JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya benar benar merombak kabinetnya, kemarin. Ia melengserkan lima menteri lama, mengeser dua menteri, dan memasukkan empat wajah baru. Mereka yang dilengserkan adalah Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdjiatno, ‎Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, serta Menteri Perdagangan Rahmat Gobel.

Sementara wajah baru yang masuk kabinet Jokowi adalah Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman, Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan dan Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet.

Jokowi juga menggeser kedudukan sejumlah pembantunya seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang menduduki posisi Kepala Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam. Sementara Sofyan Djalil yang semula sebagai Menko Perekonomian digeser sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Namun pergantian kelima menteri tersebut dinilai belum mampu menjawab persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Sebab meski sejumlah nama senior muncul dalam reshuffle kemarin, posisinya hanya sebagai Menteri Koordinator (Menko). Sementara Menko bukan pemegang kendali terhadap kebijakan di masing-masing kementerian.

Dari nama-nama yang masuk ke dalam jajaran kabinet kerja tersebut, terdapat empat kementerian di bidang ekonomi yang berganti posisi. Pergantian ini digadang-gadang sebagai upaya pemerintah untuk memperbaiki kinerja dan pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat.

Namun bagi peneliti Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng, reshuffle kali ini justru dianggap tidak menyentuh inti masalah ekonomi yang tengah dihadapi Indonesia, sehingga reshuffle tidak akan terlalu berpengaruh bagi perbaikan ekonomi Indonesia ke depan.

Selama sepuluh bulan masa pemerintahan Presiden Jokowi, inti (core) masalah yang dihadapi ada pada sektor keuangan, sektor energy, mengakselerasi kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan dan infrastruktur.

"Reshuffle ini setengah hati karena bukan pada core masalah yang dihadapi," ujar anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini kepada gresnews.com . Menurutnya, Menko tidak akan bisa berbuat banyak, karena Menko bukan pengambil keputusan langsung.  Apalagi antarmenteri tidak ada urusan dengan Menko, semua berjalan sendiri-sendiri. Sebab Menko ini sifatnya koordinatif bukan perintah. "Saat ini yang diperlukan adalah direction bukan coordination,"  tegasnya.

Menurut Daeng, seharusnya Presiden jokowi lebih memilih menteri-menteri yang mengerti benar inti masalah dan mengerti benar soal visi dan misi presiden di bidang ekonomi. Selama ini orientasi kebijakan makroekonomi dari Kabinet Kerja ini jelas tertera di dalam konsep Trisakti dan Nawacita, namun bermasalah dalam merealisasikannya di lapangan. "Pemerintah tidak mengerti cara merealisasikan keinginan tersebut," tambahnya.

FIGUR YANG TEPAT - Namun pandangan berbeda disampaikan Direktur Riset Centre Of Reform on Economics (CORE)  Indonesia, Mohammad Faisal. Menurutnya, langkah yang diambil Presiden Jokowi sudah tepat untuk memperbaiki kinerja ekonomi pemerintah yang lambat.

Faisal mengatakan menteri-menteri strategis di bidang perekonomian baik itu Menko Perekonomian maupun Menko Kemaritiman itu diisi figur-figur yang sudah bepengalaman di birokrasi dalam waktu panjang. Memiliki senioritas dalam kapasitas dan pemahaman soal permasalahan ekonomi Indonesia. Serta ditambah dengan kepemimpinan (leadership) yang kuat.

"Itu yang dibutuhkan pemerintah agar dapat bergerak cepat. Selama ini kita melihat menteri yang sebelumnya lambat. Untuk kerja cepat ini dibutuhkan figur yang kuat dan cerdas dan berpengalaman. Karena dia akan menggerakkan personel yang ada di bawah koordinasinya. Baik hubungan dengan lintas kementerian dan pelaku usaha," ujar Faisal kepada gresnews.com.

Ia menuturkan, kunci permasalahan yang dihadapi bidang ekonomi pemerintahan Jokowi adalah koordinasi antarkementerian. Sebab, secara teknis itu sebetulnya sebagian menteri cukup menguasai bidang yang dia pimpin. Tapi ketika mereka berkoordinasi dengan kementerian lain sangat lemah.

"Karena itu kita butuh figur Menko yang kuat. Karena dalam banyak permasalahan ekonomi,  bukan karena satu bidang tetapi lintas bidang. Permasalahan daya beli, daya saing ekspor, daya saing produk dalam negeri, itu membutuhkan kebijakan lintas kementerian. Oleh karena itu kementerian di bidang keekonomian paling penting diperbaiki," ujarnya.

Kerja cepat itu penting karena saat ini terjadi kelesuan dan daya beli masyarakat menurun. Sementara beberapa kinerja kurang baik. Yang dibutuhkan adalah kecepatan dalam belanja pemerintah. Karena ini diarahkan langsung pada pertumbuhan ekonomi itu sendiri dan dampak ikutannya seperti meningkatnya ekspektasi masyarakat, daya beli, dan sinyal bagi  investor agar lebih yakin dan bergairah untuk berinvestasi di Indonesia terutama untuk lima bulan ke depan.

Anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu menerangkan bila reshuffle kali ini memang untuk mempercepat kerja-kerja para menteri melaksanakan 9 program Jokowi yang disebut Nawacita.

"Itu merupakan bagian dari usaha untuk menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Kita berharap orang-orang kemarin itu yang kaya ide dan terbiasa degan gerak cepat dalam bekerja," ujarnya kepada gresnews.com.

Masinton mengakui kinerja pemerintah menjalankan Nawacita belum maksimal. Namun dengan ada pergantian di Menko Kemaritiman, berharap bisa mempercepat pelaksanaan konsep Nawacita tersebut. Mengingat Pemerintahan Jokowi berorientasi untuk mengembangkan ekonomi kelautan.

"Pelaksanaan Nawacita itu baru beberapa persen, tidak sampai 10 persen. Dengan sekarang orientasi pemerintahan ini akan mengarah ke laut. Maka dengan Menko Maritim yang baru bisa mempercepat pelaksanaan Nawacita tersebut," ujar anggota Komisi III ini.

PERBAIKAN EKONOMI SECARA CEPAT - Tantangan yang dihadapi oleh menteri-menteri baru di bidang perekonomian itu tidak mudah, terlebih dalam melaksanakan konsep visi Nawacita yang menjadi jualan Jokowi dan Jusuf Kalla saat memenangkan pertarungan pemilihan presiden tahun lalu.

Faisal mengungkapkan saat ini masih ada ketidaksesuain dalam pelaksaanan konsep Nawacita dengan implementasinya dalam kebijakan. "Dari konsep sudah bagus, tetapi kemudian implementasinya selama 10 bulan ini yang kurang," ujarnya

Contoh implementasi kebijakan yang tidak sesuai harapan adalah adanya daya beli masyaraat menurun saat ini. Hal itu tidak lepas dari kebijakan pada akhir tahun lalu ketika subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut. Setelah subsidi dicabut, bagaimana mempertahankan daya beli masyarakat. Bantuan langsung hanya tiga bulan tapi dampaknya sampai sekarang.

Pemerintah saat itu berjanji mengalihkan subsidi BBM  untuk membangun infastruktur dan memberikan kompensasi terhadap masayarakat menengah ke bawah lewat bantuan langsung. Tapi itu tidak cukup karena kurangnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi kelas masyarakat tersebut. Mereka tidak butuh bantuan langsung saja. Secara jangka panjang mereka ingin bekerja. Ini yang terjadi setelah kebijakan dilakukan follow up lambat.

"Bayangkan sampai  bulan Juni belanja pemerintah hanya di bawah 30 persen, itu pun belanja rutin. Sedangkan belanja modal yang berdampak langsung terhadap perekonomian itu hanya 9 persen. Waktu kurang dari 5 bulan untuk mengejar tercapainya 90 persen belanja modal itu tidak mungkin. Itu dampak dari kelambatan ini," ujar Faisal.

Faisal menerangkan ekonomi tahun lalu saja yang lebih baik, dampaknya tidak terlalu terlihat dalam daya beli masyarakat. Tapi pada tahun ini ketika terjadi kelambatan dan kelesuan ekonomi, baru ketahuan sekarang akumulasi dampak dari kebijakan sebelumnya yang tidak begitu pro terhadap masyarakat bawah.

"Sekarang daya beli sudah sangat menurun. Buktinya ketika di bulan ramadhan dan Idul Fitri yang seharusnya konsumsi masyarakat itu meningkat itu tidak begitu meningkat seperti tahun-tahun sebelumnya," ujarnya. 

BELI PRODUK DALAM NEGERI - Menurut Salamuddin Daeng, hal itu diperparah dengan sulitnya merealisasikan konsep ekonomi Jokowi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah karena ada hambatan baik dari dalam maupun luar negeri.

Dari dalam banyak masalah terkait ketidakmampuan pembiayaan, hambatan undang-undang dan kebijakan, serta adanya benturan kepentingan antar kementerian dan lembaga terkait. "Dari luar kebijakan ekonomi yang cenderung dekat dengan Tiongkok juga bisa bermasalah," ujar Daeng.

Kondisi ekonomi internal Tiongkok yang juga tengah tidak sehat dianggap Daeng tidak tepat bila dijadikan mitra dalam pembangunan ekonomi nasional. Selain melakukan pemangkasan nilai mata uang Yuan, menurut Daeng, China saat ini tengah mengalami krisis properti, memiliki utang luar negeri yang besar (28,2 triliun dollar AS), dan kesulitan untuk mengakses sumber-sumber daya untuk industri akibat perubahan kebijakan geopolitik Amerika Serikat.

Sejalan pendapat Faisal, Daeng menyarankan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ekonomi dari intinya, yaitu pemerintah mengakselerasikan keuangan negara, dengan mempercepat penyerapan anggaran negara, dan mengintegrasikan segenap kebijakan dalam proyek infrastruktur agar bisa segera dilaksanakan.

"Kalau tidak, ya tetap masalah ekonomi  itu akan tetap terjadi. Apalagi dengan cadangan devisa yang menipis. Harga komoditas di tingkat global yang merosot. Penerimaan dari sektor migas juga menurun," tutur Daeng.

Pemerintah harus mendorong pengeluaran belanja pemerintah agar membeli produk dalam negeri. Hanya itu cara untuk menahan agar krisis yang terjadi di atas bisa ditahan lajunya oleh rakyat di bawah.

"Hal ini yang dilakukan oleh Rusia dan China dalam menghadapi resesi, yaitu dicari fondasi ekonomi yang paling luas dan paling berkotribusi kepada negara, lalu rakyat di dorong untuk mengkonsumsi itu supaya pemerintah bisa mendapatkan tambahan penerimaan dari cukai dan pajak," ujar Daeng

"Di Eropa itu waktu krisis, mereka mendorong buy European product, jangan membeli dari luar Eropa, terutama yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah. Barrack Obama pada awal kekuasaan juga mengkampanyekan buy American product. Jadi pengeluaran pemerintah benar-benar diarahkan untuk membeli produk yang dihasilkan oleh rakyat. Di Indonesia belum ada kebijakan seperti itu," pungkas Daeng. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: