah hal tersebut bukan hal yang terpuji,” tuturnya.

Ia menyayangkan, banyak pihak yang ‘menghina’ hak seseorang untuk bersikap, tapi melupakan substansi kenapa sampai pihak Prabowo keluar dari pleno. Dan sikap tim Prabowo melakukan walk out masih dalam tataran norma hukum.

“KPU sudah membacakan hasil perolehan suara secara nasional, Pak Prabowo sudah bersikap, maka mari hormati. Bukan dengan menjudge cara tim Prabowo adalah hina. Sementara pengganti SBY belum ditetapkan karena masih ada proses hukum,” tegas Teddy.

Sebelumnya, dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Rumah Polonia, Jakarta, Prabowo Subianto menyatakan menolak pelaksanaan Pilpres 2014 melalui lima pernyataan sikapnya. Penolakan ini merupakan hasil pertemuan pimpinan partai politik yang mengusung pasangan tersebut di Rumah Polonia, Selasa (22/7) siang.

Mereka menyatakan menemukan beberapa hal yang memperlihatkan cacatnya proses Pilpres 2014 sehingga hilang hak-hak demokrasi warga negara Indonesia.

Kelimanya adalah pertama, proses Pilpres 2014 bermasalah, tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai pelaksana, KPU tidak adil dan tidak terbuka, banyak aturan main yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU.

Kedua, Rekomendasi Bawaslu terhadap segala kelalaian serta penyimpangan di berbagai wilayah di Tanah Air diabaikan oleh KPU. Ketiga, Ditemukannya sejumlah tindak pidana kecurangan pemilu dengan melibatkan penyelenggara pemilu dan pihak asing dengan tujuan tertentu sehingga pemilu menjadi tidak jujur dan adil.

Keempat, KPU selalu mengalihkan masalah ke MK, seolah-olah setiap keberatan dari tim Prabowo-Hatta merupakan bagian dari sengketa yang harus diselesaikan di MK, padahal sumber masalahnya ada di internal KPU. Terakhir, telah terjadi kecurangan yang massif, terstruktur dan sistematik pada pelaksanaan Pemilu tahun 2014.

Atas pertimbangan tersebut, kubu Prabowo menyatakan menolak pelaksanaan Pilpres 2014 sebagai pengemban suara rakyat akan menggunakan hak konstitusional.

BACA JUGA: