JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah berjalan hampir tiga tahun namun program reformasi agraria masih saja jalan ditempat. Sudah beberapa kali presiden menggelar sidang kabinet membahas Reforma agraria dan redistribusi aset ini namun tak banyak kemajuan.

Termasuk ketika di awal tahun 2017, Presiden Jokowi dalam rapat paripurna Kabinet Kerja menyatakan bahwa tahun ini pemerintah akan memfokuskan kerja untuk mewujudkan pemerataan ekonomi melalui reforma agraria. catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) redistribusi tanah baru mencapai 1 persen dari target Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan 13.000 ha dengan skema pengakuan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pemerintah sendiri melaporkan telah melakukan redistribusi tanah sekitar 4,2 persen dari target. Lambatnya proses pelaksanaan akibat ketiadaan visi reforma agraria dan lemahnya inisiatif Kementerian ATR/BPN memimpin, mengoordinasikan kementerian lain, dan kelompok masyarakat sipil rencana pelaksanaan reforma
agraria.

Presiden Jokowi pada Selasa (11/4) telah mengumpulkan para pembantunya untuk segera mematangkan program reformasi agraria dan redistribusi aset. Program ini berupa pemberian lahan kepada masyarakat sebagai salah satu skema kebijakan pemerataan ekonomi yang berkeadilan. "Saya ingin dalam ratas ini langsung saja pada cara, implementasi, pelaksanaan pembagian di redistribusi aset maupun reforma agraria," ujar presiden di Kantor Presiden, Jakarta.

Dengan adanya kejelasan dalam pelaksanaan pembagian lahan tentunya akan mempercepat lahan tersebut menjadi produktif. Dalam penataan program reforma agraria, presiden menginstruksikan agar sembilan juta hektare lahan yang diberikan dan dikelola oleh masyarakat untuk dapat didata dan dipastikan kejelasannya. Program tersebut juga dimintanya agar dapat tepat sasaran.

"Saya hanya ingin agar ini tepat sasaran dan mampu menyentuh 40 persen masyarakat kita yang masih berada di lapisan ekonomi terbawah," ucap Presiden seperti dikutip dari setneg.go.id.

Bahkan, Presiden meminta program redistribusi lahan dan reforma agraria bisa langsung diluncurkan pada saat Kongres Ekonomi Umat bertemakan "Arus Baru Ekonomi Indonesia" pada 22-24 April 2017 di Jakarta yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI).

"Pada saat kongres umat tersebut, syukur-syukur sudah ada (rakyat) yang dibagi. Ini waktu sudah mepet. Kalau itu bisa, akan lebih baik," ujar Jokowi.

Selain itu, Kepala Negara meminta jajarannya untuk tidak semata-mata melihat program tersebut hanya dari sisi pembagian tanah kepada masyarakat. Sebab, setelah aset yang berupa tanah tersebut dibagikan, program peningkatan produktivitas dan kesejahteraan bagi warga kurang mampu juga harus mengikuti.

"Saya tidak mau ini dilihat sebagai program bagi-bagi lahan atau bagi berkat. Tidak. Ini adalah program
terintegrasi untuk meningkatkan produktivitas, kesejahteraan ekonomi masyarakat bawah," ujarnya lebih
lanjut.

Reformasi agraria dan redistribusi aset merupakan pemberian lahan milik negara kepada masyarakat, terutama
masyarakat lapisan ekonomi kurang mampu untuk dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan produktivitas baik melalui sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.

Diharapkan, masyarakat dapat memanfaatkan skema tersebut untuk meningkatkan perekonomian. "Sekali lagi, redistribusi aset dan reforma agraria kita ingin mewujudkan sebuah keadilan dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wilayah dan sumber daya alam kita," kata Presiden Jokowi.
TAK SIAP - Namun permintaan Presiden Jokowi untuk segera melaksanakan program redistribusi lahan dan reforma agraria nampaknya belum bisa terwujud dalam waktu dekat. Para pembantu presiden masih membutuhkan waktu untuk melakukan singkronisasi program tersebut.

"Pak Menko Ekonomi akan rapat lagi supaya tepat sasaran," ujar Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (11/4).

Ia menjelaskan persoalan yang menyangkut dasar legalitas sudah rampung. Menteri-menteri terkait tinggal
menyelesaikan sisa persoalan tentang mekanisme redistribusi. "Jadi yang paling penting, di mana tanahnya, siapa yang akan mendapatkan, bagaimana mekanismenya," imbuh Sofyan.

Menteri terkait juga belum menentukan berapa jumlah warga yang menerima program redistribusi lahan dan reforma agraria. Selain itu, belum menemukan solusi dalam hal kelanjutan lahan yang diberikan.

"Takutnya nanti ketika masuk ke generasi kedua, dipecah lagi. Jadi yang seperti ini harus dibikin struktur supaya petani ini tidak jatuh miskin. Karena kalau tanah dipecah, menjadi kecil dan tidak produktif," ujar Sofyan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, dalam diskusi media Forum Merdeka Barat 9 Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Galeri Nasional Indonesia Jakarta, Minggu (26/3) menjelaskan dari 10 program pemerataan ekonomi lima di antaranya berkaitan dengan reforma agraria. Karena itulah program ini perlu mendapat perhatian lebih dari Kementerian Koordinator perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Menurutnya reforma agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan
lahan, baik tanah di hutan ataupun di desa-desa.

Lebih lanjut Darmin menambahkan, di dalam reforma agraria tersebut terdapat dua hal yang diperhatikan pemerintah, yakni tanah objek reforma agraria (TORA) dan perhutanan sosial.

Dalam praktiknya lahan yang termasuk dalam TORA dan perhutanan sosial akan dibuat secara per klaster dan
dikelola oleh kelompok masyarakat terutama untuk diberdayakan di bidang pangan.

Namun, bedanya terletak pada hak pemanfataannya. Jika lahan TORA bisa digunakan dengan hak milik atas tanah, maka lahan perhutanan sosial digunakan melalui hak akses/izin/kemitraan pengelolaan hutan.

Untuk lahan TORA adalah hak milik yang sertifikatnya akan dibuat untuk tidak bisa dijual dan tidak bisa dipecah
melalui sistem waris. Sedangkan penggunaan lahan perhutanan sosial tidak boleh merusak ekosistem hutan dan
penebangan kayu hanya dibolehkan di hutan produksi.

AKAR MASALAH - Menurut Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin sampai sekarang, ada kesenjangan pemahaman terkait dengan reforma agraria yang disebut oleh pemerintah dan kalangan masyarakat sipil. Pemerintah membagi reforma agraria menjadi dua komponen besar, yaitu redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha dan sertifikasi tanah seluas 4,5 juta ha. "Semuanya harus dalam kategori clear and clean dari tumpang tindih izin dan konflik alias fresh land," ujarnya.

Sementara kalangan gerakan reforma agraria, mendorong agar redistribusi dilakukan pada wilayah di mana terjadi ketimpangan agraria yang mencolok dan terjadi konflik agraria. Pandangan ini didasarkan pada tujuan utama reforma agraria, yakni menurunkan ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria, meningkatkan kesejahteraan, dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Karena itu, area-area perkebunan dan kehutanan yang selama ini jadi titik ledak konflik agraria akibat tumpang tindih izin, penyuapan, atau akrobat hukum lain adalah lokasi prioritas pelaksanaan reforma agraria.

Keraguan pemerintah melakukan reforma agraria pada lokasi semacam ini lantaran dipandang sebagai penyulut iklim buruk investasi, instabilitas, kepastian hukum, dan pertumbuhan ekonomi. Padahal keengganan melakukan reforma agraria di wilayah semacam ini juga membuat ketakstabilan politik dan kerugian sosial ekonomi cukup besar.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, pada 2016 terjadi sedikitnya 450 konflik agraria pada wilayah seluas 1,2 juta ha dan melibatkan 86.745 kepala keluarga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Meningkat dari 252 konflik pada 2015. Jika di rata-rata, setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 ha lahan terlibat dalam konflik.

Maraknya konflik agraria, perampasan tanah, dan perusakan lingkungan telah membuat daya saing produk industri perkebunan dan kehutanan Indonesia mudah diboikot oleh organisasi konsumen global dan dibebani aneka beban nontarif dalam perdagangan internasional karena memenuhi standar global terkait lingkungan hidup dan HAM.

Beban semacam ini kemudian kembali lagi kepada masyarakat melalui pembelian harga produk petani swadaya secara murah oleh industriawan bahkan berakibat pada hubungan industrial buruk seperti upah buruh murah, pelibatan buruh anak, dan perusakan lingkungan hidup. Masalah yang terus berputar-putar.

Mengingat kompleksitas dan saling berkelindannya masalah karena tak berjalannya reforma agraria, bahkan jika dijalankannya secara salah, perlu langkah berani dan bijak oleh pemerintah. Beberapa langkah yang harus segera dilakukan, pertama, pada tataran politis presiden sebaiknya memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria yang paralel dengan penyelesaian konflik agraria struktural yang ada.

Kedua, pada tataran regulasi, pemerintah segera mengesahkan Perpres Reforma Agraria. Ketiga, pada sisi implementasi membuka partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mendaftarkan lokasi, mengorganisasikan penerima manfaat dan model pembangunan berkelanjutan pada lokasi pelaksanaan reforma agraria.

 

BACA JUGA: