JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pemindahan Ibukota Indonesia, DKI Jakarta ke luar Jawa kembali bergulir. Wacana tersebut kembali muncul lantaran banyak yang menilai Jakarta sudah tak layak menjadi ibukota negara karena terlalu banyak permasalahan.

Beberapa permasalahan bahkan sudah kronis seperti kemacetan, banjir, dan krisis air bersih. Jakarta juga punya permasalahan daya tampung penduduk yang mengakibatkan secara sosial selalu dihadang masalah kriminalitas. Belum lagi, Jakarta kerap jadi daerah tujuan urbanisasi.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Tadjuddin Noer Effendi mengatakan, saat ini Jakarta menghadapi dua persoalan demografi. Pertama, distribusi penduduk yang timpang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik di tahun 2014, menunjukkan, jumlah penduduk yang tinggal di Jawa mencapai 57 persen padahal luas wilayahnya hanya 6,6 persen dari luas Indonesia. Sementara penduduk Indonesia bagian timur hanya mencapai 20 persen, meski luas wilayahnya hingga 72 persen dari luas Indonesia.

Kedua, adanya ketimpangan kepadatan penduduk yang ekstrem. Kepadatan penduduk Jakarta mencapai 15.015 jiwa per kilometer persegi. Padahal, luas wilayahnya hanya 664 kilometer persegi atau 0,03 persen dari luas Indonesia.

Ini sangat timpang jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Sulawesi, Kalimantan dan Papua yang rata-rata masih di bawah 100 jiwa per kilometer persegi. Apalagi Papua yang luas wilayahnya sekitar 22 persen dari luas Indonesia tetapi kepadatan penduduknya hanya 9 jiwa per kilometer persegi.

Tadjuddin menilai, persoalan demografi akan membawa implikasi ekonomi dan sosial. Investasi penanaman modal asing maupun dalam negeri akan terus terkonsentrasi di Jawa. Investor cenderung akan memilih daerah dengan potensi pasar yang baik serta memiliki ketersediaan tenaga kerja untuk menanamkan modalnya.

Kondisi ini lambat laun menciptakan ketimpangan dalam pembangunan. Kemudian, perputaran uang masih terpusat di Jawa, khususnya Jakarta. Dia memperkirakan sebanyak 60 persen sampai 70 persen uang yang beredar di Jakarta.

"Jadi mau sampai kapan di Jakarta pembangunan terus berlangsung ? Sementara daya dukung terutama lingkungan sudah tidak lagi memadai," kata Tadjuddin dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jakarta, Senin (24/8).

Dia mengungkapkan, untuk implikasi sosialnya, sebagai pusat utama kegiatan ekonomi ternyata angka kemiskinan Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan dengan kota dan desa di Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan persentasenya, di Jakarta sebesar 3,7 persen, masih tergolong lebih rendah dari persentase di kota yaitu 8,5 persen, di desa 14,4 persen bahkan di Indonesia secara nasional mencapai 8,5 persen.

Tadjuddin meminta kepada pemerintah agar memikirkan bagaimana cara mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta. Jika dulunya, pemerintah memiliki program transmigrasi maka program tersebut dinilai bukanlah solusi. Bahkan sudah hampir lima abad, program tersebut berjalan, dampak bagi berkurangnya penduduk di Jakarta tidak ada sama sekali.

"Seharusnya program bagi anak-anak muda yang memiliki keterampilan untuk menambah kekurangan sumber daya manusia di daerah-daerah. Mereka dilatih untuk mengembangkan industri kreatif," kata Tadjuddin.

KOTA ALTERNATIF PENGGANTI JAKARTA - Sebenarnya, sejak era Presiden RI pertama, Soekarno atau lebih dikenal dengan sapaan Bung Karno, pemerintah sudah mewacanakan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Wacana itu sempat dimunculkan kembali oleh mantan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri. Alasan Mega adalah, beban Jakarta sudah terlalu berat.

Wacana itu sempat juga didukung oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (ketika itu), Andrinof Chaniago. "Sekarang saatnya bagi kita membayangkan kira-kira beban Jakarta dalam 25-50 tahun ke depan dari sekarang akan seperti apa?" kata Andrinof saat itu.

Andrinof menyebut, untuk benar-benar merealisasikan wacana itu perlu dilakukan kajian yang lebih dalam dan komprehensif. Selain memiliki lahan yang luas, daerah tersebut harus bebas dari tangan-tangan spekulan alias sebagian lahan harus terlebih dahulu dikuasai negara agar pembangunan kota berjalan sesuai.

"Dari sisi Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan-red)juga harus dihitung tingkat risiko banjir dan jaminan ketersediaan air bersih. Kita berharap jika wacana pemindahan ibukota itu terwujud, diharapkan ke depan bisa menjadi tumpuan dan landmark baru di Indonesia," kata Andrinof.

"Semua opsi masih terbuka untuk dikaji bersama. Prinsipnya Bappenas sejalan dengan gagasan visioner Bung Karno untuk pemindahan ibukota ke luar Jawa," pungkas Andrinof.

Selain Palangkaraya, kota lain yang menjadi alternatif pengganti Jakarta adalah Sampit atau Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat (Kobar), di Kalimantan Tengah. Bupati Kobar Ujang Iskandar pun menilai Adrinof memiliki alasan kuat atas wacana tersebut.

"Saya terkejut juga Pak Adrinof bilang begitu. Saya rasa beliau menyampaikan itu tidak asal. Pertimbangan dia, Pangkalan Bun kan datarannya tinggi flat jadi kalau dibangun biayanya lebih murah," ungkap Ujang di Pangkalan Bun, Kamis (16/4) lalu.

Meski masih harus mendapat ´polesan´ agar layak untuk dijadikan ibukota negara, wilayah Kobar yang cukup luas dinilai Ujang sudah bisa memenuhi syarat. Terutama karena di daerahnya populasi warga belum begitu banyak.

"Luasnya Kobar 20 ribu kilometer persegi. Populasi kami baru 2,5 juta orang. Itu dapat mengurangi kepadatan penduduk di Jawa. Kalimantan yang paling dekat Jawa itu kan ya di Pangkalan Bun sini, cuma 65 menit dari Jakarta," kata Ujang.

"Kami punya laut, ada bandara yang bisa didarati Boeing. Pesawat Kepresidenan juga bisa landing kemarin waktu Pak Jokowi datang ke sini," sambungnya.

Apalagi, kata Ujang, Jokowi akan membangun Pelabuhan Samudera di Kobar dan kini sudah pada tahap pembebasan lahan. Di pelabuhan itu nantinya juga akan dibuat kawasan industri sehingga dapat menunjang perekonomian.

"Kami juga akan buat bandara baru. Tahun ini Amdal akan selesai, kami sediakan 2.500 hektare. Runway-nya 3.000 meter. Kami yakin Bandara ini bisa backup Bandara Soekarno-Hatta ke depannya, 10-15 tahun lagi lah. Implikasinya bisa luar biasa bagi Kalteng," tutur politisi Gerindra itu.

ISU MENDESAK - Wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Tengah dinilai sangat mendesak. Dalam lima tahun kedepan, disarankan ide ini sudah segera direalisasikan. Alasannya pembangunan infrastruktur transportasi, jalan hingga air bersih sudah tidak mampu mendukung laju pertumbuhan penduduk dan pemukiman di Jakarta.

Selain itu, pembangunan kota baru sebagai calon ibukota RI diproyeksikan akan memeerlukan waktu 10 tahun. Meski begitu, seperti diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, perencanaan pemindahan ibukota harus dilakukan secara baik.

Alasannya rencana yang kurang matang bisa memicu permainan harga tanah. "Isu ibukota di Palangkaraya. Belum-belum, harga tanah naik. Orang Jakarta sudah borong," sebutnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Yeremias T. Keban menilai, Jakarta tidak lagi dipandang sebagai satu kota yang berdiri sendiri. Jakarta sudah merupakan bagian dari kota metropolitan yang lebih luas. Selama ini pilihan kebijakan pembangunan selalu bias ke Jakarta (Jakarta-biased).

""Pilihan kebijakan ini meningkatkan peredaran uang terbesar di Jakarta sekaligus dominasinya terhadap kota maupun daerah-daerah lainnya di tanah air. Maka, kebijakan investasi dan fiskal harus ditata kembali untuk meratakan kesempatan kerja sekaligus distribusi penduduk yang lebih baik,"" kata Yeremias.

Yeremias menambahkan, wilayah seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) sangat potensial menjadi daerah penyangga karena letaknya yang dekat. Commuting atau mobilitas penglaju dari luar Jakarta ke Jakarta pun sudah menjadi gejala umum.

Maka, perlu ada kerja sama antardaerah penyangga dalam menangani persoalan Jakarta, seperti banjir. "Dalam hal ini, pemerintah pusatlah yang harus maju mengambil peran," kata Yeremias.

ADA TIGA OPSI - Pengamat Ekonomi Firmansyah mengatakan, ada tiga opsi jika ibukota negara di pindah di luar Jakarta. Opsi pertama, tidak ada perubahan namun perlu perbaikan infrastruktur agar permasalahan di Jakarta dapat teratasi.

Opsi kedua, memindahkan ibukota dengan membuat ibukota yang baru. Opsi ketiga, dengan cara split ibukota yaitu dengan membedakan antara ibukota bisnis dengan ibukota pemerintahan.

Menurutnya jika opsi pertama dilakukan perbaikan infrastruktur secara menyeluruh, pada realisasinya juga tidak sederhana dan perlu memakan waktu. Kemudian untuk opsi kedua, untuk memindahkan ibukota Jakarta ke tempat lain akan memakan biaya tidak kecil, sehingga perlu konsensus nasional tidak hanya tingkatan eksekutif tapi juga parlemen.

Opsi ketiga, untuk ibukota bisnis tetap di Jakarta sedangkan untuk ibukota pemerintahan bisa dicarikan tempat lain.

Firmansyah mengaku dirinya lebih cenderung untuk opsi ketiga dikarenakan negara-negara maju seperti Malaysia, Maroko, Korea Selatan, Australia dan Amerika Serikat mengikuti metode pembedaan dua ibukota yaitu ibukota bisnis dan ibukota pemerintahan.

"Opsi ketiga mungkin yang feasible," kata Firmansyah.

Menurutnya untuk memindahkan ibukota membutuhkan waktu lebih dari tiga tahun bahkan berganti-ganti Presiden karena pemindahan ibukota bukan seperti memindahkan gedung tetapi para pegawai negeri sipil dan perlunya perancangan tata ruang kota. Untuk tata ruangnya juga pasti akan menimbulkan permasalahan karena pemerintah pusat harus berkoordinasi kepada pemerintah daerah yang sudah menetapkan tata ruangnya.

"Di sana (Daerah) juga ada Bupati dan Gubernur, kan mereka sudah menetapkan tata ruangnya jadi perlu diskusi dengan Pemda," ujar Firmansyah. (dtc)

BACA JUGA: