JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai pasal yang dipermasalahkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam UU MD3 yakni Pasal 74 dan Pasal 98 ayat 5,6,7 memang mengancam sistem presidensial. Pasal tersebut menjadikan DPR mempunyai kuasa untuk menekan para menteri, pejabat eksekutif, bahkan menjebak presiden.

Dalam dua pasal tersebut dinyatakan pejabat pemerintah harus menjalankan keputusan rapat komisi maupun Alat Kelengkapan Dewan (AKD) lain. Jika tidak maka anggota dewan bisa mengajukan hak interpelasi, hak bertanya, bahkan permohonan ke presiden mengganti pejabat tersebut. ´´Pasal itu terlalu berlebihan dan mencampuri wilayah eksekutif dan warga negara. Mereka bisa dengan mudah memberi sanksi kepada siapa saja yang melanggar,´´ katanya kepada Gresnews.com, Senin (17/11).

Ia mengatakan soal sanksi kepada para menteri atau pejabat eksekutif nerupakan hak dari presiden. Sebab fungsi DPR hanya sebagai pengawas, legislasi, dan budgeting, sementara ketiga fungsi itu dipertanggungjawabkan pula kepada presiden. ´´Intinya, presiden yang bertanggung jawab, DPR tidak bisa ambil alih. Tapi, jika presiden mulai melanggar undang-undang barulah DPR bisa menggunakan hak-hak istimewa,´´ ujarnya.

Kedua pasal tersebut juga tidak berhubungan dengan penghapusan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) karena HMP maupun hak-hak istimewa DPR lainnya diatur dalam pasal yang berbeda. Sehingga walaupun kedua pasal tersebut dicabut, hak-hak istimewa DPR tetap melekat.

Hak-hak istimewa tersebut bisa digunakan kepada eksekutif terhadap keputusan penting dan strategis. Sehingga jika tak merasa penting dan strategis DPR diharap tak berlaku seperti eksekutif. ´´Yang penting urusan transparan. Misal ada menteri yang tidak datang berkali-kali himbau saja ke presiden dan presiden bertanggung jawab penuh,´´ ujarnya.

Legislatif yang terlampau masuk ranah eksekutif, menurutnya,  berakibat fatal pada sistem presidensial. Jika DPR bisa merekomendasikan memecat menteri atau pejabat eksekutif lainnya, namun presiden enggan melakukan, maka perpecahan legislatif-eksekutif akan terjadi. Padahal, DPR seringkali adu kuat walaupun rekomendasinya tidak masuk akal namun harus tetap dijalankan.

Sebelumnya dalam pertemuan dan perundingan antara kubu KIH dan kubu KMP dikediaman Hatta Rajasa, Pihak KIH menyampaikan keinginan adanya perubahan atas Pasal 74 ayat 3,4,5 tentang tugas DPR yang dinilai mengancam kedudukan presiden. Namun  Koordinator Koalisi Merah Putih (KMP) Idrus Marham menyatakan belum bisa memutuskan permintaan tersebut. Menurut  pihaknya harus membicarakan dulu permintaan kubu KIH yang ingin merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

Menurut Idrus awalnya memang kedua kubu telah sepakat untuk merevisi UU MD3 mengenai penambahan posisi wakil ketua di alat kelengkapan dewan. “Tapi teman-teman KIH ada pertemuan dan ada usulan baru ke kita tentang perubahan pasal 74 ayat 3,4,5 tentang tugas DPR, dan pasal 98 pasal 6,7, 8 tentang tugas komisi, sudah disampaikan ke kami dalam pertemuan di rumah Hatta Rajasa,” tutur Idrus beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu Idrus mengaku belum bisa memutuskan permintaan KIH. Sebab pihaknya harus melaporkan dulu kepada Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) selaku Ketua Presidium KMP.
Untuk itu ia mengatakan kesepakatan itu belum belum bisa ditandatangani.

Mengenai Pasal 74 UU MD3 itu yang berisi tentang hak menyatakan pendapat (HMP) menurut Idrus, sudah diatur dalam konstitusi untuk menjaga proses demokrasi. "Kalau kita kembali ke UU, hak-hak anggota DPR diatur UUD, terutama hak interpelasi, angket, dan hak menyatakan pendapat diatur UU MD3 ini, karena itu telah diatur UUD tentu komitmen kami harus dilaksanakan sesuai proses demokrasi dan proses presidensial,” katanya.

Meski demikian, Idrus belum bisa memberikan keputusan apaka permintaan KIH akan ditolak atau diterima oleh KMP. Idrus mengaku akan menyerahkan sepenuhnya kepada Presidium KMP yang terdiri dari Ical, Prabowo Subianto, Hatta Rajasa.


BACA JUGA: